ANKARA (Arrahmah.com) – Menteri Luar Negeri Turki Mevlüt Çavuşoğlu menyerukan kepada Bangladesh untuk membuka pintunya kepada Muslim Rohingya yang melarikan diri dari kekerasan di negara bagian Rakhine, Myanmar barat.
Berbicara pada perayaan Idul Adha di provinsi Mediterania Antalya, Jumat (1/9/2017), Çavuşoğlu mengulangi seruan Turki kepada Bangladesh untuk membuka pintunya bagi orang-orang Rohingya, dan mengatakan bahwa Turki akan menanggung semua biayanya.
“Kami juga telah memobilisasi Organisasi Kerjasama Islam. Kami akan mengadakan pertemuan puncak mengenai negara Rakhine tahun ini. Kami perlu menemukan solusi yang menentukan dan permanen untuk masalah ini,” imbuh Çavuşoğlu, sebagaimana dilansir Daily Sabah.
Dia mengatakan bahwa tidak ada negara Muslim yang lain selain Turki yang menunjukkan kepekaan terhadap pembantaian yang terjadi di Myanmar.
Dalam hal bantuan kemanusiaan di dunia, Turki menempati urutan kedua setelah Amerika Serikat, ungkap Çavuşoğlu.
Seruan Çavuşoğlu itu datang saat Presiden Recep Tayyip Erdoğan banyak melakukan telepon dengan para pemimpin Muslim di seluruh dunia untuk melakukan upaya intensif dalam rangka menyelesaikan krisis kemanusiaan di Myanmar.
Erdoğan sejauh ini telah berbicara dengan kepala negara dari 13 negara pada momen Idul Adha dan untuk menyampaikan keprihatinannya tentang situasi di Rakhine.
Çavuşoğlu juga dilaporkan berbicara di telepon dengan mantan Sekretaris Jenderal U.N. dan kepala Komisi Penasehat Negara Bagian Rakhine Kofi Annan.
Kekerasan meletus di negara bagian Rakhine di Myanmar pada 25 Agustus ketika pasukan keamanan negara tersebut melancarkan operasi terhadap komunitas Muslim Rohingya. Hal ini memicu masuknya pengungsi baru ke negara tetangga Bangladesh, meskipun negara tersebut menutup perbatasannya terhadap para pengungsi.
Laporan media mengatakan bahwa pasukan keamanan Myanmar menggunakan kekuatan yang tidak proporsional, menggusur ribuan warga desa Rohingya dan menghancurkan rumah mereka dengan mortir dan senapan mesin.
Daerah ini telah mengalami ketegangan antara populasi Budha dan Muslim sejak kekerasan komunal terjadi pada tahun 2012.
Sebuah tindakan keras yang dilakukan pada bulan Oktober yang lalu di Maungdaw, di mana etnis Rohingya adalah mayoritas. Laporan mengungkapkan pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh pasukan keamanan yang mengindikasikan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Laporan itu juga mendokumentasikan pemerkosaan massal, pembunuhan – termasuk bayi dan anak kecil – pemukulan brutal, dan penghilangan.
Perwakilan Rohingya mengatakan sekitar 400 orang telah terbunuh dalam tindakan kekerasan tersebut.
(ameera/arrahmah.com)