(Arrahmah.com) – Detasemen Khusus Anti Teror 88, ketika menangkap orang yang menjadi target sasarannya berlaku sangat kejam dan bengis. Masih ingat dalam benak masyarakat pemberitaan akhir Februari 2013 lalu saat beredarnya video kekejaman dan kekejaman Densus 88.
Video berdurasi lebih dari 13 menit itu, terlihat 5 orang terlungkup di tanah, dua orang diantaranya terluka tembak; satu orang terluka di kakinya hingga berlumuran darah, bahkan yang satu lagi kritis berlumuran darah di kepalanya, punggungnya terkelupas tertembus serpihan peluru. Dalam keadaan seperti itu, mereka tidak cepat ditolong, malah diinterogasi, sadis.
Ketika itu, ormas-ormas Islam memprotes keras kejadian tersebut. MUI, MIUMI dan Muhammdiyah melaporkan hal itu kepada Kapolri untuk menuntut pelaku-pelakunya ditindak tegas. Bergulir bak bola salju, tuntutan tak sebatas itu, tetapi umat Islam menuntut agar Densus 88 dibubarkan. Meminjam teori gunung es, pastinya video ini hanya sejumput kecil dari kekejaman densus 88 yang bocor ke publik atas izin Allah Ta’ala. Masih banyak lagi kekejian dan tindakan sadis yang di perbuat oleh mereka kepada orang-orang yang baru diduga melakukan “kejahatan”. Tanyakan saja hal ini kepada keluarga tertuduh teror!
Sekretaris Jenderal Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI), Ustadz Bachtiar Natsir yang dihubungi arrahmah.com ketika itu, mengatakan: “Densus telah melukai hati ummat Islam dengan luka yang dalam, kekerasan dan pelecehan fisik hingga penghilangan nyawa bahkan pembunuhan karakter keluarga seseorang telah dilakukan Densus 88, begitu pula media khusus densus 88 yang bagaikan sinetron semakin menyempurnakan kekejian Densus 88.”
Trauma anak-anak “teroris”
Bagaimana anak-anak yang bapak mereka dicap teroris? Anak-anak yang bapak mereka di tembak mati oleh Densus, di eksekusi mati oleh kejaksaan, dipenjara seumur hidup, oleh sebuah kasus yang disebut teroris? mereka trauma. “Banyak diantara mereka yang tidak mau melihat orang banyak, trauma terhadap kondisi pra penangkapan atau penembakan bapak mereka. Dan yang lebih menyedihkan lagi masyarakat mengeluarkan pernyataan-pernyataan bahkan tindakan yang menyudutkan dan memojokkan mereka”, demikian di ungkapkan oleh Zora S Sukabdi, psikolog terorisme, dalam perbincangan dengan metro tv malam tadi, Kamis (9/5/2013).
Zora yang aktif, terjun langsung mendampingi anak-anak ini juga mengisahkan bahwa mereka dikeluarkan dari sekolah, atas desakan pihak sekolah dan masyarakat, drop out. Sehingga mereka membentuk kelompok sendiri yang merupakan anak anak korban stigma teroris. Ini sesungguhnya api dalam sekam. Namun dia terus memotivasi nilai-nilai kebaikan yang banyak kepada mereka untuk bisa diimplementasikan dalam kehidupan nyata hari ini. Dan yang tak kalah pentingnya juga membuka diri terhadap lingkungan yang lebih luas, ini perlu peran serta masyarakat yang lebih luas. Begitu berat beban anak-anak ini, setellah bapak-bapak mereka didzholimi, masyarakat mengucilkan mereka.
(azmuttaqin/arrahmah.com)