XINJIANG (Arrahmah.com) – Kedutaan Cina di Pakistan telah gagal menolong wanita etnis Uighur berkewarganegaraan Cina yang terdzolimi di sana, sebagaimana dilaporkan Radio Free Asia (RFA) pelayanan siar Uighur, Jum’at (11/9/2015). Muslimah Uighur itu telah dipisahkan dari keempat anaknya dan dipukuli oleh saudara iparnya yang merupakan warga Pakistan, sementara suaminya ditahan di penjara.
Asiye Kerim (48), menikahi pengusaha di Pakistani Abduljalil Abdulwahab pada1995 di Korla, Perfektur Otonomi Bayin’gholin Mongol di baratdaya Uighur, Xinjiang, Cina. Pasangan ini memiliki 2 anak di Xinjiang sebelum pindah ke Peshawar di utara Pakistan, dekat keluarga Abdulwahab, dimana mereka dikarunia 2 anak lainnya.
Pada 2010, saat bepergian ke Urumqi ibukota Xinjiang, Abdulwahab ditangkap dan dijatuhi hukuman 18 tahun penjara oleh pengadilan Cina atas tuduhan menjual narkoba. Kerim mengatakan kepada RFA layanan siar Uighur bahwa ia dipaksa lari ke Peshawar di Korla bersama keempat anaknya setahun kemudian ketika 4 saudara Abdulwahab memintanya tinggal disana sampai suaminya bebas dari penjara.
Setelah menemui Abdulwahab di penjara pada 2013, ia meyakinkan Kerim untuk mendaftakan kedua anaknya menjadi warga negara Pakistan di Peshawar guna melanjutkan sekolahnya. Sayangnya, ketika mereka mengalami kekerasan yang dilakukan keluarga suaminya awal tahun ini, sehingga ia dan kedua anaknya memutuskan untuk pergi ke Korla di Pakistan.
Kerim merahasiakan rencana kepergiannya itu dari saudara suaminya, ia perbaharui paspor Pakistan kedua anaknya dan mendaftarkannya ke Kedutaan Cina di ibukota Islamabad. Mereka berharap mendapatkan visa untuk kembali ke Xinjiang, dimana suaminya dipenjara.
Tetapi, pada akhir Agustus, saudara-saudara Abdulwahab masuk ke rumah Kerim di Peshawar di desa Hajiabad. Mereka meminta semua paspor dan telepon genggamnya, dan saat ia menolak, mereka memukulinya dan mengancam akan membunuhnya jika ia meninggalkan rumah itu.
“Mereka menghina saya dan memukui saya beberapa kali, sampai beberapa gigi saya tanggal dan melukai tangan kanan saya,” ujarnya, menambahkan bahwa anak tertuanya dan putrinya juga disakiti saat mereka mencoba melindunginya.
“Sejak saat itu…kami takut untuk pergi- bahkan untuk ke halaman- karena mereka melarang kami keluar sampai saya sembuh dari luka-luka saya. Jika saya pergi, mereka barangkali akan menembak mati saya.”
Kerim mengatakan bahwa anaknya secara diam-diam membawanya ke dokter, 2 hari setelah insiden itu. Ia meminjam motor tetangganya, tetapi mereka pergi dalam keadaan penuh ketakutan.
Ia mengatakan bahwa Kedutaan Cina tak membantu banyak untuk kepergiannya meninggalkan Pakistan.
“Saya telah menelepon Kedutaan (Cina) di Islamabad dan meminta tolong agar menyelamatkan kami, tetapi mereka tidak tertarik dengan kasus kami, hanya mengatakan ‘kita lihat apa yang bisa kami lakukan’,” akunya.
“Kemudian saat saya menelepon kedutaan lagi, staf disana menutup teleponnya tanpa penjelasan.”
Kerim mengatakan bahwa ia merasa tergganggu jika melaporkan situasi yang dihadapinya kepada otoritas lokal, karena “mereka kenal dengan saudara iparnya, tetapi mereka tidak mengenal saya.”
Tanpa ada siapa pun untuk kembali, Kerim telah meminta pertolongan lembaga Omer Uighur Trust -sebuah lembaga HAM yang bermarkas di utara Pakistan di kota Rawalpindi- yang anggotanya telah merawat keluarganya, meski mereka belum dapat mengembalikannya kembali ke Cina “karena keterbatasan wewenang mereka dalam mengatasi kasus seperti itu.”
Ia juga meminta komunitas internasional Uighur untuk “menolongnya dari situasi membahayakan ini.”
Situasi membahayakan
Omer Khan, seorang warga Pakistan etnik Uighur dan pendiri Omer Uighur Trust, mengonfirmasikan bahwa Kedutaan Cina tidak melakukan apa-apa untuk menolong Kerim dan keluarganya.
“Saya telah menelepon Kedutaan Cina melalui penerjemah, melaporkan situasi dan menyampaikan permohonan bantuan untuk Aisye,” ujarnya kepada RFA.
“Mereka merekam laporan kami dan hanya menjawab dengan mengatakan ‘kami akan meneleponmu kembali.’ Tetapi sejauh ini, mereka tidak membalas telepon kmai atau berbicara kepada Aisye.”
Khan berkata bahwa ia telah pergi ke desa Hajiabad dimana Kerim dan anak-anaknya menahan diri dari berbicara dengan saudara-saudara iparnya. Bahkan para tetangganya menasehati agar “menghindari kontak langsung dengan mereka,” menyatakan bahwa mereka bisa saja menjadi marah dan menyerang keluarga itu lagi.
Ia mengatakan bahwa kelompoknya kemudian berbicara dengan anggota kepolisian desa itu, yang mengatakan telah memperlakukan Kerim dan keluarganya dengan baik dan mengamini hak Kerim untuk kembali ke Xinjiang sebagai warga negara Cina dan dapat membawa anak-anaknya bersamanya.
Tetapi polisi mengatakan kepada mereka bahwa mereka tidak dapat bertindak langsung, karena mereka hanya staf biasa, selain itu mengingat [perawakan] saudara ipar Kerim, dibutuhkan setidaknya “20 orang aparat untuk masuk ke rumah itu.”
Khan mengaku telah sering berkomunikasi dengan Kerim, dan memintanya agar tetap tenang.
Namun ia juga telah meminta polisi agar bertindak secepatnya, “karena Aisye dan anak-anaknya dalam situasi yang sangat membahayakan.”
Hingga berita ini diturunkan, telepon berulang dari RFA ke Kedutaan Cina di Islamabad selalu diputus oleh staf disana. (adibahasan/arrahmah.com)