SURABAYA (Arrahmah.com) – Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Busyro Muqoddas menegaskan bahwa pelemahan KPK masih akan mungkin terjadi pasca-kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
“Selama ini, pelemahan KPK sangat terstruktur, sistemik, dan masif,” katanya dalam dialog publik Prospek Politik, Hukum, dan Pemberantasan Korupsi Pasca-Pemilu 2014 di Unair Surabaya, Kamis (14/8/2014), sebagaimana diwartakan Antara.
Dalam diskusi publik untuk delapan kota (Surabaya, Jakarta, Yogyakarta, Semarang, Bandung, Bali, Makassar, dan Palembang) itu, ia menjelaskan pelemahan itu masih terasa hingga sekarang.
“Misalnya, UU Tipikor yang direvisi pemerintah secara sepihak, revisi KUHP dan KUHAP, pemangkasan anggaran KPK dari Rp7 triliun per tahun menjadi hanya Rp800 miliar per tahun oleh DPR,” katanya.
Selain memperlemah UU yang terkait KPK dan pemangkasan anggaran KPK, katanya, pelemahan KPK juga dilakukan dengan kriminalisasi, seperti kasus Ketua KPK Antasari, kasus Cicak-Buaya, dan sebagainya.
“Padahal, KPK selama kurun 2005-2014 terbukti mampu menyelamatkan keuangan negara hingga Rp240 triliun, tapi KPK terus menjadi mainan elit dari eksekutif dan legislatif,” katanya.
Menurut dia, pelemahan KPK akan terus terjadi, karena aktor kasus korupsi yang sering dibidik KPK adalah politisi dan birokrat, sehingga KPK sering menjadi sasaran “kemarahan” mereka.
“Untuk itu, kami meminta dukungan dari kalangan sipil, seperti LSM dan kalangan kampus, agar posisi KPK tidak dijadikan mainan elit politik pasca-kepemimpinan Presiden Yudhoyono,” katanya.
Dalam kesempatan itu, anggota DPR RI terpilih Masinton Pasaribu (PDIP) dan akademisi Unair Wayan Titib Sulaksana menyatakan dukungan pada penguatan KPK pada era baru kepemimpinan pasca-Pilpres 2014.
“Kami mendukung KPK lebih diperkuat lagi, karena demokrasi tanpa hukum itu bisa liar,” katanya dalam diskusi publik yang mengundang Prof Nur Ali Basuki (Unair/FH) dan Aribowo (Unair/Fisip) itu.
Acaranya juga dirangkai dengan sesi dialog, terutamaia mengatakan KPK sudah melakukan survei tentang kondisi perpolitikan nasional saat ini.
“Hasilnya, 85 persen masyarakat pemilih menilai wajar pemberian barang dan jasa dari para kandidat, padahal di situ menjadi cikal korupsi,” katanya. (azm/arrahmah.com)