Oleh Ustadz Ahmad Isrofiel Mardlatillah
(Arrahmah.com) – Dalam salah satu khutbahnya, Rasulullah Saw menasihatkan, “Wahai manusia! Sesungguhnya diri-dirimu tergadai karena amal-amalmu, maka bebaskanlah dengan istighfar. Punggung-punggungmu berat karena beban dosamu, maka ringankanlah dengan memperpanjang sujudmu.”
Istighfar, memohon ampunan Allah subhanahu wa ta’ala, merupakan solusi bagi problema kehidupan. Abdullah bin Abbas yang lebih dikenal dengan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma pernah berkata:
كان فيهم أمانان : النبي صلى الله عليه وسلم ، والاستغفار . فذهب النبي صلى الله عليه وسلم ، وبقي الاستغفار .
“Di tengah kaum muslimin, ada dua alat pengaman, yaitu keberadaan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan istighfar. Tetapi sekarang, Nabi telah wafat, sehingga alat pengaman yang tinggal adalah istighfar (memohon ampun kepada Allah).”
Ucapan Ibnu Abbas di atas, dinukil oleh Ibnu Katsir dalam Tafsirnya (2/372) ketika mengomentari ayat 33 surah Al-Anfal:
وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُعَذِّبَهُمْ وَأَنتَ فِيهِمْ ۚ وَمَا كَانَ اللَّهُ مُعَذِّبَهُمْ وَهُمْ يَسْتَغْفِرُونَ
“Wahai Muhammad, Allah sama sekali tidak akan menurunkan adzab kepada kaum kafir Quraisy selama kamu berada di tengah-tengah mereka. Dan Allah tidak akan mengadzab mereka selama mereka mau memohon ampun kepada-Nya”.
Imam al-Qurthubi menyebutkan dari Ibnu Shubaih, bahwasanya dia berkata: Ada seseorang yang mengadu kepada Hasan al-Bashri rahimahumullah, tentang musim paceklik. Lalu Hasan al-Bashri berkata, “Istighfarlah engkau kepada Allah.”
Ada lagi orang yang mengadu bahwa dia miskin. Hasan al-Bashri tetap menjawab, “Mintalah ampun kepada Allah.”
Pengadu berikutnya mengatakan, “Do’akanlah saya agar dikaruniai anak.” Hasan al-Bashri tetap menjawab, “Mintalah ampunan kepada Allah.”
Kemudian ada lagi yang mengadu bahwa kebunnya kekeringan. Hasan al-Bashri tetap menjawab, “Mohonlah ampun kepada Allah.”
Melihat hal itu, Rabi’ bin Shubaih heran dan berkata pada Hasan Al-Bashri. “Tadi orang-orang berdatangan kepadamu mengadukan berbagai permasalahan, dan engkau memerintahkan mereka semua agar beristighfar, mengapa demikian?’
Hasan al-Bashri rahimahullah menjawab, “Aku tidak menjawab dari diriku pribadi, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengatakan dalam firman-Nya:
فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا # يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُم مِّدْرَارًا # وَيُمْدِدْكُم بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ وَيَجْعَل لَّكُمْ جَنَّاتٍ وَيَجْعَل لَّكُمْ أَنْهَارًا
“Lalu aku berkata kepada kaumku, ‘Hendaklah kalian mohon ampun kepada Tuhan kalian dari kekafiran dan dosa-dosa kalian. Tuhan kalian itu senantiasa Maha Pengampun. Allah menurunkan hujan dari langit secara terus menerus kepada kalian. Allah memberikan harta dan anak kepada kalian. Allah memberikan kebun-kebun dan sungai-sungai kepada kalian.’“ (Qs. Nuh [71]: 10-12)
Lalu seorang laki-laki bertanya pada Hasan al-Bashri, “Tidakkah seseorang di antara kita malu terhadap Tuhannya? Kita berbuat dosa lalu kita mohon ampun, lalu kita berbuat dosa lagi kemudian kita mohon ampun lagi, dan begitu seterusnya?”
Al-Hasan berkata kepada orang itu, “Setan ingin agar seorang di antara kalian berbuat seperti itu. Karena itu, kalian jangan meninggalkan istighfar untuk selama-lamanya.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
طُوبَى لِمَنْ وَجَدَ فِى صَحِيفَتِهِ اسْتِغْفَارًا كَثِيرًا.
“Sungguh beruntung bagi orang yang mendapatkan dalam buku catatan amalnya, banyak istighfar.” (HR. Ibnu Majah)
Istighfar Tukang Roti
Dalam Kitab Shifatus Shafwah karangan Ibnul Jauzi, dikisahkan tentang pengembaraan Imam Ahmad bin Hambal ke suatu negeri, yang di negeri itu sudah banyak pengikut mazhabnya. Dalam perjalanan, beliau kemalaman dan menemukan sebuah masjid, beliau ingin menghabiskan malam di dalam masjid itu. Namun penjaga masjid tidak memperbolehkannya beristirahat di dalam masjid.
Kendati ketenaran Imam Ahmad sudah sampai di seluruh pelosok negeri, namun tak banyak orang mengenal sosok dan rupanya. Untunglah, ketika itu ada seorang pengusaha roti yang bersedia menerima beliau untuk menginap di rumahnya.
Ketika sampai di rumah, Imam Ahmad memperhatikan amalan yang terus diwiridkan oleh Si Tukang roti. Ia senantiasa beristighfar dalam setiap aktivitas yang ia lakukan. Lidahnya selalu basah dengan istighfar.
“Wahai tuan, apa fadhilah (keutamaan) yang tuan dapatkan dari amalan (selalu beristighfar) tersebut?” tanya Imam Ahmad penasaran.
Sang Tukang roti tersenyum. “Fadhilahnya, setiap do’a yang saya panjatkan kepada Allah selalu dikabulkan-Nya,” jawabnya.
“Tapi, ada satu do’a saya yang hingga saat ini belum dikabulkan Allah,” sambungnya.
“Do’a apakah itu, tuan?” tanyanya takjub.
“Dari dahulu, saya berdo’a kepada Allah agar dipertemukan dengan imam mazhab saya, yakni Imam Ahmad bin Hanbal. Namun hingga saat ini, saya belum juga dipertemukan dengan beliau,” tutur Tukang roti itu.
Lalu, dengan takjub Imam Ahmad berkata, “Aku adalah Ahmad bin Hanbal. Demi Allah, aku benar-benar didatangkan oleh Allah kepadamu.”
Demikian dahsyatnya kekuatan istighfar, sehingga Allah subhanahu wa ta’alat enggan untuk menolak do’a tukang roti yang dipanjatkan kepada-Nya.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ أَكْثَرَ الِاسْتِغْفَارَ جَعَلَ اللَّهُ لَهُ مِنْ كُلِّ هَمٍّ فَرَجًا وَمِنْ كُلِّ ضِيقٍ مَخْرَجًا وَرَزَقَهُ مِنْ حَيْثُ لاَ يَحْتَسِبُ
“Barangsiapa memperbanyak istighfar (mohon ampun kepada Allah), niscaya Allah menjadikan baginya pada setiap kesedihannya jalan keluar dan pada setiap kesempitan ada kelapangan dan Allah akan memberinya rezeki (yang halal) dari arah yang tiada disangka-sangka.” (Hr. Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Majah)
Wallahu’alam bish shawab…
(*/arrahmah.com)