JAKARTA (Arrahmah.com) – Aksi brutal Densus 88 selama 10 jam di penghujung 2013 hingga awal 2014 mendapat kecaman dari umat Islam. Aksi brutal ini menyebabkan 6 orang meninggal dunia diterjang peluru-peluru pasukan dzalim boneka Amerika dan Australia.
Kecaman terhadap Densus 88 itu mulai dari tindakannya yang dzalim, dinilai telah memprovokasi dengan menyiram api kebencian hingga produsen teror yang berujung pada produk State Terrorism.
“Negara ini dzalim sekali,mengawali tahun 2014 dengan membunuh 6 orang secara demonstratif hanya karena tuduhan terduga teroris,” komentar Direktur CIIA (The Community Of Ideological Islamic Analyst), Harits Abu Ulya secara tertulis kepada redaksi Rabu (1/1/2013).
Menurut dia, Densus memprovokasi kaum Muslimin dengan menyiram “bensin” dan membakar kebencian, “Densus88 kembali menyiram api kebencian sekaligus menjadi produsen teror demi teror yang akan tumbuh silih berganti pelakunya.”
Harits sudah bisa menebak ke arah mana isu terakhir ini akan bergulir, jika terkait teror Pondok Aren dulu ditetapkan DPO Nurul Haq dan Hendi Albar,sekarang pasti narasi baru akan dibuat untuk menjelaskan peran-peran mereka yang tewas (Dayat Kacamata Cs).
“Ini adalah yang kesekian kalinya aparat Densus88 terlihat tidak profesional,inikah yang disebut langkah preventif/pencegahan?”
Dia mempertanyakan operasi aparat Densus 88, tatkala sebelum ini mereka bisa menangkap hidup-hidup Anton, sebelumnya Badri, Sofyan, Iskandar dan lain-lain, kenapa orang-orang yang dianggap terkait dengan mereka di Ciputat tidak bisa ditangkap hidup?
“Saya melihat sejatinya aparat telah menjadikan “terorisme” menjadi komoditi penting bagi mereka.Dan kecondongan melestarikan dengan pola-pola penindakan yang kontra produktif.Karena cara arogan yang eksesif dengan senjata itu akan memantik kebencian dan aksi balas dendam dalam beragam bentuk teror.
Harits mencontohkan seperti halnya opini tentang ancaman teroris jelang natal,jelang tahun baru dan jelang pemilu itu semua adalah penguluran rentang waktu agar proyek melawan “terorisme” bisa berjalan kontinyu mengikuti mementum yang ada.
Dia menyebut sejatinya itu adalah propaganda untuk melegitimasi perburuan demi perburuan teroris versi Densus88 dan BNPT dengan Satgas liarnya.
Sedih sekali, kata pemerhati kontra terorisme, kemana para tokoh umat ini? Nyawa demi nyawa tumbang diujung senapan hanya karena dituduh teroris tanpa pernah ada pengadilan bagi mereka.
“Dimana orang-orang yang punya nurani dan akal sehat? Kenapa diam seribu bahasa? Apakah hanya dengan label tuduhan teroris kemudian menjadi sertifikat halal untuk membunuhnya? Kalau mereka sudah mati lantas bagaimana membuktikan kebenaran bahwa mereka terlibat aksi terorisme? Andaikan mereka benar terlibat, apakah kadar hukumannya mesti di bunuh atau mati? Saya rasa negara ini sudah berubah menjadi State Terrorism,” pungkasnya. (azm/arrahmah.com)