(Arrahmah.com) – “Saya akan bertanggung jawab penuh untuk setiap kesalahan tanpa pengecualian atau alasan. Saya, pada saat yang sama, selalu bertanya mengapa. Namun, saya percaya bahwa lebih baik untuk menyingkirkan Saddam Hussein dan mengapa saya tidak percaya hal ini adalah penyebab terorisme yang kita lihat saat ini di Timur Tengah atau di tempat lain di dunia ini. “
(Pernyataan Tony Blair, PM Inggris pada era Perang Irak, menanggapi publikasi the Iraq Inquiry oleh Sir John Chilcot, The Guardian, 6 Juli 2016)
Amerika Serikat (AS), didukung kuat oleh Inggris, menginvasi Irak dengan dalih bahwa rezim Saddam memiliki senjata pemusnah massal. Invasi dengan kode “Operasi Pembebasan Irak” secara resmi dimulai pada tanggal 19 Maret 2003. Tujuan resmi yang ditetapkan AS adalah untuk “melucuti senjata pemusnah masal Irak, mengakhiri dukungan Saddam Hussein kepada terorisme, dan memerdekakan rakyat Irak”.
George W. Bush dan Tony Blair, menyatakan bahwa mereka berperang di Irak untuk membebaskan dunia dari seorang diktator brutal yang merupakan ancaman bagi perdamaian, stabilitas, dan demokrasi regional. Keduanya telah secara teratur menyebutkan penggunaan gas kimia terhadap penduduk Kurdi, dan Perang Iran-Irak pada tahun 80-an, sebagai contoh kebrutalan Saddam. Namun saat invasi dilakukan, tidak ada dan tidak pernah ditemukan senjata pemusnah massal tersebut di Irak.
Sebagai persiapan, pada 18 Februari 2003,sekitar 100 ribu tentara AS dimobilisasikan di Kuwait. Amerika Serikat menyediakan mayoritas pasukan untuk invasi ini, dengan dukungan dari pasukan koalisi yang terdiri dari lebih dari 20 negara dan suku Kurdi di utara Irak. Invasi inilah yang menjadi pembuka Perang Irak.
Sebelum invansi dilaksanakan, pemerintah AS dan Inggris menuduh Irak sedang berusaha membuat senjata pemusnah masal yang mengancam kemanan nasional mereka, koalisi, dan sekutu regional. Pada tahun 2002, Dewan Keamanan PBB mengeluarkan Resolusi 1441 yang mewajibkan Irak untuk bekerjasama sepenuhnya dengan inspektur senjata PBB guna membuktikan bahwa Irak tidak berada dalam suatu usaha membuat senjata pemusnah masal.
Hans Blix, pemimpin dari tim inspeksi senjata yang dikirim, mengatakan bahwa tidak ditemukan senjata pemusnah massal dan Irak telah bekerja sama dengan aktif, akan tetapi, di bawah ketentuan-ketentuan tertentu dan penundaan-penundaan. Sementara itu, Pemerintah AS di bawah Presiden George W. Bush sedang memfokuskan diri pada sosok Saddam Hussein yang dinilai ikut menjadi dalang serangan teror 11 September. Adapun Inggris mengonsentrasikan diri pada senjata pembunuh massal yang katanya dimiliki Irak.
Sebuah dokumen dari tahun 2002, yang disebut “Senjata Pembunuh Massal Irak”—sekarang lebih dikenal sebagai Dodgy Dossier atau “Dokumen Berisiko Tinggi” —dijadikan acuan. Pengantarnya ditandatangani Blair, dan isinya menyatakan, pasukan Inggris yang ditempatkan di Siprus bisa dicapai dengan senjata pembunuh masal hanya dalam waktu 45 menit setelah pernyataan perang. Isi laporan ini disebarluaskan dan tidak pernah dikoreksi pemerintah Inggris.
Memang, pada tanggal 15 Desember 2011, Perang Irak telah dinyatakan berakhir, yang ditandai dengan pernyataan penutupan misi militer pasukan AS di Irak oleh Menteri Pertahanan AS Leon Panetta. Namun, dalam perkembangannya, banyak sorotan ditujukan kepada invasi AS dan Inggris ke Irak tersebut. Kontroversi pun mencuat di mata publik dunia; apakah invasi tersebut telah mengakibatkan kejahatan perang yang serius ataukah tidak?
Konsep Kejahatan Perang
Kejahatan perang adalah suatu tindakan pelanggaran, dalam cakupan hukum internasional, terhadap hukum perang oleh satu atau beberapa orang, baik militer maupun sipil. Pelaku kejahatan perang ini disebut penjahat perang. Setiap pelanggaran hukum perang pada konflik antarbangsa merupakan kejahatan perang. Pelanggaran yang terjadi pada konflik internal suatu negara, belum tentu bisa dianggap kejahatan perang.
Kejahatan perang meliputi semua pelanggaran terhadap perlindungan yang telah ditentukan oleh hukum perang, dan juga mencakup kegagalan untuk tunduk pada norma prosedur dan aturan pertempuran, seperti menyerang pihak yang telah mengibarkan bendera putih, atau sebaliknya, menggunakan bendera perdamaian itu sebagai taktik perang untuk mengecoh pihak lawan sebelum menyerang.
Perlakuan semena-mena terhadap tawanan perang atau penduduk sipil juga bisa dianggap sebagai kejahatan perang. Pembunuhan massal dan genosida kadang dianggap juga sebagai suatu kejahatan perang, walaupun dalam Hukum Kemanusiaan Internasional (International Humanitarian Law), kejahatan-kejahatan ini secara luas dideskripsikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan.
Kejahatan perang merupakan bagian penting dalam hukum kemanusiaan internasional karena biasanya pada kasus kejahatan ini dibutuhkan suatu pengadilan internasional, seperti pada Pengadilan Nuremberg. Contoh pengadilan ini pada awal abad ke-21 adalah Pengadilan Kejahatan Internasional untuk Bekas Yugoslavia dan Pengadilan Kejahatan Internasional untuk Rwanda, yang dibentuk oleh Dewan Keamanan PBB berdasarkan pasal VII Piagam PBB.
Pada 1 Juli 2002, Pengadilan Kejahatan Internasional, yang berbasis di Den Haag, Belanda, dibentuk untuk mengadili kejahatan perang yang terjadi pada atau setelah tanggal tersebut. Beberapa negara, terutama Amerika Serikat, Tiongkok dan Israel, menolak untuk berpartisipasi atau mengizinkan pengadilan tersebut menindak warga negara mereka.[1]
Keadilan perang kadang dituding lebih berpihak kepada pemenang suatu peperangan, karena beberapa peristiwa kontroversi tidak atau belum dianggap sebagai kejahatan perang. Contohnya antara lain perusakan target-target sipil yang dilakukan Amerika Serikat pada Perang Dunia I dan Perang Dunia II; penggunaan bom atom terhadap Hiroshima dan Nagasaki pada Perang Dunia II.
Pada tahun 2003, Erol Moris memenangkan Academy Award atas film dokumenternya, The Fog of War: Eleven Lessons from the Life of Robert S. McNamara. Film itu sebagian besar berisi wawancara dengan Robert McNamara, termasuk perannya dalam pengeboman di Hiroshima dan Nagasaki. Ia pernah menjabat sebagai Menteri Pertahanan AS pada tahun 1961-1968. Setelah itu, ia menjabat sebagai Presiden Bank Dunia pada tahun 1968 hingga 1981.
Tahu bahwa ia tidak akan dituntut sebagai penjahat perang, McNamara menjelaskan bahwa Jenderal Curtis LeMay, arsitek pengeboman tersebut, pernah mengatakan, “Jika kita kalah perang, kita semua akan dituntut sebagai penjahat perang.”
“Saya rasa dia benar,” kata McNamara. “Dia dan saya telah melakukan kejahatan perang. LeMay tahu bahwa apa yang ia lakukan akan dianggap tidak bermoral jika pihaknya kalah. Tapi, apa yang membuat amoral jika Anda kalah dan tidak amoral jika Anda menang?”[2]
Chilcot Report dan Tuduhan Kejahatan Perang kepada Tony Blair
The Iraq Inquiry adalah sebuah jajak pendapat publik Inggris terkait peran negaranya dalam Perang Irak. Jajak pendapat ini diumumkan pada tahun 2009 oleh Perdana Menteri Gordon Brown dan dimulai dengan penyelidikan hingga kemudian diumumkan dan dipublikasikan pada 6 Juli 2016 lewat laporan publik berupa Chilcot Report. Laporan Chilcot yang disiapkan selama 7 tahun ini mencakup kajian hampir 10 tahun keputusan kebijakan pemerintah Inggris dari tahun 2001 sampai 2009.
Laporan Chilcot pada intinya menyebutkan: Inggris ikut melancarkan invasi ke Irak secara tergesa-gesa, sebelum semua opsi damai dijalankan. Di samping itu, antisipasi untuk masa pascaperang tidak memadai. Juga penarikan keputusan dilakukan berdasarkan penilaian data intelijen yang cacat dan meragukan.
Laporan ini diyakini akan jadi “ancaman” bagi mantan Perdana Menteri Tony Blair, yang aksinya ikut memicu berkobarnya Perang Irak II. Pertanyaan paling penting: Apakah Blair sengaja mengecoh parlemen? Atau ia hanya mempropagandakan informasi salah, yang ia sendiri percaya sebagai benar?
Penyelidikan resmi yang dipimpin Sir John Chilcot ini bukanlah sebuah pengadilan. Jadi, pada akhirnya tidak akan memberi akibat hukum kepada para pejabat yang dipanggil untuk memberi kesaksian. Namun demikian, penyelidikan ini mempunyai wewenang besar untuk memanggil semua pejabat Inggris yang terlibat dalam perang Irak dan membuka dokumen-dokumen yang selama ini masih menjadi rahasia.
Di antara saksi yang sudah tampil adalah bekas juru bicara Tony Blair, Alastair Campbell, yang mengatakan bahwa sang perdana menteri menulis surat kepada Presiden Bush pada tahun 2002 untuk mengatakan bahwa Inggris akan ikut apabila Amerika Serikat melakukan aksi militer terhadap Saddam Hussein.
Selama ini yang masih menjadi pertanyaan sejumlah warga Inggris adalah apakah Blair membesar-besarkan informasi intelijen tentang senjata pemusnah massal Irak untuk mendukung niatnya memerangi Saddam Hussein.Hal lain yang menjadi sorotan adalah mengenai legalitas invasi itu yang tidak didasarkan pada resolusi Dewan Keamanan PBB, apalagi setelah terungkap dalam kesaksian bahwa mantan jaksa agung Inggris, Lord Goldsmith, berubah sikap tak lama sebelum invasi. Sementara dua pejabat hukum Departemen Luar Negeri Inggris menyatakan invasi itu melanggar hukum internasional tanpa dukungan Dewan Keamanan PBB.
Pengritik kebijakan perang Blair menganggapnya telah melanggar adab kemanusiaan dan layak dibawa ke pengadilan kejahatan perang. Seorang aktivis perdamaian Inggris bahkan membuat situs yang berjudul tangkap Tony Blair—arrestblair.org—karena dianggap melakukan kejahatan melawan perdamaian dan membuka rekening donasi yang didedikasikan khusus menangkap Blair.[3]
John Prescott, yang menjadi Wakil Perdana Menteri ketika Inggris terlibat dalam Perang Irak 2003, juga mengatakan bahwa invasi Inggris dan Amerika Serikat ke negara itu adalah “ilegal”. Dalam tulisannya di harian Sunday Mirror, dia mengaku sisa hidupnya bakal terbebani akibat “keputusan penuh malapetaka” tersebut. Prescott mengatakan dirinya saat ini “dengan kesedihan dan kemarahan luar biasa” mendukung pernyataan mantan Sekjen PBB Kofi Annan yang saat itu menyatakan bahwa Perang Irak adalah tindakan ilegal.
Namun, dia juga memuji pernyataan pimpinan Partai Buruh yang meminta maaf atas nama partai terkait keterlibatan Inggris dalam Perang Irak. Prescott juga mengatakan bahwa pernyataan Perdana Menteri Tony Blair bahwa “Saya dengan Anda, apapun alasannya” dalam pesannya kepada Presiden AS George W. Bush sebelum invasi pada Maret 2003, merupakan sikap yang “menghancurkan”.
Dalam tulisannya, Prescott secara pribadi juga menyatakan “permintaan maaf sepenuhnya” terutama kepada keluarga tentara Inggris yang tewas di Irak. Menurutnya, Inggris memilih untuk bergabung melakukan invasi sebelum jalan keluar damai untuk melucuti Irak telah ditempuh sepenuhnya. Dia mengatakan, sekarang jelas bahwa kebijakan terhadap Irak didasarkan data intelijen yang cacat dan penilaian yang tidak pernah dipertanyakan.[4]
Laporan Chilcot juga mengungkap bahwa Tony Blair, mengirimkan memo-memo dukungan kepada George W. Bush, sebelum mantan presiden Amerika Serikat itu mengirimkan pasukan untuk menginvasi Irak. Laporan Chilcot juga mengungkapkan bahwa Blair mengirimkan 29 surat rahasia untuk Bush dalam masa-masa sebelum invasi.
Pada memo tertanggal 4 Desember 2001, Blair mengakui adanya keengganan dari negara-negara lain untuk melakukan aksi militer di Irak, namun menegaskan “yang pasti, orang-orang ingin menyingkirkan Saddam.” Blair juga menyarankan Bush untuk merancang peta untuk menggulingkan rezim Saddam Hussein, termasuk di antaranya menekan Suriah, memantik api pemberontakan di dalam Irak, dan juga mengajak Rusia ikut serta.
Dalam memo tertanggal 28 Juli 2002, Blair mengungkapkan dukungannya untuk Bush, namun mengingatkan bahwa negara-negara Eropa takkan terlibat tanpa adanya otorisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Ia menyarankan Bush mengumpulkan bukti-bukti bahwa Irak memang menyembunyikan senjata pemusnah massal dan juga bukti keterkaitan Irak dengan Al-Qaeda.
Dalam memo yang sama, Blair mengakui bahwa Perang Irak tidak akan berlangsung mudah. “Ini bukan Kosovo. Ini bukan Afghanistan. Ini bahkan bukan Perang Teluk.” Blair juga mengatakan pada Bush bahwa Saddam Hussein adalah rezim yang paling brutal di dunia selain Korea Utara, dan menurunkan Sadam Hussein dari posisinya sebagai presiden Irak akan “membebaskan negara itu”.
Dalam memo tertanggal 26 Maret 2003, atau enam hari setelah invasi dimulai, Blair membenarkan serangan tersebut, meski tak ada bukti konkret Irak memiliki senjata pemusnah massal. Blair mengatakan bahwa meskipun senjata pemusnah massal adalah faktor penting, “hadiah utama” mereka adalah untuk menyingkirkan Saddam.
Enam bulan setelah perang dimulai, Blair kembali mengirimkan surat dan mengakui bahwa rencana mereka tak berjalan sesuai rencana. Satu bulan kemudian, Blair mulai mengirimkan surat dalam nada panik. “Memerangi Irak di daratan sangat sukar. Kami kehilangan orang karena serangan teroris. Kami belum menemukan cukup bukti soal senjata pemusnah massal.”
Surat-surat Blair untuk Bush ini berlanjut selama perang berlangsung dan menunjukkan kedekatan hubungan antara Blair dan pemimpin Amerika Serikat tersebut. Menanggapi temuan ini, Alex Salmond dari Partai Nasional Skotlandia mengatakan, “Mengatakan satu hal yang sama untuk George W. Bush secara pribadi, itu adalah tindakan kejahatan, pelanggaran pada parlemen, dan sekarang saatnya bagi parlemen untuk memberikan vonis kepada mereka.”[5]
Pada akhirnya, pemimpin penyelidikan Inggris terkait perang Irak, Sir John Chilcot, menyampaikan kesimpulan yang mengecam keras peran Inggris dalam invasi pimpinan Amerika Serikat pada tahun 2003. Saat menyampaikan temuan penyelidikan, Chilcot mengatakan bahwa Inggris memilih untuk bergabung melakukan invasi sebelum jalan keluar damai untuk melucuti Irak telah ditempuh sepenuhnya.
Dia mengatakan sekarang jelas bahwa kebijakan terhadap Irak didasarkan data intelijen yang cacat dan penilaian yang tidak pernah dipertanyakan. Chilcot mengatakan Irak bukanlah ancaman segera, dan penilaian tentang risiko senjata pemusnah massal Irak yang disampaikan sebagai suatu kepastian, sama sekali tidak berdasar.
Dia menambahkan bahwa Perdana Menteri Inggris saat itu, Tony Blair, berperang bersama-sama dengan AS agar sejajar dengan sekutu utamanya. Tetapi, Blair tidak mendesak Presiden George W Bush terkait jaminan pasti rencana Amerika.
Perdana Menteri David Cameron mengatakan hal ini adalah pelajaran yang harus dikaji untuk masa depan dan semua pihak yang mendukung aksi militer di Irak harus turut merasa bersalah.[6]
Pengakuan Bersalah Tony Blair
Keluarga tentara Inggris yang tewas di Irak menyatakan kemarahan mereka terkait keputusan mantan Perdana Menteri Inggris Tony Blair berperang di Irak. Dalam berbagai kesempatan, Blair telah meminta maaf atas kesalahan yang dibuatnya, tetapi tidak pada keputusannya untuk melibatkan Inggris berperang ke Irak.
Tony Blair mengaku tidak menyangka Irak akan terjerumus dalam bencana setelah Saddam Hussein jatuh. Dalam memoarnya, Blair menyebut keadaan di Irak setelah Saddam Hussein digulingkan sebagai nightmare (mimpi buruk). Memoar yang ditulis selama tiga tahun itu bercerita tentang masa kepemimpinan Blair sebagai perdana menteri antara 1997-2007.
Blair mengatakan sangat menyesali jatuhnya korban dalam invasi Amerika, Inggris dan sekutu-sekutunya. Namun menurutnya Saddam menimbulkan bahaya yang lebih besar seandainya dia dibiarkan berkuasa. “Kami tidak mengantisipasi peran Al-Qaidah atau Iran,” kata Blair mengenai perencanaan pascaperang yang ternyata menyebabkan pertumpahan darah berlangsung sampai lama setelah rezim Saddam tumbang.
Blair mengatakan dia sangat menyesalkan jatuhnya korban akibat perang di Irak, penyesalan yang menurutnya lebih dari sekadar perasaan sedih ketika melihat tayangan berita yang tragis. “Saya merasa sangat kasihan pada mereka, kasihan pada kehidupan yang direnggut, kasihan pada keluarga yang kesedihannya semakin parah karena kontroversi mengenai alasan kematian sanak saudara mereka, kasihan karena merekalah yang secara tidak fair harus kehilangan.”
Tercatat, lebih 200 warga Inggris tewas karena perang Irak, sementara sampai tahun 2009 paling sedikitnya 150 ribu warga Irak yang meninggal, dan lebih satu juta orang harus mengungsi.Perang itu juga menyedot dana senilai 12 miliar dolar AS dari anggaran Inggris.
Dalam pernyataannya pada tahun 2010 tersebut, Blair mengaku akan mengambil tindakan yang berbeda pada tahun 2002 dan 2003, jika ia punya informasi intelejen yang baru muncul setelahnya. “Itu bukan penipuan, melainkan sebuah keputusan,” kata Blair menyangkut keikutsertaan Inggris dalam invasi ke Irak yang digagas AS secara unilateral tanpa persetujuan PBB dan NATO.
Tapi ada yang beranggapan, Blair menipu negara, parlemen, bahkan kabinetnya sendiri, karena salah menginterpretasi atau membesar-besarkan hasil penyelidikan yang sangat terbatas, dan keinginannya untuk mengambil keputusan dalam suasana yang informal dan bukan dalam pertemuan kabinet. Bahkan, pemimpin Partai Buruh—partainya Blair—saat ini, Jeremy Corbyn, juga sempat menyatakan akan mengajukan tuntutan terhadap Blair, jika hasil penyelidikan merujuk pada kesalahan Blair.
Sementara anggota Parlemen David Davis dari kubu konservatif menilai Blair tidak hanya berbohong, tapi juga melancarkan kampanye terkoordinir untuk menyesatkan politisi serta publik. Davis mengatakan konflik yang dipicu “koalisi antiteror” Bush menyebabkan Irak sekarang jadi puing-puing belaka. Hal ini juga jadi penyebab utama menyebarnya kekerasan di kawasan maupun global sekaligus merusak kepercayaan pada kemampuan politik luar negeri negara-negara Barat.
Dua tuduhan jelas memberatkan Blair. Yang pertama, apakah ia sengaja menipu rakyat dan parlemen? Yang kedua, apa motifnya ikut perang? Ketika Chilcot’s Iraq Inquiry berkonklusi bahwa “pergantian rezim Irak” jadi tujuan invasi, dan bukan melucuti senjata Saddam, Blair pun dituduh melanggar mandatnya.[7]
Pada akhirnya, menjawab temuan penyelidik, Blair mengatakan dirinya bertanggung jawab sepenuhnya terhadap kesalahan apa pun tanpa kecuali dan tanpa alasan apa pun. Tetapi, dia meminta masyarakat Inggris untuk menerima apa yang telah dilakukannya, apa yang dirinya pikir yang terbaik saat itu.Blair mengatakan dia masih meyakini dunia lebih baik tanpa Saddam Hussein, dan biaya kemanusiaannya lebih besar jika Saddam dibiarkan berkuasa.[8]
Ketika itu opini publik tentang keikutsertaan Inggris dalam invasi Irak bermacam-macam. Yang tegas menentang hanya sedikit. Ada demonstrasi menentang perang di London yang dihadiri 1 juta orang. Namun, setelah beberapa tahun Perang Irak dan Saddam Hussein dihukum mati, kesalahan data atau rekayasa informasi dalam konflik Irak makin jelas. Barulah rakyat Inggris menyatakan tidak setuju negaranya ikut invasi yang digagas AS tanpa persetujuan Dewan Keamanan PBB. Tapi, semua sudah terlambat dan tidak ada gunanya, terutama bagi rakyat Irak yang menjadi korban.
Pada sisi lain, mari bicara tentang Tony Blair Faith Foundation. Lembagayang didirikandanberada di bawah asuhan Tony Blair ini sama sekali tidak menyinggung isu ini. Padahal, lembaga tersebut dikenal getol dalam mengampanyekan program CVE (Counter Violent Extremism) dan perdamaian dunia.
Sikap yang ditunjukkan oleh Tony Blair justru menunjukkan paradoks (bertolak belakang) dengan slogan yang dikampanyekan oleh lembaganya tersebut. Dalam website resminya disebutkan:
“The Rt. Hon. Tony Blair established the Tony Blair Faith Foundation in 2008 because he believed that religious ideology and its impact on the world would be the biggest challenge facing the 21st Century.
Our team is committed to increasing understanding of the impact of religion in the world and mitigating the damage caused by religious conflict and extremism. We advocate for open-mindedness, tolerance and secure and stable societies.”[9]
Pada saat yang sama, Tony Blair menegaskan sikapnya yang doyan perang lewat intervensi militer ketika menanggapi Laporan Chilcot:
“Tidak peduli apakah orang setuju atau tidak setuju dengan keputusan saya untuk melakukan tindakan militer terhadap Saddam Hussein; saya melakukannya dengan niat baik dan dengan yang saya yakini akan menjadi kepentingan yang terbaik untuk negara ini….
Saya akan bertanggungj awab penuh untuk setiap kesalahan tanpa pengecualian atau alasan. Saya di waktu yang sama selalu bertanya mengapa, namun, saya percaya bahwa lebih baik untuk menyingkirkan Saddam Hussein dan mengapa saya tidak percaya hal ini adalah penyebab terorisme yang kita lihat saat ini di Timur Tengah atau di tempat lain di dunia ini.”[10]
Respons Internasional terhadap Laporan Chilcot
Publikasi laporan Chilcot ternyata mendapatkan respons dari dunia internasional. Misalnya, Komite Luar Negeri Parlemen Mesir mengajukan permohonan dalam pernyataan yang dirilis pada tanggal 6 Juli 2016, dua hari setelah laporan tentang partisipasi Inggris dalam Perang Irak tersebut telah menemukan bahwa intervensi militer (AS dan Inggris) didasarkan pada cacat intelijen. Laporan Chilcot “telah menunjukan alasan palsu yang oleh Bush dan Blair telah digunakan untuk perang tidak sah mereka terhadap Irak,” kata pernyataan itu, menambahkan bahwa perang di Irak mengakibatkan lebih dari satu juta orang tewas dan jutaan lainnya terluka dan terlantar.
“Bush dan Blair harus diadili sebagai penjahat perang bukan hanya karena mereka adalah orang-orang yang mengumandangkan alasan untuk perang ini, tetapi juga karena mereka harus bertanggung jawab atas kematian jutaan warga Irak sejak tahun 2003,” pernyataan itu menambahkan. Lebih lanjut, para anggota parlemen Mesir mengatakan “Bush melakukan kejahatan di Irak di tengah ‘keheningan’ AS, yang memproklamirkan diri sebagai pembawa bendera demokrasi dan hak asasi manusia.
Mereka juga mencatat bahwa laporan Chicot menunjukan plot Barat yang tak henti-hentinya melawan negara-negara Arab, Teluk Persia dan Timur Tengah. “Konspirasi ini bertujuan menjarah kekayaan daerah ini, memperbudak bangsa dan menjatuhkan (mereka) ke dalam masalah yang konstan,” kata pernyataan itu. Anggota Parlemen Mesir selanjutnya menyarankan agar Liga Arab dan KTT Arab ke-27 di Mauritania mengeluarkan pernyataan keras terhadap intervensi militer Barat di Dunia Arab dan menekan PBB untuk mengadopsi prinsip ini.[11]
Sebelumnya, Peraih Nobel Perdamaian 1984, Uskup Agung Afrika Selatan, Desmond Tutu, pernah mengatakan bahwa invasi militer Amerika Serikat (AS) dan sekutunya, terutama Inggris, terhadap Irak adalah pelanggaran hak asasi manusia. Dia mendesak pengadilan tindak pidana hak asasi internasional (ICC) untuk mengungkap kejahatan HAM tersebut.
”George Bush dan Tony Blair telah melakukan kejahatan perang terhadap Irak,” tulis Desmond di surat kabar Inggris The Observer dan The Guardian (2/9/2016). Aktivis Apertheid ini menuliskan, kedua pemimpin negara adidaya itu telah melakukan kebohongan publik, dengan menyiarkan senjata pemusnah massal dan pembunuhan massal sebagai alasan invansi militer pada 2003 itu.
Menurut dia, kestabilan politik internasional dan keamanan di Kawasan Timur Tengah tidaklah akan terusik apabila AS dan sekutunya tidak turut campur di sana. Lebih jauh dia menganalisis bahwa penggulingan Saddam Hussein oleh kelompok digdaya itu adalah pemantik kerusuhan di kawasan hingga sekarang, dan memaksa Iran untuk terlibat. ”Bush dan Blair telah mendorong manusia ke tepi jurang peperangan,” ujarnya.
Desmond mengaku kecewa terhadap penegakan hukum di internasional, yang dianggap tidak adil dalam memperlakukan penjahat kemanusiaan lainnya. Dia mempertanyakan pengadilan di Den Haag hanya terkonsentrasi terhadap pelanggar HAM di Asia dan Afrika, namun tidak ‘membuka mata’ terhadap kejahatan kemanusian yang dimotori oleh AS bersama sekutu di tempat lain.
Dia menjelaskan, hingga sekarang 16 kasus kejahatan HAM yang diseret ke ICC. Di antaranya, yang menyeret pemimpin pemberontak dari Republik Demokratik Kongo (DRC), Thomas Lubanga (divonis 14 tahun penjara), dan penjahat Perang Serbia Ratko Mladic.
Sementara itu, Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) menyatakan tertarik pada sejumlah hasil penyelidikan, misalnya perincian soal tindakan kriminal yang dilakukan tentara Inggris di Irak. Tapi, ICC juga menyatakan, keputusan Inggris untuk melancarkan perang dengan Irak tidak termasuk jurisdiksi mereka.[12]
Dampak Perang Irak dalam Angka Statistik
Dampak dari invasi militer AS dan Inggris ke Irak luar biasa ‘disesalkan’ jika ditinjau dari berbagai aspek. Berikut ini sejumlah angka yang dikumpulkan BBC dari berbagai sumber di seputar Perang Irak sejak invasi Maret 2003 hingga mundurnya pasukan Amerika Serikat, Desember 2011.[13]
Jumlah tentara
Amerika Serikat memimpin invasi Irak dengan didukung oleh berbagai negara, antara lain Inggris.
Jumlah tentara AS di lapangan befluktuasi antara 100.000-150.000 kecuali pada masa ‘penambahan pasukan’ tahun 2007.
Pada masa itu, Presiden George Bush ingin meningkatkan keamanan di Irak, khususnya di ibukota Baghdad, dengan mengerahkan 30.000 pasukan tambahan.
Presiden Barack Obama kemudian menjanjikan penarikan mundur tentara AS dari Irak sebagai bagian dari kampanye pada tahun 2008 dan jumlah tentara AS di Irak terus berkurang sejak dia memerintah Januari 2009.
Tanggal 19 Agustus 2010, brigade pasukan tempur AS yang terakhir meninggalkan Irak, namun sekitar 50.000 personil masih tetap di sana untuk mempersiapkan proses peralihan keamanan.
Jumlah terbesar pasukan Inggris di Irak mencapai 46.000 pada masa invasi awal dan setiap tahun berkurang terus hingga 4.100 tentara ketika penarikan mundur pada Mei 2009. Namun Angkatan Laut Inggris masih melatih AL Irak hingga Mei 2011.
Jumlah korban
Amerika Serikat kehilangan 4.487 personilnya di Irak sejak Operasi Pembebasan Iran dilancarkan pada tanggal 19 Maret 2003. Sebanyak 3.492 tewas dalam operasi militer dan sekitar 32.000 luka-luka.
Sementara Inggris kehilangan 179 tentaranya dengan 136 tewas dalam operasi. Sebanyak 139 pasukan dari negara-negara lain anggota koalisi tewas di Irak.
Jika kematian pasukan internasional tercatat dengan baik, jumlah korban jiwa penduduk sipil maupun tentara atau pejuang bersenjata Irak lebih sulit untuk diperoleh. Oleh karena itu, semua perkiraan jumlah korban jiwa warga Irak bisa diperdebatkan.
Badan Perhitungan Irak, Iraq Body Council atau IBC, merupakan lembaga yang secara rutin melakukan perhitungan dengan melakukan pemeriksaan ulang atas laporan media dan sumber-sumber lain –antara lain catatan kematian di rumah sakit.
Berdasarkan IBC, tercatat 97.461 hingga 106.348 korban jiwa sipil hingga Juli 2010. Menurut IBC perbedaan antara tinggi-rendahnya korban disebabkan perbedaan laporan-laporan tentang berapa banyak yang tewas dalam insiden kekerasan dan apakah mereka warga sipil atau pejuang bersenjata.
Laporan lain—berdasarkan Survei Kesehatan Keluarga Irak yang didukung PBB—memperkirakan jatuh 152.000 korban jiwa dalam kekerasan sepanjang Maret 2003-Juni 2006. Jumlah itu mencakup pejuang Irak dan juga penduduk sipil.
Biaya perang
Perhitungan tentang biaya yang dihabiskan dalam Perang Irak juga bisa diperdebatkan. Data dari Badan Riset Kongres (Congresional Research Service) per Juli 2010 di bawah ini menggambarkannya:
Badan Riset Kongres memperkirakan negara itu menghabiskan hampir US$ 802 miliar untuk mendanai Perang Irak hingga tahun keuangan 2011.
Namun, pemenang Nobel Ekonomi Joseph Stiglitz dan akademisi dari Universitas Harvard, Linda Bilmes, mendapatkan perhitungan US$ 3 triliun dengan memasukkan dampaknya terhadap anggaran negara dan perekonomian AS.
Pemerintah Inggris pada Juni 2010 mengeluarkan angka US$ 14,32 miliar untuk mendanai perang Irak. Sebagian besar untuk kepentingan militer dan US$861 juta untuk bantuan.
Jumlah pengungsi
Kekerasan sektarian di Irak mulai berkembang pada awal 2005 dan meningkat drastis pada Februari 2006. Konflik bersenjata antara kubu Syiah dan Sunni mendorong terjadinya pengungsian di dalam negeri maupun ke luar negeri.
Organisasi Migrasi Internasional (IOM) memperkirakan dalam masa 2006-2010 sebanyak 1,6 juta warga Irak mengungsi dari rumahnya. Jumlah itu sekitar 5,5% dari total penduduk Irak. Dari jumlah itu, pada tahun 2012 sekitar 400.000 orang sudah kembali ke rumah mereka, khususnya di Baghdad, Diyala, Ninewa, dan di Provinsi Anbar.
Kesimpulan
Dari kumpulan data dampak perang di atas, publik bisa menilai layak tidaknya invasi militer yang mengakibatkan Perang Irak disebut sebagai kejahatan perang. Yang jelas, Laporan Chilcot–yang dideskripsikan oleh BBC News sebagai “laporan yang memberatkan”, oleh The Guardian sebagai “vonis berat”, dan oleh The Telegraph sebagai “tajam” –secara luas mengkritik aksi pemerintah dan militer Inggris untuk terlibat dalam perang maupun perencanaannya setelah Perang Irak.
Setidaknya, Laporan Chilcot menjadi titik masuk yang melahirkan beberapa kesimpulan, diantaranya bahwa ada pengakuan bahwa invasi Irak merupakan sebuah kesalahan, ditinjau dari sisi norma maupun aturan hukum internasional.
Di sisi lain, fakta Perang Irak menunjukkan wajah sesungguhnya dari negara-negara yang menjadi pemegang veto di PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa); bahwa PBB hanyalah alat bagi kepentingan negara-negara tersebut. Ketika kepentingan tidak sejalan maka prinsip-prinsip PBB pun tidak lagi dipedulikan, ditinggalkan, bahkan jika perlu dilanggar.
F. Irawan pada Laporan Reguler edisi 13 bulan Oktober 2016, Lembaga Kajian SYAMINA
[1]Cassese, Antonio. 2013. Cassese’s International Criminal Law (3rd ed.). Oxford University Press. pp. 63–66. [2]The Fog of War: Eleven Lessons from the Life of Robert S. McNamara (2003) [3]http://www.bbc.com/indonesia/dunia/2010/01/100129_chilcot [4]http://www.bbc.com/indonesia/dunia/2016/07/160710_dunia_inggris_perangirak_ilegal [5]”Terungkap, Memo Rahasia Blair untuk Bush dalam Perang Irak”, CNN Indonesia(7/7/2016). [6]http://www.bbc.com/indonesia/dunia/2016/07/160706_dunia_irak_inggris [7]”Invasi Irak Berdasar Data Intelien Cacat”, http://www.dw.com/id/inggris-invasi-irak-berdasar-data-intelejen-cacat/a-19381472 (6/7/2016). [8]http://www.bbc.com/indonesia/dunia/2010/09/100901_blairmemoar [9]Lihat: http://tonyblairfaithfoundation.org/foundation/leadership [10] Tony Blair says reports clears him of ‘bad faith’, The Guardian (6/7/2016): http://www.theguardian.com/politics/live/2016/jul/06/chilcot-report-live-inquiry-war-iraq [11]“Bush, Blair should be tried as war criminals for Iraq war: Egypt’s Parliament”, Ahram Online,http://english.ahram.org.eg/NewsContent/1/64/232751/Egypt/Politics-/Bush,-Blair-should-be-tried-as-war-criminals-for-I.aspx (8/7/2016). [12]”Why I had no choice but to spurn Tony Blair” https://www.theguardian.com/commentisfree/2012/sep/02/desmond-tutu-tony-blair-iraq (2/9/2012) [13]http://www.bbc.com/indonesia/laporan_khusus/2013/02/130216_irak_statistik
(azm/arrahmah.com)