PALU (Arrahmah.com) – Mabes Polri bersama Polda Sulteng telah memulai operasi besar-besaran pengejaran terhadap kelompok DPO di Kabupaten Poso. Operasi yang diberi sandi Camar Maleo 2015 ini dimulai sejak 26 Januari lalu.
Kepala Bidang Hubungan Masyarakat (Kabid Humas) Polda Sulteng, AKBP Hari Suprapto kepada wartawan mengatakan, operasi kepolisian ya ng sifatnya terpusat ini, akan digelar selama 60 hari ke depan. Target operasi ini sendiri mengejar 20 orang yang masuk sebagai daftar pencarian orang (DPO) kasus tindak pidana terorisme.
“Tujuan utamanya mengejar dan menangkap para DPO termasuk anggota kelompoknya yang kami sinyalir masih berada di wilayah Poso,” sebut Kabid Humas, Kamis (29/1/2015) dikutip dari radarsultengonline.
Jumlah personel yang dilibatkan dalam operasi kali ini juga terbilang cukup banyak. Selain kekuatan yang dimiliki oleh Polda Sulteng bersama 5 Polres jajaran, masing-masing ; Polres Palu, Polres Sigi, Polres Parimo, Polres Ampana, serta Polres Poso sendiri, juga ditambah kekuatan dari Mabes Polri. “Khusus dari Mabes ada korps Brimob dari Kelapa Dua yang sudah digeser ke Poso,” jelas Hari.
Tidak hanya melakukan pengejaran di wilayah yang menjadi titik-titik disinyalir tempat pelarian para DPO, polisi juga melakukan kegiatan imbangan. Yakni kegiatan yang bersentuhan langsung dengan masyarakat. Seperti, pemeriksaan (razia) rutin di jalan terhadap kendaraan yang masuk maupun keluar dari 5 Polres yang masuk dalam Operasi Camar Maleo ini.
Untuk itu, Kabid Humas mengimbau masyarakat agar selalu membawa identitas lengkap setiap bepergian, dan jika suatu saat diperiksa petugas bisa menunjukkan identitas lengkap. Kegiatan berupa patroli, pemeriksaan serta penjagaan juga akan ditingkatkan. “Semua ini semata-mata untuk menjamin rasa aman dari masyarakat,” pungkasnya.
Dampak negatif opersi keamanan
Sementara itu, anggota DPRD Poso dari Fraksi Partai Demokrat, Iskandar Lalumpa melayangkan kritik atas pengiriman satu batalion Brimob dari Mako Kelapa Dua untuk menangkap pimpinan Mujahidin Indonesia Timur, Santoso.
Menurutnya, aparat keamanan dalam hal ini kepolisian kurang serius dan gagal dalam menyelesaikan kasus keamanan di Poso.
“Persoalan Poso sudah berlangsung 15 tahun lamanya tapi tak kunjung tuntas. Negara gagal memberikan rasa aman padahal Poso hanyalah kota kecil tidak seperti Papua dan Aceh,” ungkap Iskandar, dikutip dari Kiblat.net.
Hal itu diutarakannya dalam acara rapat dengar pendapat umum (RDPU) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Poso bersama Bupati Poso, Kapolres Poso, Dandim 1307 Poso, Danyon 714 Sintuwu Maroso Poso, dan Detasemen Brimob Pelopor Kabupaten Poso di ruang rapat kantor DPRD Poso pada Kamis, (29/1/2015).
Iskandar juga menyatakan bahwa Instruksi Presiden (Inpres) Tahun 2003 dan 2002 tentang penanganan gangguan keamanan tidak sepenuhnya terlaksana, maka dia berharap pada tahun 2015 ini merupakan penanganan yang terakhir.
“Sudah dua inpres yang menyoroti penanganan keamanan di Poso, tapi kenapa sampai sekarang belum aman? Terakhir, Presiden Jokowi menyatakan bahwa awal Januari tahun 2015 ini akan diselesaikan kasus Poso. Maka, kami dari Fraksi Demokrat harus menyatakan bahwa ini penanganan terakhir,” tegas Iskandar.
Menyoroti kedatangan personil tambahan sebanyak satu batalion Brimob, ia menyampaikan agar aparat keamanan juga harus berhati-hati jangan sampai menimbulkan dampak sosial baru ke tengah masyarakat.
“Masyarakat Poso sudah trauma dari kejadian beberapa tahun lalu, di mana saat aparat selesai tugas dan meninggalkan kota Poso, banyak gadis-gadis Poso yang ditinggal dalam kondisi hamil. Ini membuat dampak sosial yang baru,” pungkasnya. (azm/arrahmah.com)