JAKARTA (Arrahmah.com) – Menurut Ketua Dewan Pertimbangan (Wantim) Majelis Ulama Indonesia (MUI) Din Syamsuddin keislaman sebuah kota harusnya dilihat dari penerapan nilai-nilai Islam dalam kehidupan masyarakat. Lebih jauh, penerapan nilai-nilai islami juga harus dijabarkan dalam hubungan antar rakyat dan pemimpin.
Dia tidak sepakat dengan hasil penelitian Maarif Institute terkait Indeks Kota Islami (IKI) menyebutkan kota yang menerapkan regulasi syariah tidak menjamin menjadi kota islami.
“Penilaian itu kan relatif. Jika orang lain mengadakan penelitian mungkin akan lain lagi hasilnya,” ujar Din di kantor pusat MUI, Rabu (18/5/2016), dikutip dari Republika.
Terkait, Ketua Dewan Syuro Ikatan Dakwah Indonesia (Ikadi) Hidayat Nur Wahid mengatakan penilitian Maarif Institute yang menyebut kota yang menerapkan regulasi syariah tidak dijamin islami harus dijelaskan dengan lebih detil. Tujuannya agar tidak terjadi kesalahpahaman.
“Terutama definisi dari terminologi Islami harus disepakati terlebih dahulu agar tidak menjadi perdebatan,” ujar Hidayat kepada Republika, Kamis (19/5).
Menurut Hidayat kriteria yang ditetapkan Maarif Institute terkait kota islami belum bisa diterima tanpa memasukkan tolak ukur keislaman itu sendiri. Jika menggunakan istilah islami, maka definisi islami harus merujuk pada parameter islam.
Contoh, di kota tersebut tidak ada perjudian, perzinahan, peredaran minuman keras dan obat terlarang. Tindakan ini nyata dilarang dalam Islam. Kalau hal ini dijadikan tolok ukur, kata Hidayat, maka hasilnya akan berbeda.
“Bahwa satu kota itu aman, sejahtera dan bahagia dibanding kota lain itu bisa saja. Tetapi, apakah itu yang islam dan islami? Ini masih menjadi perdebatan apalagi ketika dihadapkan dengan perda syariah,” kata Hidayat.
Lagipula, dia menambahkan, regulasi syariah yang diberlakukan saat ini di beberapa kota memang belum bisa menjadi tolak ukur karena masih bersifat parsial dan belum menyeluruh. Kendati demikian, Hidayat mengapresiasi adanya penelitian ini dengan tujuan agar kota menjadi lebih baik.
Sebelumnya, lansir Antara, Maarif Institute merilis penelitian soal Indeks Kota Islami (IKI) menempatkan Yogyakarta, Bandung dan Denpasar sebagai kota dengan indeks Islami tertinggi yang masing-masing mencatatkan angka sama yaitu 80,64.
“Islami ini memang bisa diperdebatkan. Tapi dengan tiga tolok ukur Islaminya kota yaitu aman, sejahtera, dan bahagia bisa menjadi fakta yang menarik,” kata Direktur Riset Maarif Institute Ahmad Imam Mujadid Rais dalam paparan IKI di Jakarta, Selasa (17/5).
Rais membagi tiga tolok ukur pada beberapa poin seperti kategori kota aman diukur dari indikator kebebasan beragama dan berkeyakinan, perlindungan hukum, kepemimpinan, pemenuhan hak politik perempuan, hak anak, dan hak difabel. Selanjutnya indikator sejahtera diukur dari pendidikan, pekerjaan, pendapatan dan kesehatan. Semantara tolok ukur bahagia diukur dari indikator berbagi dan kesetiakawanan serta harmoni dengan alam.
Dia mengatakan Denpasar memang kota minoritas Muslim tetapi dengan tiga tolok ukur IKI membuat kota berpenduduk mayoritas Hindhu ini menempati urutan teratas kota paling Islami bersanding dengan Yogyakarta dan Bandung. Di urutan empat, Bengkulu mencatatkan IKI sebesar 78,40 diikuti Pontianak (78,14), Serang (77,82), Metro (77,50) Semarang (75,58), Palembang (74,36) dan Malang (73,72).
Jumlah sampel kota dalam penelitian berdasarkan pertimbangan penelitian, yaitu kota tersebut merupakan ibu kota dari provinsi dan atau merupakan kota utama. Total sampel adalah 29 kota di Indonesia di antaranya Banda Aceh, Padang, Padang Panjang, Jambi, Palembang, Bengkulu, Metro, Pangkal Pinang, Batam dan Tasikmalaya.
(azm/arrahmah.com)