JAKARTA (Arrahmah.com) – Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Siane Indriane menilai jika melihat secara kronologis penjelasan dari pihak Kepolisian, terkait kasus kematian Siyono (34 tahun), korban kezaliman Densus 88, maka semakin lama kebohongan yang ada semakin terungkap. Untuk itu, publik pun diminta dapat secara cerdas menilai dan memahami kasus kematian warga Desa Pogung, Kecamatan Cawas, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, tersebut.
Siyono tewas dalam proses penyelidikan Detasemen Khusus Anti Teror 88 (Densus 88). Dalam kasus itu, polisi menduga kuat Siyono sebagai pemasok dan penyedia senjata untuk kelompok teroris. Namun, tuduhan itu belum sepenuhnya terbukti di persidangan, hingga akhirnya Siyono menghembuskan nafas terakhir diduga kuat lantaran penyiksaan dan tindak kekerasan yang dilakukan oleh Densus 88.
Alhasil, sejumlah lembaga, PP Muhamadiyah, Komnas HAM, Pusham UII, dan LSM Kontras, melakukan advokasi terhadap kematian Siyono. Salah satunya dengan menggelar otopsi secara independen terhadap jenazah Siyono. Komisioner Komnas HAM, Siane Indriani, mengungkapkan, sepertinya ada upaya sistematis untuk menghalangi-halangi proses pengungkapan kasus Siyono tersebut.
Tidak hanya itu, menurut Siane, selama ini keterangan pihak kepolisian terkait kasus ini juga tidak konsisten. Hal ini justru semakin membuat publik kian curiga terhadap kepolisian. Kemarin, Kadivhumas Polri, Irjen Pol Anton Charliyan mengakui ada kesalahan prosedur yang dilakukan oleh Densus 88 dalam penangkapan Siyono.
“Jika dilihat secara kronologis, dulu ngomongnya tidak ada kesalahan prosedur, tapi karena Siyono meninggal karena kelelahan dan lemas. Kemudian berubah lagi, berkelahi dengan polisi, melawan petugas. Kemudian ini ada kesalahan prosedur. Ini yang justru membuat kami semakin meragukan, semakin lama kebohongan ini semakin terbuka,” ujar Siane saat dihubungi Republika.co.id, Rabu (6/4).
Tidak hanya itu, Siane menambahkan, selama proses autopsi Siyono, akhir pekan lalu, pihaknya juga sempat dihalang-halangi oleh pihak kepolisian, mulai dari permintaan izin, hingga permintaan adanya tim dokter forensik dari Polda Jateng yang ikut serta mengawasi proses tersebut. Kendati begitu, proses autopsi terhadap jenazah Siyono itu pun akhirnya bisa bisa digelar dengan baik.
“Bahkan, pada saat-saat terakhir, ada telepon untuk saya dan pak Busyro (Busyro Muqqodas) meminta untuk menghentikan autopsi. Ini ada apa? kenapa polisi seakan takut, kami melanjutkan autopsi secara independen? apa yang ditakuti polisi? apakah ada yg ditutupi? ini kan justru membuat masyarakat bertanya-tanya, apakah ada fakta yang ditutupi pihak kepolisian,” tuturnya.
Terkait rencana Sidang kode etik yang akan dilakukan pihak kepolisian terhadap penangkap Siyono, Siane mempersilakan pihak kepolisian menindaklanjuti kasus tersebut. Namun, Siane meminta masyarakat untuk bisa menilai dan memahami kasus Siyono tersebut.
(azm/arrahmah.com)