RAKHINE (Arrahmah.com) – Pada Rabu (2/4/2014) malam sekitar pukul 21:00, sekelompok polisi berpatroli di beberapa rumah Muslim Rohingya dan mengancam mereka karena mengindentifikasi mereka sebagai ‘Rohingya’.
“Kenapa kalian Muslim tidak mematuhi perintah Presiden Thein Sein untuk menulis Bengali dalam sensus penduduk? Jika tidak, Kalian pasti akan segera mendapatkan masalah dari otoritas Burma,” kata seorang polisi Myanmar.
Para penduduk desa merespon perkataan polisi tersebut dan mengatakan bahwa mereka adalah ‘Rohingya’ dan bukan ‘Bengali’. Mereka juga menambahkan bahwa ‘Rohingya’ bukanlah istilah baru tapi telah diketahui oleh pemerintah Burma dan masyarakat internasional di seluruh dunia.
Kemudian, polisi mencoba untuk menyerang mereka, beberapa warga Rohingya ditangkap, dan kemudian disiksa sampai mereka membayar sejumlah uang yang diminta oleh polisi, sebagaimana dilansir oleh Burma Times, Rabu (2/4).
United Nations Population Fund (UNFPA) mengungkapkan keprihatinannya terhadap keputusan pemerintah Myanmar yang tidak mengizinkan responden sensus yang ingin mengidentifikasi diri mereka sebagai etnis Rohingya.
Dalam perjanjian dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa pada sensus penduduk 2014, pemerintah Myanmar telah membuat komitmen untuk melaksanakan sensus sesuai dengan standar sensus internasional dan prinsip-prinsip hak asasi manusia. Secara eksplisit Pemerintah Myanmar setuju dengan kondisi bahwa setiap orang akan bisa menyatakan apa etnis mereka, termasuk mereka yang ingin mencatat identitas mereka sebagai etnis campuran.
Namun, tepat sebelum dimulainya sensus, para pejabat senior mengumumkan bahwa orang-orang yang ingin mengidentifkasi etnis mereka sebagai “Rohingya” tidak akan dihitung.
Pada hari Rabu (2/4), PBB menyatakan pemerintah Myanmar telah menyimpang dari komitmennya bahwa sensus penduduk akan dilaksanakan sesuai dengan standar internasional dan prinsip-prinsip hak asasi manusia.
PBB mengutip kasus di mana pejabat negara tidak mensensus orang-orang dari etnis Rohingya di negara bagian barat Rakhine yang bergolak.
UNFPA sangat prihatin terhadap sensus penduduk Myanmar yang melenceng dari standar sensus internasional, prinsip-prinsip hak asasi manusia dan prosedur yang telah disepakati.
“Kami prihatin bahwa ini bisa meningkatkan ketegangan di negara bagian Rakhine, yang memiliki sejarah kekerasan komunal, serta merusak kredibilitas data sensus yang dikumpulkan.” demikian kata UNFPA, sebagaimana dilansir oleh Burma Times.
UNFPA menyerukan kepada pemerintah Myanmar untuk memberikan prioritas tertinggi untuk melindungi kehidupan setiap orang dan mencegah terjadinya tindak kekerasan, dan untuk sepenuhnya menghormati dan melindungi hak asasi manusia setiap orang, termasuk orang-orang yang memilih untuk mendefinisikan etnis mereka sebagai ‘Rohingya’.
(ameera/arrahmah.com)