WAEL, 16 TAHUN
“AKU MELIHAT ANAK-ANAK DIBANTAI. AKU TIDAK PERNAH MENYANGKA BAHWA AKU AKAN BAIK-BAIK SAJA.”
Aku telah berada di sini, di kamp Za’atari selama satu bulan. Mengapa aku pergi? Itu pertanyaannya.
Pada awalnya Kami berusaha untuk bertahan. Kami pergi ke tempat persembunyian, Kami akan bersembunyi, dan kami akan tetap hidup. Namun sekarang mereka menggunakan senjata yang lain. Sebelumnya, tempat persembunyian adalah tempat yang aman, namun kini senjata-senjata itu menghancurkan rumah hingga ruangan bawah tanahnya. Aku tidak dapat berdiam diri dengan semua yang terjadi: pembunuhan, penghancuran, dan penyiksaan.
Di rumahku, di Suriah kami menggali lubang di halaman untuk bersembunyi di dalamnya. Lubang itu cukup besar, mampu menampung tiga orang di dalamnya, namun ketika kami tahu bahwa kekejaman itu telah datang. Maka aku akan menaikinya bersama saudaraku. Sedangkan ibuku akan memastikan kami di dalamnya dan kemudian menutup lubang itu dengan seng, dan menaburkan pasir di atasnya. Dan kami akan menunggu, terkadang hingga beberapa jam.
Terakhir, aku berada di sana dari jam tujuh pagi hingga jam lima sore. Itu adalah saat-saat yang menakutkan, aku khawatir mereka akan menemukan kami dan membunuhku serta dua saudara laki-lakiku. Kami langsung bersembunyi di dalam lubang ketika para tentara berpatroli di jalan-jalan, dan di basemen saat pemboman terjadi. Pemboman terjadi setiap hari. Kami menggunakan lubang tersebut paling sedikit sekali dalam seminggu, paling sering pada hari rabu. Hari rabu adalah hari yang penuh dengan pembunuhan masal dan pemboman sebab jika jama’ah pada shalat jum’at yang diserang maka akan memicu protes dari berbagai kalangan.
Suatu ketika, Aku ditangkap bersama dengan ratusan orang lainnya. Mereka memisahkan antara anak-anak dan orang dewasa, sedang aku berusia 16 tahun dan aku adalah yang paling tua di antara anak-anak itu. Aku tidak bisa memberitahumu ada berapa jumlah mereka, namun mereka sangat banyak. Kami dipaksa untuk masuk ke dalam satu sel kecil bersama-sama. Tidak ada tempat untuk pergi, bahkan di sana tidak ada toilet, hanya ada lubang kecil di lantai.
Di sana ada satu kelompok yang terdiri dari anak-anak kecil yang orang tuanya dijadikan buronan. Mungkin jumlah mereka sekitar 13 anak. Mereka dilarang makan dan minum. Jika tiba saat kita untuk makan, maka mereka akan dikelilingi tentara yang akan menghentikan siapapun yang ingin memberi mereka makan. Anak-anak ini sangat lemah dan hanya bisa menangis. Mereka hanya berbaring di atas lantai.
Mereka juga dipukuli berkali-kali dengan menggunakan tongkat, lebih buruk dari pada kami. Aku kenal seorang anak yang bernama A’laa. Dia bagian dari kelompok ini. Dia baru berusia enam tahun. Dia tidak tahu apa yang sedang terjadi. Ayahnya diberitahu bahwa anaknya akan tewas kecuali jika dia menyerahkan diri. Aku katakan bahwa anak kecil berusia enam tahun ini disiksa lebih kejam dari pada yang lain di ruang itu. Dia tidak diberi makan atau minum selama tiga hari, dia sangat lemah, dan dia pingsan sepanjang waktu. Dia dipukuli dengan rutin. Aku melihatnya tewas. Dia hanya bertahan selama tiga hari dan kemudian meninggal dengan tenang. Dia ketakutan sepanjang waktu. Dan mereka memperlakukannya seperti anjing.
Aku tidak mampu memikirkan apapun setelah itu. Aku pikir aku kan mati di sel itu dan aku tak kan mampu untuk melihat apapun setelah itu. Jika mereka mendengar kami berbicara maka kami akan dipukuli dengan kejam dan berulang-ualang. Maka kami tidak berbicara sama sekali. Semua yang kami dengar hanyalah berupa teriakan, tangisan dan keheningan.
Ketika aku meninggalkan tempat tersebut aku merasa bahwa aku terbebas dari kematian. Kini, aku merasa bahwa tak ada satu orang pun yang peduli dengan Suriah. Tak ada satu orang pun yang menolong kami dan kami mati satu per satu. Jika di sana ada 1% kemanusiaan maka hal ini tidak akan terjadi.
Aku rasa lebih baik seandainya aku mati di dalam sel. Paling tidak jika aku mati maka semua ini akan berakhir. [saat menceritakan hal ini Wael mulai menangis]. Penyiksaan itu tidak hanya secara fisik tapi juga secara mental. Ketika kamu melihat perempuan dan anak-anak berteriak dan mati, maka hal itu akan memberi pengaruh bagi mental. Setiap dan seluruh orang Suriah telah dirusak mentalnya dengan perang ini.
Sebelumnya, aku bisa tertawa sepanjang waktu, namun kini aku tak bisa melakukannya, apa yang bisa membuatku tertawa? Beberapa anak dari desaku telah menjadi bisu karena trauma dengan apa yang telah mereka lihat. Kondisi anak-anak kecil menjadi lebih buruk. Mereka tidak mengerti, mengapa tak satupun dari kami melakukan sesuatu. Mereka hanya bisa bersedih, mengerikan bagi anak-anak. Anak-anak ini dulu diajak ibu mereka ke taman, sekarang ibu-ibu mereka memaksa mereka untuk masuk ke dalam basemen untuk melindungi mereka dan mereka tidak memahaminya.
Tidak ada hal yang dapat aku atasi, tidak ada cara untuk ku membuka lembaran baru. Aku telah melihat anak-anak dibantai. Aku tidak pernah berpikir bahwa aku akan kembali baik-baik saja.
Diterjemahkan dari UNTOLD ATROCITIES (The story of Syria’s Children) written by Save the Children organization
(siraaj/arrahmah.com)