DAMASKUS (Arrahmah.id) – Setelah 13 tahun perang, pada akhirnya, rezim Presiden Suriah Bashar al-Assad tumbang dalam waktu kurang dari 13 hari.
Pada Ahad (8/12/2024) dini hari, pejuang Suriah menyerbu masuk ke ibu kota Damaskus, dan menyatakan bahwa Suriah telah terbebas dari kekuasaan al-Assad.
Al-Assad dan keluarganya telah melarikan diri ke Moskow di mana mereka diberi suaka, kantor-kantor berita Rusia melaporkan pada Ahad (8/12), mengutip sebuah sumber di Kremlin.
Runtuhnya dinasti al-Assad yang telah berkuasa selama lebih dari 53 tahun ini menandai sebuah momen penting, 13 tahun setelah warga Suriah pertama kali bangkit dalam protes damai melawan pemerintah yang menanggapi dengan kekerasan, yang kemudian menjerumuskan negara tersebut ke dalam perang yang brutal.
Sepekan yang lalu, rezim ini masih menguasai sebagian besar wilayah negara tersebut. Jadi, bagaimana semuanya bisa terjadi begitu cepat?
Kapan semuanya dimulai?
Pada 27 November, sebuah koalisi pejuang oposisi melancarkan serangan yang signifikan terhadap pasukan pro-pemerintah.
Serangan awal menargetkan garis depan antara Idlib yang dikuasai oposisi dan provinsi Aleppo di dekatnya. Dalam waktu tiga hari, pasukan oposisi berhasil merebut Aleppo, kota terbesar kedua di Suriah.
Gerak cepat mereka berlanjut dengan merebut Hama pada 5 Desember, sebuah kota pusat strategis yang belum pernah mereka rebut sebelumnya.
Pasukan oposisi kemudian merebut Homs pada Ahad dini hari saat mereka mendekati ibu kota Damaskus.
Siapa yang mempelopori oposisi?
Dijuluki Operasi Pencegahan Agresi, serangan ini dilakukan oleh Administrasi Operasi Militer, yang dipelopori oleh Hai’ah Tahrir Syam (HTS) dan didukung oleh faksi-faksi yang didukung oleh Turki.
HTS, yang dipimpin oleh Abu Muhammad Al Jaulani, adalah kelompok yang paling menonjol dan terorganisir dengan baik, yang telah menguasai provinsi Idlib selama bertahun-tahun sebelum operasi ini.
Kelompok-kelompok lain yang berpartisipasi termasuk Front Nasional untuk Pembebasan, Ahrar al-Sham, Jaish al-Izza, dan Gerakan Nour al-Din al-Zenki, di samping faksi-faksi yang didukung oleh Turki dalam kerangka Tentara Nasional Suriah (SNA).
‘Tidak terduga secara keseluruhan’: Mengapa al-Assad jatuh begitu cepat?
Ekonomi Suriah, yang hancur akibat perang selama bertahun-tahun, telah menghadapi tantangan berat, dengan berbagai laporan menunjukkan bahwa rezim al-Assad telah menopang perekonomiannya melalui perdagangan obat terlarang Captagon, amfetamin psikoaktif.
Popularitas al-Assad merosot seiring dengan memburuknya kondisi kehidupan, yang tidak hanya berdampak pada warga sipil tapi juga pada banyak tentaranya, yang sebagian besar enggan berperang atas namanya.
Laporan-laporan muncul mengenai tentara dan polisi yang meninggalkan pos mereka, menyerahkan senjata mereka, dan melarikan diri untuk mengantisipasi kemajuan oposisi.
Secara militer, rezim al-Assad telah rapuh selama bertahun-tahun, sangat bergantung pada dukungan Rusia dan Iran untuk mempertahankan diri.
Para analis mengatakan bahwa dengan Rusia yang disibukkan oleh konflik di Ukraina dan Iran, bersama dengan sekutunya Hizbullah Lebanon, yang dilemahkan oleh serangan “Israel”, Assad semakin terisolasi.
“Ini tidak terduga sama sekali bagi Barat,” kata Mick Mulroy, mantan Wakil Asisten Menteri Pertahanan AS untuk Timur Tengah kepada Tom Watson dari Al Arabiya News dalam acara Global News Tonight.
“Hal ini tidak terduga, baik dalam asal-usulnya yang sebenarnya maupun kecepatan pergerakannya menuju keruntuhan rezim Assad,” tambahnya.
Apakah Rakyat Suriah Bahagia?
Di seluruh Suriah pada Ahad (8/12), pemandangan penuh kegembiraan terlihat ketika orang-orang berkumpul untuk berdoa di masjid dan merayakannya di lapangan, meneriakkan slogan-slogan anti-Assad dan membunyikan klakson mobil sebagai bentuk persatuan.
Di beberapa lokasi, orang-orang juga menumbangkan patung-patung ayah Assad, Hafez, dan mengaraknya di jalan-jalan.
Warga Suriah dan pejuang Suriah menyerbu istana kepresidenan al-Assad, dengan penuh sukacita mengumpulkan barang-barang sebagai cinderamata sambil merayakannya.
Para pengungsi Suriah dan anggota diaspora di luar negeri juga merayakan keruntuhan rezim, mengadakan pertemuan di kota-kota seperti London, Utrecht, dan Istanbul.
Apa yang terjadi di ‘Rumah Pembantaian Manusia’ – penjara Sednaya?
Ketika para pejuang oposisi Suriah bergerak maju menuju Damaskus, merebut kota demi kota, mereka juga membebaskan para tahanan dari pusat-pusat penahanan rezim yang terkenal kejam, termasuk penjara Sednaya yang terkenal dengan julukan “Rumah Pembantaian Manusia” yang dikenal dengan praktik penyiksaannya yang brutal.
Rekaman yang muncul dari Sednaya menunjukkan pasukan oposisi membebaskan para tahanan, termasuk seorang anak kecil.
Warga Suriah bergegas ke “Penjara Merah” yang terkenal untuk mencari kerabat mereka setelah para pejuang menerobos masuk ke dalam fasilitas tersebut.
Observatorium Suriah untuk Hak Asasi Manusia (SOHR) memperkirakan pada Januari 2021 bahwa 30.000 tahanan telah dibunuh secara brutal di penjara Sednaya oleh rezim al-Assad melalui penyiksaan, pelecehan, dan eksekusi massal sejak dimulainya perang saudara Suriah.
Amnesti Internasional juga melaporkan pada Februari 2017 bahwa antara 5.000 hingga 13.000 orang dieksekusi tanpa proses pengadilan di Sednaya antara September 2011 dan Desember 2015.
Selama hampir 14 tahun perang, lebih dari 100.000 orang diyakini telah menghilang di penjara-penjara Suriah.
Bagaimana reaksi para pemimpin dunia terhadap penggulingan al-Assad yang tiba-tiba?
Pemerintah-pemerintah Eropa menyambut baik kepergian al-Assad dan mendesak agar Suriah segera kembali stabil.
Kanselir Jerman Olaf Scholz mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa berakhirnya kekuasaan al-Assad merupakan “kabar baik,” dan menambahkan bahwa “yang penting sekarang adalah hukum dan ketertiban segera dipulihkan di Suriah.”
Kementerian Luar Negeri Perancis menyambut baik kejatuhan presiden Suriah, dengan mengatakan bahwa “rakyat Suriah sudah terlalu banyak menderita.”
Perdana Menteri Inggris Keir Starmer juga menyambut baik berakhirnya “rezim biadab” Assad.
“Kami menyerukan kepada semua pihak untuk melindungi warga sipil dan minoritas dan memastikan bantuan penting dapat menjangkau mereka yang paling rentan dalam beberapa jam dan hari mendatang,” katanya.
Presiden AS Joe Biden mengatakan bahwa Suriah berada dalam periode “risiko dan ketidakpastian” dan bahwa al-Assad “harus dimintai pertanggungjawaban.”
“Ini adalah momen kesempatan bersejarah bagi rakyat Suriah yang telah lama menderita untuk membangun masa depan yang lebih baik bagi negara kebanggaan mereka. Ini juga merupakan momen penuh risiko dan ketidakpastian,” kata Biden.
Apa yang terjadi selanjutnya?
Apa yang akan terjadi selanjutnya di negara Timur Tengah ini masih harus ditunggu, menurut para ahli.
Riad Kahwaji, pakar Militer dan Pertahanan dari Al Arabiya, mengatakan bahwa kehadiran berbagai faksi di Suriah mempersulit prospek transisi yang mulus dan damai.
“Semakin inklusif, semakin meyakinkan. Semakin eksklusif, semakin berpotensi menimbulkan kekerasan,” kata Khawaji kepada Tom Watson dari Al Arabiya News dalam acara Global News Tonight.
Presiden Joe Biden mengklaim bahwa AS akan bekerja sama dengan para mitra dan pemangku kepentingan di Suriah dan juga akan mendukung negara-negara tetangga Suriah selama masa transisi dan akan menilai kata-kata dan tindakan kelompok-kelompok oposisi.
“Ketika kita semua beralih ke pertanyaan tentang apa yang akan terjadi selanjutnya, Amerika Serikat akan bekerja sama dengan para mitra dan para pemangku kepentingan di Suriah untuk membantu mereka mengambil kesempatan dalam mengelola risiko,” klaimnya dalam pidatonya di Gedung Putih. (haninmazaya/arrahmah.id)