JAKARTA (Arrahmah.com) – Sudah sekian lama kasus dugaan ujaran kebencian yang diucapkan oleh Ketua Fraksi Nasdem Viktor Bungtilu Laiskodat, tak ada kabarnya. Padahal empat parpol (Gerindra, PKS, Demokrat dan PAN) yang dituding Viktor mendukung Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan pembentukan Negara Khilafah, sudah melaporkan anggota DPR dari Dapil NTT itu ke Bareskrim Polri pada Agustus 2017 lalu.
Di tengah penantian diprosesnya segera dugaan pidana ini, tiba-tiba muncul berita polisi menghentikan kasus Viktor tersebut. Publik pun bereaksi, protes, tak terima dan menganggap aparat hukum tebang pilih. Dikatakan, sebagai anggota DPR, Viktor memiliki Hak Imunitas, sehingga kasusnya tidak bisa dilanjutkan. Polisi diberitakan menyatakan kasus Viktor dikembalikan ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD), yang berarti bukan ranah pidana.
Pakar hukum tata negara dan pidana pun bicara. Sejumlah anggota DPR bereaksi. Para pelapor dari empat parpol yang jadi sasaran fitnah, pernyataan permusuhan dan ujaran kebencian dari Viktor pun tak kalah reaksinya.
Pengacara politisi Partai Gerindra Iwan Sumule, yaitu Mangapul Silalahi, menyambangi Bareskrim Polri, Rabu (22/11/2017) lalu. Kedatangannya untuk mempertanyakan dihentikannya penyidikan kasus dugaan ujaran kebencian yang menjerat Viktor Laiskodat itu.
Mangapul mempertanyakan kasus itu setelah diberitakan bahwa Direktur Tindak Pidana Umum (Dartipidum) Brigjen Herry Rudolf Nahak menyatakan kasus Viktor tidak dilanjutkan karena terkait Hak Imunitas sebagai anggota DPR.
Namun setibanya di Bareskrim Polri, Mangapul mengaku heran, lantaran penyidik Bareskrim malah tidak tahu penghentian kasus tersebut. Menurut Mangapul, para penyidik justru mengaku baru tahu tentang kabar itu dari media massa.
“Dia (penyidik) tanya, ‘Kasus yang mana’, saya bilang, ‘Kasus Viktor’, penyidik tanya lagi, ‘Emang SP3? Saya belum baca beritanya.’ Jadi mereka (penyidik) enggak tahu,” terang Mangapul seperti dikutip Viva.co.id, Rabu (22/11).
Cerita berlanjut. Seakan ingin mendinginkan reaksi panasnya publik, Biro Penmas Divisi Humas Mabes Polri pun mengeluarkan siaran pers pada Kamis (23/11).
“Beredarnya berita di media yang menyatakan bahwa kasus penistaan yang melibatkan Saudara VL sudah dihentikan/SP3 oleh penyidik Bareskrim adalah tidak benar… Kasus tersebut masih berjalan dan dalam status penyelidikan,” kata Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Pol Drs Rikwanto dalam siaran persnya yang disebarluaskan pada Kamis (23/11).
Menurutnya, penyidik masih memerlukan beberapa keterangan lagi dari saksi-saksi yang hadir di TKP saat hal itu terjadi, termasuk juga dari saksi ahli Bahasa. Selanjutnya, ujar Rikwanto, karena Sdr VL anggota DPR, penyidik juga akan melakukan langkah koordinasi dengan DPR dalam kaitan UU MD3.
“Proses selanjutnya akan ditangani MKD DPR dulu karena yang bersangkutan adalah anggota DPR sehingga perlu diuji oleh MKD apakah pernyataannya tersebut dalam kapasitas sebagai anggota DPR yang sedang menjalankan tugasnya sebagai wakil rakyat atau kapasitas sebagai pribadi,” lanjut Rikwanto.
Menurutnya, ini sesuai dengan UU MD3 nomor 17 tahin 2014 tentang imunitas anggota DPR pasal 224 ayat (1) dan (2) yaitu pernyataan, pendapat, sikap dan tindakan yang diekspresikan di dalam dan diluar rapat DPR.
“Pernyataan Dirtipidum Brigjen Pol. Herry Rudolf Nahak menginformasikan bahwa proses kasus Sdr VL sedang berjalan dan penyidik membutuhkan hasil dari sidang MKD DPR sebagai masukan kepada penyidik dalam kelanjutan Proses hukumnya,” papar Rikwanto.
Lantas, apakah Hak Imunitas itu melekat selama 24 jam? “Tidak,” kata pakar hukum tata negara Prof Djuanda. “Dan (juga) tidak ada aturan yang harus melalui MKD dulu,” ujarnya dalam Apa Kabar Indonesia di TVONE, Jumat (23/11) pagi. Tidak ada ketentuan harus menunggu dulu proses dari MKD. Apalagi ini menyangkut laporan tindak pidana. Sebab, ujarnya, di sini sudah ada pengaduan ke polisi, ada dugaan pelanggaran dan tindak pidana. “Dalam hal ini Hak Imunitas tidak berlaku,” terangnya.
Tetap saja, kata Prof Djuanda, meski memiliki Hak Imunitas, bukan berarti anggota DPR bebas bicara dan melakukan tindakan sesukanya, apalagi melakukan pelanggaran tindak pidana. Tidak bisa dia menyinggung pihak lain.
“Andai ada surat tugas (DPR), bukan berarti anggota DPR tersebut bebas melecehkan pihak lain,” tegasnya.
Sementara Bareskrim Polri menegaskan, tak ada Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dalam kasus ini. Kasus ini, menurut Bareskrim Polri, jalan terus. “Siapa yang bilang SP3, masih berproses,” kata Kepala Bareskrim Polri Komjen Pol Ari Dono Sukmanto kepada wartawan di Bareskrim Polri, Jakarta, Kamis (23/11).
Sementara anggota DPR Roy Suryo menyatakan, Hak Imunitas tak berarti anggota DPR bebas berucap dan melakukan apa saja. “Untung Alexis sudah ditutup, kalau tidak, bisa saja anggota DPR ke sana dengan alasan Hak Imunitas,” sindir anggota Komisi I DPR ini di acara Apa Kabar Indonesia TVONE, Jumat (24/11) pagi.
Selanjutnya, Roy menyatakan, pernyataan Viktor kalau sudah masuk ranah pidana, maka tak perlu ke MKD. Ini sudah ranah polisi. Prof Djuanda mempertegas, ini jelas sudah masuk pidana. Ya, kalau mau, paralel saja, kata Djuanda. Artinya, baik Roy maupun Djuanda, sepakat, MKD jalan, pidananya juga diproses.
Untuk menyegarkan kembali ingatan, pidato politik Viktor di Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) menyebut Partai Gerindra, PKS, Demokrat dan PAN mendukung kelompok yang ingin membuat Indonesia menjadi negara berbentuk khilafah.
Viktor mengatakan partai-partai pendukung khilafah ada juga di NTT. Keempat partai itu, menurut Viktor, mendukung ekstremisme tumbuh di NTT.
Dia juga menyatakan, pada situasi nasional, keempat partai tersebut mendukung kaum intoleran. Viktor menuduh di negara khilafah tidak boleh ada perbedaan, semua orang harus shalat.
Pernyataan Viktor ini terungkap dalam pidatonya pada acara deklarasi calon Bupati di Tarus, Kabupaten Kupang, pada 1 Agustus 2017 lalu yang videonya tersebar di media sosial (medsos).
Jelas, apa yang diucapkan Viktor ini bisa memicu konflik horizontal, sehingga harus diproses segera secara hukum, agar tak menjadi bola liar. Hukum harus bicara. Sebab, di negeri ini tak ada yang imun (kebal) hukum! (*)