JAKARTA (Arrahmah.com) – Islamic Cultural Center (ICC) lembaga di bawah Kedutaan Besar Iran di Jakarta yang beralamat di Jalan Buncit Raya kav 35 Pejaten Barat, merupakan lembaga yang diduga kuat mengintervensi pemerintah Indonesia.
“Di dalam dokumen resmi milik ICC ada ungkapan starategi nomor lima yang isinya mempublikasikan setiap wacana keislaman yang konstruktif dan revolusioner dalam berbagai bentuknya,” papar Ustadz Farid Ahmad Okbah di hadapan anggota Komis VIII DPR, Jakarta Rabu (1/2/2015).
Hal ini bisa perorangan, bisa kelompok, bisa lembaga bisa negara karena memang Iran telah menetapkan ekspor revolusinya. “Ini adalah sebuah pernyataan dari mereka,” tambahnya.
Ustadz yang getol mendakwahkan bahaya Syiah ini memaparkan, bahawa dalam dokumen ICC juga tertulis, “Dalam bidang humas dan komunikasi menyebarkan pamflet, poster,stiker, selebaran dakwah dan iklan layanan masyarakat dan membangun jaringan antar lembaga ahlul bait (syiah) dengan lembaga keagamaann lainnya baik dalam dan luar negeri pengiriman mubaligh dan mubalighah ke daerah-daerah” .
“Tentunya ini bentuk intervensi Iran terhadap Indonesia,” kata Ustadz yang sejak tahun 1980 mempelajari sepak terjang Syiah di Indonesia ini.
Dewan Syuro Aliansi Nasional Anti Syiah (ANNAS) ini juga menyebut sudah ada 1000 lebih buku Syiah berbahasa Indonesia yang telah diterbitkan oleh penerbit Alhuda di bawah payung ICC.
Sementara negara Iran sendiri undang-undang dasarnya berdasarkan Islam Syiah Imamiyah 12 imam. “Otomatis yang diluar Syiah tidak diakui oleh Iran,” jelas Ustadz Farid.
Pada kesempatan itu Ustadz farid menekankan pula kepada anggota Komisi VII, masalah Syiah adalah masalah keamanan, politik dan intervensi asing terhadap kedaulatan NKRI.
Fakta lapangan yang dikemukakan tersebut ternyata sejalan dengan Majelis Ulama Indonesia yang memandang akar masalah menjamurnya Syiah di Indonesia adalah karena adanya perhatian yang besar dari pemerintah Iran melalui jalur pendidikan, kebudayaan dan keagamaan. Dalam konteks ini Majelis Ulama Indonesia meminta kepada pemerintah RI membatasi kerjasama bilateral hanya dalam bidang politik dan ekonomi-perdagangan, dan tak merambah bidang pendidikan, kebudayaan dan keagamaan. Seperti dimaklumi bahwa perkembangan infiltrasi ajaran Syiah di Indonesia masuk melalui ketiga jalur tersebut. Kebijakan politik itu perlu diambil segera oleh pemerintah RI Cq Kementrian Luar Negeri RI, Kementrian Agama RI, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan RI untuk menghentikan laju perkembangan gerakan Syiah di Indonesia yang dirasakan sangat meresahkan umat Islam di Indonesia, berpotensi mengancam stabilitas Negara, dan memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa. (Lihat buku: Mengenal dan mewaspadai penyimpangan Syiah di Indonesia, Tim Penulis MUI Pusat, hal 131).
Puluhan ulama dari Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Persis yang tergabung dalam Aliansi Nasional Anti Syiah mengunjungi Komisi VIII DPR dan diterima oleh anggota dewan di Ruang Mahkamah Kehormatan Dewan. Mereka datang untuk mengadukan penodaan agama yang dilakukan oleh Syiah di berbagai daerah di Indonesia.
Hadir dalam kesempatan itu di antaranya KH. Athian Ali Dai (Ketua ANNAS) Habib Ahmad Zein Al AKaff (Wakil Rais Syuriah PWNU Jawa Timur), Farid Ahmad Okbah (pimpinan Pesantren Al Islam), KH. Atip Latiful Hayat, SH.LLM, PH.D (Calon Kandidat HakimAgung), Prof Asep Warlan Yusuf (Guru Besar Ilmu Hukum Unpar), KH. Lailurrahman (BASRA), KH. Kholil Ridwan (Ketua MUI), KH Ali Kharar (Ulama Madura), Amin Djamaluddin (LPPI), dan masih banyak lagi. Fahmi Salim Lc, MA (Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah). (azmuttaqin/arrahmah.com)