Oleh: Yuli Ummu Raihan
Pegiat Literasi
Lama sudah ku pendam ini
Lama sudah ku makan hati
Menghadapimu
Ini semua tentang dirimu tentang caramu
Memperlakukanku
Tak sadarkah kau selama ini
Bukan cuma hati yang kau sakiti juga hidup ku
Diriku ini pasanganmu
Bukannya musuhmu
Tak perlu kau siksa aku
Lirik lagu berjudul “Bebaskan Diriku” dari grup band Armada yang rilis tahun 2012 lalu, kembali banyak diputar seiring viralnya kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang dialami artis terkenal Lesti Kejora yang diduga di lakukan oleh suaminya Rizki Billar. Lirik lagu ini terasa pas dengan kejadian yang menimpa Lesti.
Kasus KDRT sebenarnya terus terjadi sepanjang waktu. Hanya saja, kali ini perhatian publik terfokus pada sosok artis Lesti dan Bilar atau yang sering disebut dengan Leslar, lantaran sejoli ini selalu tampak harmonis dan mesra di layar kaca. Masyarakat tidak menyangka Rizki Billar tega melakukan hal ini.
Menurut data dari Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPPA) Kementerian Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), hingga Oktober 2022 sudah ada 18.261 kasus KDRT di seluruh Indonesia, sebanyak 79,5% atau 16. 745 korbannya adalah perempuan. Sementara 2.948 adalah laki-laki. Artinya, perempuan dan laki-laki berpotensi menjadi korban dan pelaku KDRT.
Angka ini hanya yang tercatat, tidak menutup kemungkinan jumlah sebenarnya jauh lebih banyak. Masyarakat Indonesia masih merasa kasus KDRT adalah aib yang harus ditutupi dan cenderung dimaklumi. Berbagai alasan menjadikan tidak semua kasus KDRT berlanjut ke jalur hukum. Padahal ini adalah tindakan kejahatan yang tidak boleh didiamkan.
Maraknya perbincangan kasus KDRT yang dialami Leslar, membuat Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) bertindak dengan meminta semua lembaga penyiaran untuk tidak menjadikan pelaku KDRT sebagai pengisi acara atau tampil dalam semua program siaran, baik di televisi dan radio. Bahkan sebuah stasiun televisi menyiarkan secara langsung pengumuman pemberhentian Rizki Billar sebagai host acara musik.
Komisioner KPI Pusat Bidang Kelembagaan Nining Rodiyah mengatakan dalam keterangan persnya, Jumat (30/9/2022) seharusnya publik figur menjadi contoh baik bagi masyarakat bukan melakukan KDRT karena itu melanggar Hak Asasi Manusia (HAM). (Tribatanews)
Keputusan KPI ini mendapatkan pro dan kontra di masyarakat. Mereka yang pro karena merasa geram dengan tindakan kekerasan yang dilakukan Rizki, mereka terlanjur kecewa dan merasa telah salah mengidolakan sosok Rizki. Memang pasangan Leslar ini tidak lepas dari peran netizen. Netizen yang menjodoh-jodohkan mereka dengan tagar #Kawalsampaihalal, sekarang netizen
pula yang ngotot mereka berpisah.
Sementara yang kontra menilai hal ini tidak adil. Mengapa hanya Rizki Billar yang diperlakukan seperti ini, padahal banyak juga publik figur lainnya melakukan tindakan yang sama bahkan lebih parah tidak mendapat sanksi serupa. Kondisi Rezki Billar ibarat pepatah sudah jatuh tertimpa tangga pula. Nasib rumah tangga dan karirnya terancam hancur, bahkan banyak isu yang berkembang secara liar terkait masa lalunya. Citranya sudah sangat buruk di mata masyarakat.
Menteri Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak (PPPA) Bintang Puspayoga, mengajak masyarakat berani angkat bicara apabila menjadi korban atau sebagai saksi pelecehan seksual ke perempuan dan anak. (Kompas.com, 25/9)
Korban atau saksi dapat melaporkan insiden pelecehan terhadap perempuan dan anak melalui siaran siaga (hotline) dengan nomor 129. Pemerintah telah menandatangani UU Kekerasan Seksual pada 9 Mei 2022 lalu.
Didasari oleh keresahan akan tingginya kasus perceraian, KDRT, dan kekerasan seksual pada anak maka diluncurkanlah Sekolah Ibu dan Istri Milenial (Simal) Indonesia di Kantor Perpustakaan Kabupaten Kolaka Utara, Sabtu 24 September 2022 lalu.
Keberadaan Simal ini menurut pakar parenting Iwan Januar, sebagai bekal bagi kaum perempuan khususnya kaum ibu, agar peka dengan KDRT dalam lingkungan keluarga, sehingga mereka punya kepekaan dan keberanian untuk melindungi diri dan anak-anak.
Namun Simal ini tidak cukup jika dijadikan solusi untuk masalah ini. Harus ada perlindungan hukum karena kasus kekerasan ini melibatkan semua anggota keluarga. (MNews, 6/10/22)
Sejatinya bukan hanya kaum ibu yang perlu diedukasi, para suami sebagai kepala rumah tangga justru lebih utama. Di masyarakat juga harus ada perombakan nilai-nilai sosial agar tidak toleran terhadap KDRT. Yang lebih penting negara harus mampu menjaga dan menghilangkan pemicu tindakan KDRT ini seperti aturan pergaulan dan ekonomi.
Hanya saja semua ini tentu tidak bisa terwujud dalam sistem kapitalisme hari ini. Pergaulan bebas, kehidupan hedon, justru marak terjadi saat ini. Sistem kapitalisme yang menjadikan keuntungan materi sebagai tujuan, bukan halal haram. Tontonan yang tidak mendidik dan propaganda kekerasan seksual dan KDRT justru terus digaungkan melalui tontonan televisi, gaya hidup para selebriti, dan media sosial.
Solusi yang diberikan sistem kapitalisme juga terbukti hanya tambal sulam. Sistem kapitalisme menganggap perempuan dan laki-laki harus setara, padahal secara kodrat memang mereka berbeda. Perempuan juga dituntut mandiri secara ekonomi agar tidak selalu ditindas dan diperlakukan semena-mena. Padahal tidak ada jaminan jika seorang perempuan mandiri secara ekonomi, dia akan terbebas dari tindakan kekerasan. Justru dengan adanya kemandirian perempuan membuat kepemimpinan dalam rumah tangga tidak lagi berada di tangan suami. Istri cendrung tidak menghormati suami dan meremehkan karena merasa tidak membutuhkan sosok suami. Dalam sistem kapitalisme usia pernikahan juga dianggap pemicu banyaknya kasus KDRT, padahal tidak ada jaminan menikah di usia muda, atau matang akan terhindar dari hal ini.
Islam Memberikan Solusi
Dalam Islam sendiri tidak dikenal istilah KDRT. Setiap tindakan kekerasan dilarang, dan tidak boleh diwajarkan. Tujuan berumahtangga dalam Islam adalah mencapai sakinah, mawaddah, dan rahmah. Islam telah memberikan aturan agar tujuan ini tercapai.
Pertama, Islam menjadikan kehidupan suami istri layaknya persahabatan. Bukan hubungan atasan dan bawahan, atau yang lainnya. Meskipun kepemimpinan ada di tangan suami, namun suami diwajibkan berlaku makruf terhadap istrinya.
Kedua, Islam telah mengatur hak dan kewajiban bagi suami maupun istri. Sebagaimana firman Allah SWT. dalam QS Al-Baqarah ayat 228:
“Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf.”
Ketiga, suami bertanggungjawab penuh atas nafkah, perhatian, perlindungan, dan pendidikan bagi istri dan anak-anaknya. Apabila istri membangkang (nusyuz) maka Islam telah mengatut tata cara suami untuk mendidiknya. Rasulullah saw. bersabda, “Jika mereka melakukan tindakan nusyuz, maka pukullah mereka dengan pukulan yang tidak membahayakan.” (HR Muslim dari jalur Jabir ra.)
Tentu pukulan ini dalam rangka mendidik bukan untuk menyakiti istri. Sebelum itu suami diperintahkan menasehati istri, memisahkan tempat tidur, baru memukul.
Mengenai kebolehan memukul istri ini sayangnya sering dijadikan senjata oleh pihak yang ingin menyudutkan Islam seolah ini adalah bentuk normalisasi kekerasan. Padahal memukul di sini adalah dalam rangka mendidik istri.
Keempat, Islam memberikan solusi jika terjadi perselisihan dalam rumah tangga. Setiap rumah tangga pasti memiliki air mata dan tawa sendiri-sendiri. Tidak mungkin ada rumah tangga yang tanpa masalah. Justru masalah kadang kala bisa menjadi bumbu untuk menambah keharmonisan. Suami istri bagaikan pakaian untuk satu dengan yang lainnya. Maka suami istri wajib menjaga aib, dan kehormatan pasangannya. Bersabar dengan kekurangan karena manusia tidak ada yang sempurna.
Allah SWT. berfirman dalam QS An-Nisa ayat 19 :”Dan bergaulah dengan mereka secara patut, kemudian apabila kamu tidak menyukai sesuatu pada mereka maka bersabarlah. Karena boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.”
Kelima, Islam mengatur agar ketika terjadi perselisihan, maka pasangan suami istri menyelesaikannya dengan baik, meminta bantuan pihak ketiga dari pihak suami dan istri sebagai penengah.
Apabila persoalan belum juga terselesaikan, dan tetap bersama justru hanya akan saling mendzalimi, maka Islam membolehkan bercerai. Suami boleh mentalak istrinya, atau istri mengajukan gugatan cerai, atau diputuskan oleh hakim untuk mereka berpisah. Semua dilakukan dengan baik tanpa ada dendam atau permusuhan.
Aturan ini dapat diterapkan dalam keluarga.
Sementara masyarakat juga bisa berperan aktif dengan melakukan amar makruf nahi mungkar. Hal ini akan terwujud apalagi masyarakat memiliki perasaan dan pemikiran Islam.
Sayangnya hari ini masyarakat cendrung bersifat individual. Masyarakat hanya diam melihat KDRT karena menganggap itu privasi orang lain. Bahkan masyarakat yang sekuler menjadi pemicu berbagai persoalan dalam rumah tangga.
Kehidupan yang tidak diatur dengan Islam membuat pergaulan kian bebas. Masyarakat saling pamer, senang bergunjing bahkan mengadu domba. Suasana keimanan sangat dibutuhkan agar masyarakat bisa hidup dengan aturan Islam.
Selanjutnya peran negara juga sangat dibutuhkan. Pemerintah harus membuat aturan yang tegas dan memberikan efek jera. Hari ini karena tidak menggunakan aturan Islam, berbagai aturan mengenai KDRT terbukti tidak mampu mengurangi angka KDRT, apalagi menghilangkannya.
Jika kita amati, mayoritas penyebab KDRT adalah perselingkuhan dan ekonomi. Tentu di sini negara memiliki peran menjaga pergaulan masyarakat dengan membuat aturan yang sedemikian rupa. Islam memiliki aturan dalam pergaulan sosial di antaranya, kewajiban menutup aurat, menjaga pandangan, larangan ikhtilat dan berkhalwat, larangan mendekati zina, dan lain-lain.
Dari segi ekonomi negara harus menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok setiap individu. Memudahkan mereka memenuhi kebutuhan sekunder atau pelengkap. Negara bisa melakukannya secara langsung maupun tidak langsung.
Negara juga harus menindak tegas siapa saja yang melakukan kekerasan. Harus ada sanksi yang memberi efek jera dan peringatan untuk yang lain agar tidak melakukan hal sama.
Dengan menerapkan semua aturan ini, insya Allah kasus KDRT dan tindakan kejahatan lainnya akan bisa diatasi.
Wallahua’lam bissaawab.