Oleh Dian Puspita Sari
Member AMK
Keadilan. Satu kata yang hingga detik ini masih menjadi impian yang sulit diperoleh oleh seluruh individu rakyat negeri ini. Keadilan hanya dimiliki oleh orang-orang tertentu saja. Itu pun oleh mereka yang berharta dan bertahta dengan nominal tak terbatas.
Seperti kisah tragis yang dialami seorang mahasiswa UI bernama Muhammad Hasya Atallah Saputra.
Hasya menjadi korban kecelakaan di Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa, Jaksel pada Kamis (6/1/2023) malam WIB. Tidak lama setelah kecelakaan yang melibatkan AKBP (Purn) Eko Setio Budi Wahono, mahasiswa FISIP UI tersebut meninggal dunia. Bahkan korban yang telah meninggal dunia ini ditetapkan polisi sebagai tersangka.
Peristiwa ini membuat BEM UI geram. Mereka melihat fenomena Sambo jilid dua dalam kasus kecelakaan lalu lintas ini.
“Bagi kami, fenomena ini seperti Sambo jilid dua. Kepolisian semakin hari semakin beringas dan keji, kita lagi-lagi dipertontonkan dengan aparat kepolisian yang hobi memutarbalikkan fakta dan menggunakan proses hukum untuk jadi tameng kejahatan,” kata Ketua BEM UI, Melki Sedek Huang dalam siaran persnya kepada wartawan di Jakarta, Sabtu (28/1). (Republika.co.id, 29/1/2023)
Sungguh aneh tapi nyata. Inilah kenyataan pahit bahwa keadilan hanya milik kaum tertentu. Dengan adanya kasus ini, profesionalisme penegak hukum layak dipertanyakan. Benar, dalam profesi apapun, lebih-lebih institusi penegak hukum, profesionalisme menjadi salah satu hal penting yang harus dimiliki.
Sayang, dalam kacamata hukum sekuler kapitalis, sudah menjadi rahasia umum bahwa hukum dan keadilan mudah diperjualbelikan dan diputarbalikkan faktanya.
Meskipun semua pelanggaran hukum dan sanksi telah dicatat dalam undang-undang, catatan tersebut hanya sebatas tinta hitam di atas kertas putih yang tidak memberikan pengaruh signifikan. Undang-undang buatan akal manusia ini mudah dinegoisasi dan dimanipulasi sesuai kepentingan. Wajar jika keadilan hanya tinggal mimpi yang tak kunjung menjadi kenyataan.
Padahal penegakkan hukum demi memenuhi rasa keadilan publik seharusnya diberlakukan kepada siapapun, tanpa kecuali.
Lain hukum sekuler, lain Islam. Sistem Islam sangat menjunjung tinggi supremasi hukum. Hukum diterapkan secara adil tanpa berpihak pada kaum tertentu. Tanpa tebang pilih agama, ras, bangsa dan status.
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda: “Wahai manusia, sesungguhnya yang membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah jika ada orang yang mulia (memiliki kedudukan) di antara mereka yang mencuri, maka mereka biarkan (tidak dihukum), namun jika yang mencuri adalah orang yang lemah (rakyat biasa), maka mereka menegakkan hukum atas orang tersebut. Demi Allah, sungguh jika Fatimah binti Muhammad mencuri, aku sendiri yang akan memotong tangannya.’” (HR. Bukhari dan Muslim)
Penegakkan supremasi hukum ini tidak hanya berlaku untuk kasus pencurian, melainkan kasus kriminal apapun.
Penegakkan hukum ini hanya mampu diterapkan oleh negara. Dalam Islam, negara (Khilafah) adalah sistem pemerintahan yang bersumber dari syariat Islam. Kemaslahatan Khilafah terpancar dengan baik, salah satunya dalam praktik bidang hukum dan peradilan.
Siapa yang tak kenal dengan Khalifah Umar bin Khattab? Beliau adalah Khalifah yang tegas dan berwibawa. Karakter Islam yang kuat pada diri Umar lebih karena Umar senantiasa menyandarkan hidupnya pada syariat Islam.
Dalam buku “The Great Leader of Umar bin al-Khaththab”, Ibn al-Jauzi meriwayatkan bahwa Amr bin Ash pernah menerapkan sanksi hukum (had) minum khamr pada Abdurrahman bin Umar (putra Khalifah Umar). Saat itu Amr bin Ash menjabat sebagai gubernur Mesir. Pelaksanaan sanksi hukum ini biasanya diselenggarakan di lapangan umum di pusat kota dan disaksikan oleh masyarakat. Tujuannya agar penerapan sanksi dapat memberikan efek jera bagi masyarakat.
Namun Amr bin Ash menerapkan sanksi pada putra Khalifah bukan di lapangan umum, tetapi dalam sebuah rumah. Ketika informasi ini terdengar oleh Umar, ia langsung melayangkan sepucuk surat kepada Amr bin Ash, yang berbunyi: “Dari hamba Allah, Umar, Amirul Mukminin, ditujukan kepada si pendurhaka, putra al-Ash. Aku heran terhadap tindakan Anda, wahai putra al-Ash. Aku juga heran terhadap kelancangan Anda terhadapku dan pengingkaran Anda terhadap perjanjianku. Aku telah mengangkat sebagai penggantimu dari orang-orang yang pernah ikut dalam Perang Badar. Mereka lebih baik dari Anda. Apakah Aku memilihmu untuk membangkangku? Aku perhatikan Anda telah menodai kepercayaanku. Aku berpendapat lebih baik mencopot jabatanmu. Anda telah mencambuk Abdurrahman bin Umar di dalam rumahmu, sedangkan Anda sudah mengerti bahwa tindakan semacam ini menyalahi aturanku. Abdurrahman itu tidak lain adalah bagian dari rakyatmu. Anda harus memperlakukan dia sebagaimana Anda memperlakukan muslim lainnya. Akan tetapi, Anda katakan, “Dia adalah putra Amirul Mukminin.” Anda sendiri sudah tahu bahwa tidak ada perbedaan manusia di mataku dalam hal-hal yang berkaitan dengan hak yang harus bagi Allah. Bila Anda telah menerima suratku ini maka suruh dia (Abdurrahman) mengenakan mantel yang lebar hingga dia tahu bahwa keburukan perbuatan yang telah dia lakukan.”
Setelah itu Abdurrahman digiring ke sebuah lapangan di pusat kota. Lalu Amr bin Ash mencambuk Abdurrahman di hadapan publik.
Demikianlah sikap tegas Khalifah Umar. Sikap ini beliau teladani dari Rasulullah shalallahu alaihi wasallam. Demikian pula sikap tegas dan adil yang seharusnya dilakukan oleh seluruh Khalifah dalam Islam.
Dengan syariat Islam kafah yang diimplementasikan Khilafah:
– Keadilan hukum takkan lagi dimiliki kaum elite saja, tapi juga berhak dimiliki seluruh rakyat, per individu tanpa kecuali.
– Supremasi hukum ditegakkan.
– Wibawa penegak hukum juga tetap terjaga.
– Islam rahmatan lil alamin pun akan terwujud di penjuru negeri, bahkan di dunia.
Wallahu a’lam bishawwab.