WASHINGTON (Arrahmah.id) – Diskriminasi dan serangan terhadap Muslim dan Arab di Amerika Serikat mencapai rekor baru pada 2024 di tengah perang Israel-Gaza, sebuah kelompok advokasi telah melaporkan.
Sebuah laporan yang dirilis oleh Dewan Hubungan Amerika-Islam (CAIR) pada Selasa (11/3/2025) mengatakan bahwa 8.658 pengaduan terkait insiden anti-Muslim dan anti-Arab tahun lalu -mewakili kenaikan 7,4 persen dari tahun ke tahun- merupakan jumlah tertinggi sejak kelompok tersebut mulai mengumpulkan data pada 1996.
Keluhan mengenai diskriminasi ketenagakerjaan adalah yang paling banyak terjadi, yaitu 15,4 persen dari total pengaduan. Keluhan mengenai imigrasi dan suaka mencapai 14,8 persen, pendidikan 9,8 persen, dan kejahatan berdasarkan kebencian 7,5 persen, lansir Al Jazeera.
Para pembela hak asasi manusia telah menyoroti peningkatan Islamofobia, bias anti-Arab, dan anti-Semitisme sejak serangan Hamas pada Oktober 2023 yang membuat “Israel” melancarkan serangan dahsyat ke Gaza.
“Selama dua tahun berturut-turut, genosida Gaza yang didukung oleh AS mendorong gelombang Islamofobia di Amerika Serikat,” kata CAIR.
Bulan lalu, seorang pria dinyatakan bersalah atas kejahatan kebencian atas penikaman fatal terhadap seorang bocah laki-laki Amerika keturunan Palestina berusia enam tahun 18 bulan yang lalu.
Insiden lain yang mengkhawatirkan sejak akhir 2023 termasuk percobaan penenggelaman seorang gadis Amerika keturunan Palestina berusia tiga tahun di Texas, penikaman seorang pria Amerika keturunan Palestina, juga di Texas, pemukulan seorang pria Muslim di New York, dan penembakan terhadap dua pengunjung “Israel”, yang dikira oleh tersangka sebagai orang Palestina, di Florida.
Tindakan keras terhadap protes di universitas
CAIR juga mencatat adanya tindakan keras terhadap protes pro-Palestina di kampus-kampus universitas.
Para demonstran telah berbulan-bulan menuntut diakhirinya dukungan AS untuk “Israel”. Selama musim panas 2024, kelas-kelas dibatalkan, administrator universitas mengundurkan diri, dan para pengunjuk rasa mahasiswa diskors dan ditangkap.
Insiden-insiden penting termasuk penangkapan dengan kekerasan oleh polisi terhadap para pengunjuk rasa di Universitas Columbia dan serangan massa terhadap para pengunjuk rasa pro-Palestina di Universitas California, Los Angeles.
Presiden Donald Trump telah menuntut adanya peningkatan tindakan terhadap aksi-aksi protes tersebut.
Mahmoud Khalil, seorang mahasiswa pascasarjana Palestina yang berperan sebagai negosiator antara pengunjuk rasa pro-Palestina dan pihak Universitas Columbia di New York, ditangkap pekan ini oleh petugas imigrasi meskipun ia memiliki kartu izin tinggal permanen.
Trump telah menulis di media sosial bahwa penangkapan Khalil adalah “penangkapan pertama dari sekian banyak penangkapan”.
“Kami tahu ada lebih banyak mahasiswa di Columbia dan Universitas lain di seluruh negeri yang terlibat dalam kegiatan pro-teroris, anti-Semit, anti-Amerika, dan Pemerintahan Trump tidak akan menolerirnya,” tambahnya.
Direktur Eksekutif CAIR New York Afaf Nasher mengutuk penangkapan tersebut sebagai “eskalasi yang mengejutkan” yang “menjadi preseden berbahaya dan mengancam kebebasan sipil semua orang”. (haninmazaya/arrahmah.id)