Oleh : Adil Mugroho, pemerhati sosial politik
(Arrahmah.com) – Selalu ada banyak stok peristiwa untuk membangun argumentasi bahwa perang melawan terorisme tidak pernah usai. Dan menjadikan alasan bahwa topik ini selalu menjadi skala prioritas pembahasan paling penting di tengah masifnya pembangunan infrastruktur melibatkan investasi asing dan aseng, sebagai salah satu indikator pertumbuhan ekonomi adalah agenda yang selalu dihadirkan. Di tengah berlangsungnya berbagai kesepakatan-kesepakatan perdagangan internasional bernama “Free Trade Agreement”. Euforia rezim kapitalis global ini selain diklaim sebuah keniscayaan juga dianggap sebagai jembatan untuk mengeleminasi “disparitas” (kesenjangan) antara negara-negara maju dengan negara-negara berkembang/miskin. Karena sirkulasi perdagangan, kesempatan usaha/kerja, investasi dan lain-lain tidak lagi ada batasan antar berbagai negara. Inilah kondisi yang diyakini membuka ruang keberhasilan seseorang/kelompok melakukan mobilisasi vertikal. Meski faktanya hanya beberapa gelintir saja yang akhirnya berhasil. Dalam konteks ini, Amerika berperan sangat penting menjadi komandan kapitalisasi global. Dimana letak sebenarnya topik perang melawan terorisme ini dikerangkakan di tengah situasi di atas ? Ini adalah pertanyaan di antara dari sekian pertanyaan lain yang menarik untuk memahami dasar pemikiran dan arah perang melawan terorisme akan dibawa. Juga untuk mengukur seberapa tensi eskalasi kasus Siyono memiliki daya dorong yang kuat untuk mengevaluasi sekaligus menghapus keberadaan perang melawan terorisme dengan segala macam program dan strukturnya di Indonesia. BNPT dan Densus 88, sudah kadung dibuat dengan dasar pemikiran dan program kerja tertentu yang penuh dengan stereotype dan stigma. Dan keberadaan kedua lembaga itu tidak dalam domain kewenangan lain seperti separatisme, ancaman hegemoni kapitalis global dan sejenisnya. Terorisme dianggap sebagai ancaman nasional karena sudah terlanjur dikukuhkan sebagai ancaman internasional. Di sinilah letak ketergantungan mindset, intelektual dan politik terjadi terhadap negara berpengaruh dunia Amerika oleh negara-negara kecil tidak berdaya seperti Indonesia. Di antara persaingan pengaruh yang sama oleh China.
Sudah jelas-jelas bahwa terjadi pelanggaran hukum oleh negara melalui organnya Densus 88 atas kasus Siyono namun tidak serta merta mampu mengeleminasi urgensi keberadaan Densus 88. Seolah-olah kasus Siyono menjadi bahan yang terlalu sedikit sebagai alasan untuk memperkarakan apalagi membubarkan keberadaan Densus 88. Meskipun sudah terdapat kurang lebih 121 orang meninggal tanpa alasan yang jelas dan tanpa proses pengadilan. Dan video kekerasan brutal Densus 88 yang sempat menghentak publik tahun 2013 yang lalu. Itu semua tidak cukup. Bahkan gambaran begitu luasnya cakupan penanganan persoalan terorisme ditampakkan juga baru-baru ini atas peristiwa penyanderaan 10 orang WNI oleh kelompoknya Abu Sayyaf. Tapi tidak jelas kelompok yang mana dari Abu Sayyaf yang beranggota ratusan orang tersebut. Banyak faksi militer di tubuh Abu Sayyaf (MNLF) Filipina. Selain itu belum tuntasnya operasi gabungan TNI-Polri berjudul “Operasi Tinombala” hingga mendorong Kapolri, Badrodin Haiti akan mengevaluasi kinerja operasi langsung ke Poso. Meski diklaim bahwa operasi itu sudah benar-benar membatasi ruang gerak Mujahidin Indonesia Timur di bawah pimpinan Santoso. Dan akan muncul banyak peristiwa dan potensi ancaman terorisme yang bisa jadi dikompilasi dari berbagai gerakan perlawanan baik yang terjadi secara alamiah maupun rekayasa menggunakan tangan-tangan orang-orang terutama dari kalangan muda yang mudah terpancing oleh sebuah operasi maupun yang sudah terlanjur didhalimi, difitnah dan dianiaya. Ini semua bahan yang akan diproduksi sebagai perjalanan panjang “War On Terorrisme” di Indonesia dan menjadi perpanjangan tangan “Global War On Terrorisme”oleh Amerika. Dan hal itu mengisyaratkan gambaran kebijakan luar negeri Amerika terhadap kawasan ini melalui pintu penanganan terorisme. Terlalu banyak fakta untuk menjelaskan begitu besarnya dominasi Amerika di Indonesia melalui kesepakatan-kesepakatan kerjasama bilateral yang dilakukan hampir semua sektor. Hingga sudah sampai pada tataran intervensi kebijakan negara melalui pintu legislasi. Semua itu bisa dilihat dari banyaknya kebijakan negara yang lebih berpihak pada asing-Amerika. Sementara China di sisi lain memainkan peranannya saling berebut pengaruh dan mendapatkan keuntungan. Fenomena kepemimpinan Ahok dan Jokowi berikut dengan lawan-lawan politiknya menjelaskan bagaimana peta konstelasi persaingan kekuatan politik di Indonesia masih didominasi oleh persaingan intervensi kekuatan barat di bawah komando Amerika dan kekuatan Sino China. Sayangnya tidak banyak analis politik yang berani secara terbuka mengungkap bagaimana anatomi persaingan antar kekuatan politik itu terjadi. Meski ada juga beberapa elit politik yang menaruh harapan hadirnya kebangkitan nasional melalui ideologi negara nasionalisme di antara persaingan pengaruh kekuatan global China dan Amerika tersebut terjadi. Di sisi lain juga terdapat kelompok utopis-pragmatis tidak memiliki prinsip yang jelas hanya berorientasi pada keuntungan materi semata. Dalam keadaan seperti itu dimana letak sesungguhnya kekuatan politik islam berada.
Dalam kerangka pemikiran di atas bagaimana sebenarnya nasib penanganan terorisme di Indonesia ke depan akan bisa dipahami dari beberapa hal sebagai berikut :
Pertama, mempertanyakan nasib penanganan terorisme ke depan sama halnya menanyakan seberapa jauh kepentingan Amerika di kawasan ini. Dari berbagai indikator terutama masifnya pengelolaan SDA oleh perusahaan-perusahaan Amerika menunjukkan bahwa penanganan terorisme di Indonesia sudah benar-benar menjadi bagian dari strategi untuk mengendalikan sebuah kawasan. Sama halnya Amerika di Irak maupun Afghanistan meski dengan treatment yang berbeda. Dimana Irak dan Afghanistan lebih menggunakan “the war system approach” daripada “the criminal justice system approach” seperti di Indonesia. Tapi polanya sama sebagai bagian dari strategi menjaga berbagai kepentingan politik maupun ekonomi sebuah kawasan. Hal ini sekaligus bisa menjelaskan kenapa dalam berbagai kasus, pemerintah lebih sensitif pada isu terorisme daripada disintegrasi atau separatisme. Termasuk tidak sensitif pada isu kapitalisme global yang dianggap sebagai sebuah keniscayaan.
Kedua, sebanyak ratusan veteran mujahidin Irak dan Afghanistan termasuk dari Syam, narapidana kriminal maupun terduga terorisme dari berbagai penjara di berbagai wilayah yang cenderung meningkat, MNLF, MIT, dan sejenisnya adalah bahan yang bisa dikelola dalam kerangka war on terorrism. Sebuah bahan yang bisa diaduk-aduk untuk kepentingan cerita panjang penanganan terorisme.
Ketiga, penanganan terorisme melibatkan dana yang sangat besar. Dari APBN saja sejumlah 1,9 trilliun rupiah untuk tahun anggaran 2016. Belum lagi dari donasi internasional yang menurut Ansyaad Mbai (mantan Ketua BNPT) berbelit-belit prosedur realisasinya. Intinya penanganan terorisme melibatkan ketersediaan dana yang sangat besar karena didukung oleh bantuan program maupun peralatan dari berbagai negara terutama Amerika dan Australia sebagai konsekuensi dari kerjasama internasional atas penanganan terorisme. Ketersediaan dana yang besar adalah salah satu indikator jangka panjangnya program penanganan terorisme.
Keempat, penanganan terorisme diadvokasi oleh lembaga-lembaga internasional terutama dalam perumusan frame of legal yang semakin memperkuat keberadaan lembaga-lembaga yang dibentuk maupun program-program yang dirancang. Lembaga-lembaga tersebut melakukan kajian-kajian strategis, riset dan penelitian yang sangat penting sebagai kontribusi naskah akademik perumusan kerangka legislasi demi menjaga suistanabilitas penanganan terorisme jangka panjang.
Kelima, dibuatnya renstra jangka pendek, menengah dan panjang untuk kepentingan penanganan terorisme adalah bukti lain bahwa program ini memiliki visi ke depan bagaimana program penanganan terorisme adalah paket kebijakan yang diletakkan pada bagian dari strategi kebijakan internasional untuk ikut menentukan peta konstelasi politik internasional. Utamanya di kawasan Asia Pasifik.
Keenam, keberadaan kelompok elit politik dan penguasa utopis dan pragmatis yang menjadikan penanganan terorisme sebagai jembatan mulus meningkatkan karier jabatan atau politiknya. Selalu dikelola sebagai isu yang akan menentukan seberapa dukungan politik internasional terutama Amerika mampu diperoleh. Mutualisme abadi antara dominasi kapitalisme global dengan para elit politik-penguasa utopis pragmatis yang menjadikan penanganan terorisme sebagai jembatan karier menjadikan penanganan terorisme tak berujung.
Seberapa kasus Siyono mampu membuka tabir dan menguak begitu kuatnya rekayasa politik di balik “war on terrorism” melalui pintu desakan atas Densus 88 adalah sama halnya mempertanyakan seberapa eksistensi kepentingan dan kekuatan global yang arogan di bawah komando Amerika memainkan “global war on terrorism” sebagai bagian dari strategi politik untuk mengendalikan wilayah Indonesia yang memiliki arti ekonomi, politik dan sektor lain yang strategis. Kecuali jika Amerika memiliki niat lain karena Indonesia sudah dianggap tidak produktif lagi. Inilah jawaban sebenarnya kenapa muncul sebuah rumusan salah satu identifikasi teroris versi BNPT yakni “mereka yang memandang sinisme dan kebencian terhadap Amerika”. Rumusan itu setidaknya telah menjadi pembatas atas siapapun perseorangan maupun kelompok yang membicarakan atau mempermasalahkan eksistensi kepentingan dominasi politik dan ekonomi Amerika di negeri “gemah ripah loh jinawi” ini. Wallahu a’lam bis showab.
(*/arrahmah.com)