SOLO (Arrahmah.com) – Dosen Hukum UNS Solo, DR. Pudjiyono Suwadi, SH. MH menyatakan banyak kejanggalan dalam kasus terorisme di Indonesia. Hal ini terjadi saat para terduga sebelum dibawa ke persidangan maupun setelah masuk proses persidangan.
Dalam kasus terorisme, sejumlah data dan fakta dilapangan menunjukkan jika pemerintah menggunakan metode berpikir deduktif, yakni menerapkan hal-hal yang umum terlebih dahulu untuk seterusnya dihubungkan dengan kasus-kasus sebelumnya dalam bagian-bagiannya yang khusus sesuai dengan keinginan penguasa.Kecurigaan menguat bahwa kasus terorisme merupakan rekayasa negara.
“Masalah teroris kan sudah ada bingkainya, metodenya deduktif. Jadi mereka (Densus 88 dan pemerintah -red) sudah punya kesimpulan, cerita dan komentar. Kan tinggal dimasukin yang sesuai dengan bingkai yang sudah disiapkan,” jelas Pudji di Solo, lansir KompasIslam, Jumat (10/1/2014).
Dia merinci, kejanggalan sebelum masuk persidangan misalnya, Densus 88 banyak menangkap para terduga teroris tanpa memberikan surat penangkapan dan melakukan tindak kekerasan saat menangkap. Ia menegaskan jika hal itu bisa dikategorikan sebagai sebuah penculikan.
Pudji juga menemukan sejumlah fakta dan bukti bahwa Densus 88 sering melakukan penyiksaaan dan tekanan terhadap para terduga, dan tidak memberikan hak bagi para terduga untuk menentukan kuasa hukumnya, dan ditemani kuasa hukumnya saat proses pemeriksaan.
Selanjutnya kejanggalan terbesar dan tidak diterima akal sehat serta hukum yang berlaku di Indonesia adalah tindakan tembak mati yang dilakukan Densus 88 terhadap mereka yang dituduh sebagai teroris sebelum proses persidangan berlangsung. Dengan alasan apapun, tegas Pak Pudji, hal itu tidak dibenarkan.
Kejanggalan berikutnya, para terduga teroris yang tidak mendapatkan hak-haknya yang sesuai dan sudah diatur dalam undang-undang yang ada. Seperti saat hari raya besar tidak mendapatkan remisi sebagaimana narapidana lainnya. Dalam hal ini negara telah bertindak diskriminatif terhadap para napi teroris. dapat dilihat perlakuan terhadap napi “teroris” berbeda dengan napi korupsi dan narkoba.
Pudji menyimpulkan, negara telah melakukan pelanggaran hukum dan HAM terhadap orang-orang yang dituduh sebagai terorisme. Dan yang memprihatinkan, banyak kasus terorisme yang telah direkayasa penanganannya oleh negara melalui Densus 88 dan BNPT.
Sebelum ini, pengamat intelejen Umar Abduh telah menyebut adanya rekayasa dalam kasus pembunuhan 6 orang di Ciputat dengan menggunakan isu pemberansan terorisme. Sedangkan KontraS melihat banyaknya kejanggalan dalam aksi Densus 88 di Ciputat, Tangerang Selatan Selsa (31/12/2014). (azm/arrahmah.com)