Asadullah Ahmed menatap sudut hangus dari sajadah merah. Ia mengenang acara iftar dan pekan pelajarang Qur’an yang pernah diadakan di Masjid yang kini reruntuhannya tengah ia saksikan, logam batang menyembul melalui bara kayu hitam dan batu berserakan.
“Pasien saya mengatakan kepada saya alamat itu bernasib buruk,” ujar psikiater setengah baya yang terlihat sedih di persimpangan jalan 13th dan Black Road Cat.
Namun bukan nasib buruk yang mengatur Masjid terbakar. Selama periode 10 hari pertama di bulan Ramadhan, sembilan Masjid diserang atau dirusak di seluruh negeri. Masjid di Joplin telah dibakar hanya beberapa minggu sebelumnya, kamera keamanan menangkap gambar buram pembakaran.
Sebelum itu, plang Masjid yang terbuat dari kayu telah dibakar menjadi abu. Masyarakat Islam Joplin memasang pengganti yang terbuat dari beton agar tidak bisa dibakar, namun beberapa orang menyemprotnya.
Dengan rasa takut pada malam 6 Agustus, setelah sholat tarawih, sekelompok kecil jamaah berbicara mengenai pria bersenjata berkulit putih yang telah membunuh 12 warga Sikh di Wiconsin.
Setelah pembakaran pertama, mereka telah memohon kepada polisi dan FBI untuk memberikan keamanan lebih, tapi mereka tidak melihat apapun. Itu bukan kejutan total, kemudian, ketika anggota komunitas Muslim memulai sahur mereka, pada pukul 3.30, mereka mendapat panggilan bahwa api telah, kali ini, menghancurkan Masjid.
Sejak pemilu 2010, suasana politik telah menjadi racun bagi ummat Islam di masyarakat seperti Joplin dan seluruh barat tengah dan selatan. Sayap kanan pergerakan Tea Party itu paling ganas, dengan tanda-tanda rasis di seluruh aksi unjuk rasa yang menyatakan Barack Obama, sebagai Afrika Kripto-Muslim komunis.
Gelombang dukungan membawa calon Tea Part ke kantor di seluruh Missouri dan RRU anti-Syariah segera diusulkan tapi kemudian dikalahkan selama dua tahun berturut-turut di badan legislatif negara.
Joplin dengan populasi sekitar 5.000 orang, memiliki komunitas kecil Muslim, sekitar 30 keluarga, sebagian besar dokter Pakistan yang menerima keringanan visa jika mereka bekerja di masyarakat miskin. Ia juga memiliki hubungan dengan Uni Emirat Arab yang memberikan hibah 5 juta USD untuk membangun bagian anak-anak di rumah sakit setelah tornado tahun lalu yang menghancurkan sebagian besar infrastruktur kota.
Kaum Muslim di Joplin berpikir efek kumulatif dari retorika politik Islamophobia terkait dengan pembakaran Masjid mereka.
“Sebagian besar dari kami sedang berbicara untuk meninggalkan Joplin,” ujar Ahmed.
Tapi kemudian sesuatu yang tidak terduga terjadi. Sebuah koalisi kelompok agama dari Yahudi liberal hingga fundamentalis evangels, mengeluarkan sebuah iklan di surat kabar kota yang berbunyi : “Kami yakin bahwa ‘mencintai tetangga kalian’ tidaklah memiliki batasan”.
Kebanyakan keluarga Muslim tidak pernah berbicara dengan meyakinkan satu sama lain dan bahkan mengatakan kepada mereka untuk membangung kembali Masjid. Sebuah gereja mengirimkan ucapan Selamat Hari Raya Idul Fitri di sisi bangunan Masjid, sementara jemaah yang lain membawa keranjang surat untuk mendukung pembangunan Masjid selama Idul Fitri.
“Ini membawa masyarakat lebih dekat,” ujar Sara Bokhari, seorang ibu rumah tangga yang berasal dari Lahore, Pakistan. “Sebelum pembakaran, tidak ada yang ramah, tetapi sesudah itu mereka merasa malu dan mulai membuat upaya untuk mengenal kami.”
Ahmed menambahkan : “Pada satu tingkat, api merupakan berkah tersembunyi.”
Ashley Carter (20), seorang mahasisma yang belum pernah bertemu Muslim, mengorganisir sebuah aksi unjuk rasa dalam mendukung Muslim yang menarik hampir 1.000 orang.
“Aku bahkan tidak tahu ada komunitas Muslim,” ujar Carter. “Ada rasa takut yang tidak diketahui, dibangun oleh kebencian, tetapi ketika saya mendengar tentang kebakaran, saya berpikir, ‘bagaimana Yesus menanggapinya?”
Hina Qidwai, yang mengatakan api mengingatkan masa kanak-kanaknya di India dan penghapusan Masjid Babri, berbicara dalam reli tersebut.
“Saya benar-benar berpikir akan ditembak oleh penembak jitu,” ujarnya. “Tapi mereka membuat kami merasa sangat nyaman dan saya tersentuh bahwa seorang gadis bisa mencapai semua ini.”
Carter dan Qidwai, bersama dengan perempuan Muslim dan Kristen lainnya menjadi teman.
Mereka berbicara dengan suara bulat dukungan warga Joplin yang diberikan kepada ummat Islam.
Hameed Ahmed (36), seorang dokter di ruah sakit terdekat, datang ke AS dari Lembah Swat di barat laut Pakistan.
“Tidak ada cara untuk bertahan hidup di sana,” katanya. “Saya datang ke sini dan melihat bahwa mereka telah mengubah gereja menjadi masjid dan saya berpikir, ini adalah masyarakat yang toleran.”
Tapi setelah serangan terhadap Masjid, ia kini berencana untuk meninggalkan AS.
“Islamophobia merupakan masalah nasional dan ada kekhawatiran bahwa hal itu bisa lebih buruk.”
Ahmed mengatakan pelecehan terhadap Masjid masih teradi. Sehari setelah kebakaran, ia melihat seorang supir melambatkan laju truknya dan berteriak cercaan rasial. (haninmazaya/arrahmah.com)