Oleh: Heri Aryanto, S.H, MH
Advokat dan Pegiat HAM dari SNH Advocacy Center
(Arrahmah.com) – Arakan adalah negara bagian Myanmar yang berbatasan langsung dengan wilayah Bangladesh. Penamaan Arakan diambil dari kata “Rukun” dalam Islam yang berarti pilar, sendi, atau asas. Dapat pula diartikan baik dan damai. Tidak mengherankan apabila nama Arakan diambil kata “Rukun” dalam Islam, karena pada saat itu (sekitar abab 7 M) wilayah Arakan dalam penguasaan Kerajaan Islam Arakan sehingga nuansa Islam di sana sangat mempengaruhi segi-segi kehidupan bernegara dan bermasyarakat.
Arakan sendiri merupakan tanah kelahiran Rohingya sejak beratus-ratus tahun lamanya. Rohingya sudah ada di Arakan bersamaan dengan perkembangan Kerajaan Islam Arakan dan perkembangan perdagangan orang-orang Persia dan Arab yang datang ke Arakan . Namun, sejak Kerajaan Islam Arakan ditaklukan Kerajaan Burma pada sekitar abab 18 M, Rohingya kemudian mulai menjalani hidup sebagai penduduk minoritas yang tertindas. Tidak lain, karena penduduk mayoritas Burma menempatkan diri mereka sebagai Raja, sementara penduduk dan etnis lainnya dianggap sebagai budak.
Arakan, yang sekarang diganti oleh Pemerintah Myanmar menjadi Rakhine, dalam perkembangan selanjutnya menjadi wilayah jajahan British India. Namun, ketika terjadi perlawanan yang dipimpin oleh Jenderal Aung San (ayah dari aktivis HAM Myanmar Aung San Suu Kyi), wilayah Arakan kemudian diserahkan Inggris kepada Myanmar. Pada saat negara Myanmar merdeka pada tahun 1948, Arakan resmi menjadi bagian kesatuan dari tanah air Myanmar.
Akan tetapi ironisnya, meskipun Arakan diakui sebagai bagian dari tanah air Myanmar, tidak begitu halnya dengan Rohingya. Mereka diperangi, dimusuhi, ditindas, bahkan dibantai dengan alasan karena mereka berbeda. Perbedaan yang menjadi alasan mereka tidak mengakui Rohingya pada mulanya adalah perbedaan ras. Rohingya dianggap bukan bagian bangsa Myanmar karena secara fisik Rohingya seperti orang Bengali (Bangladesh). Namun, karena propaganda yang terus dilakukan oleh kelompok ekstrimis 969 pimpinan Biksu Wirathu dengan disokong Pemerintah Myanmar, isu perbedaan agama kemudian didalilkan dan menjadi senjata pembunuh untuk mengeliminasi Rohingya dari Bumi Arakan.
Pertanyaannya, apakah benar hanya faktor perbedaan ras dan agama yang menjadi pemicu penindasan penduduk mayoritas dan Pemerintah Myanmar terhadap Rohingya; ternyata tidak hanya itu saja namun ada faktor lain yang justru paling krusial dan menjadi alasan utama mengapa Rohingya harus diperangi dan diusir dari tanah kelahirannya adalah faktor ekonomi. Bumi Arakan adalah tanah yang kaya akan minyak bumi, gas, berlian dan sumber daya alam lainnya. Tidak hanya itu, bumi Arakan subur untuk pertanian maupun perkebunan. Permasalahan utama, tanah-tanah di Arakan dimiliki oleh orang-orang Rohingya karena jumlah Rohingya di Arakan dominan, yaitu diperkirakan 80 persen dari total penduduk Arakan. Untuk bisa menguasai kekayaan bumi Arakan, maka cara yang dilakukan mereka adalah dengan mengeliminasi Rohingya dari Tanah Arakan.
Menurut saya, tidak ada cara lain untuk mereka bisa menguasai kekayaan Bumi Arakan. Rohingya sebagai mayoritas dan pemilik tanah di Arakan harus diusir dan diperangi. Isu ras dan agama sepertinya ampuh untuk memprovokasi penduduk mayoritas Myanmar untuk menindas dan mengeliminasi Rohingya. Ia mendapati pengakuan dari Rohingya di Arakan dan Rohingya di penampungan Aceh yang mengatakan bahwa Pemerintah Myanamar telah mulai mengeksploitasi bumi Arakan. Salah satunya dengan bukti tertanamnya Pipa dari bumi Arakan ke negeri Tirai Bambu untuk menyedot kekayaan alam bumi Arakan. “Selama mereka masih ingin menguasai kekayaan bumi Arakan, maka selama itu pula segala upaya merestorasi hak-hak dan mengembalikan Rohingya ke Arakan akan selalu ditolak Pemerintah Myanmar”.
(*/arrahmah.com)