Direktur ICG (International Crisis Group) untuk Indonesia, Sidney Jones, kembali melontarkan isu Jamaah Islamiyah (JI) berada di balik intrik Poso. Isu provokatif dari wanita Yahudi Amerika ini, ternyata dibenarkan oleh mantan Kepala BIN, Hendropriyono; sementara mantan komandan Laskar Jihad, Jakfar Umar Thalib, termasuk orang yang tertipu dengan provokasi tersebut.
Dalam kaitan dengan konflik berdarah di Poso, antara masyarakat Tanah Runtuh dan aparat keamanan, Jakfar Umar Thalib (JUT) telah menghembuskan tuduhan jahat dan menghujat Amir Majelis Mujahidin, Ustadz Abu Bakar Ba’asyir, sebagai orang yang berpandangan sesat, khawarij, dan cenderung mementingkan kelompoknya sendiri daripada kepentingan umat Islam secara keseluruhan. Karena itu, JUT tegas dan terus-terang memposisikan diri berseberangan dengan Amir Majelis Mujahidin itu.
“Mulai sekarang saya siap menghadapi manuver-manuver Abu Bakar Ba’asyir apa pun dan bagaimana pun”, katanya.
Menurut Jakfar, sikap keras yang ditunjukkan terhadap Ustadz Ba’asyir dipicu oleh berita Risalah Mujahidin (RM) edisi bulan Dzulqa’dah/Desember 2006, bahwa Jakfar direkrut oleh Densus 88. Merasa pribadinya disudutkan –terbukti dari sejumlah sms yang masuk ke redaksi RM di-forward dari JUT– menyatakan tersinggung berat, sehingga berharap ada klarifikasi dari Majelis Mujahidin atas pernyataan tersebut. (Detikcom, Luhur Hertanto 27/01/’07).
Benarkah kemarahan Jakfar Umar disulut oleh informasi intelijen dari hasil penelitian tim CeDSoS yang kemudian dilansir Risalah Mujahidin?
Sebagai upaya klarifikasi, maka ketua Forum Ulama Umat Islam (FUUI) Bandung, KH Athian Ali, menggagas untuk mempertemukan Jakfar Umar Thalib dengan Ustadz Abu Bakar Ba’asyir. Pertemuan berlangsung di sekretariat FUUI, Masjid Al Fajr, Bandung, 13 Februari 2007. Hasilnya, sama sekali tidak memberi nuansa ishlah, karena Jakfar menilai, semua berita tentang Poso, diluar informasi resmi aparat keamanan, bohong semua.
Dalam pertemuan tersebut, Risalah Mujahidin mengutus Pimpred, Fauzan Al-Anshari, dan Ketua Lajnah Perwakilan Majelis Mujahidin DKI Jakarta, Haris Amir Falah. Di luar ruang pertemuan, terlihat hadir juga Direktur CeDSoS.com, Umar Abduh. Sayang sekali, Jakfar Umar Thalib menolak diwawancarai guna memberi kesempatan hak jawab. “Tidak perlu, kalau mau menulis lebih jauh tentang itu, silahkan saja,” katanya. Karena itu, RM mewawancarai Umar Abduh sebagai Direktur CeDSoS.com, dimana salah satu laporan yang dimuat di situs itu pada 6 November 2006 dengan judul “Kasus Poso dan Jakfar Umar Thalib” yang dikutip RM3 menghebohkan.
Bagaimana tanggapan anda atas kemarahan Jakfar Umar Thalib terhadap berita yang dirilis CeDSoS.com dan dikutip Risalah Mujahidin itu?
Terserah dia (Jakfar Umar Thalib) saja. Maunya apa dan bagaimana, apakah ditutup atau dilanjutkan. Kita bongkar-bongkaran, tidak apa-apa. Kita bisa buktikan, bahwa yang kami publikasikan itu, memang benar. Tapi kalau dia berhitung untuk kemaslahatan umat atau dirinya, ya tutup saja.
Seberapa siap anda bertanggung jawab atas kebenaran informasi itu?
Ya, sejauh informasi intelejen itu dianggap merugikan dia atau tidak. Kalau polisi takut membongkar, ya pasti tidak akan dilanjutkan.
Informasi intelijen ‘kan sulit diverifikasi?
Ya, tapi informasi itu kan banyak. Kalau saya menyampaikan informasi intelijen, maka seberapa banyak informasi itu cocok dengan realitas, bisa dibuktikan secara faktual. Misalnya, dia membantah, tidak direkrut Densus 88, ya silakan bantah. Bagian mana yang benar dan salah dari informasi itu? Untuk membuktikan benar tidaknya informasi itu tergantung sikap dia, merasa tercemar atau tidak. Kalau tidak, ya sudah, dianggap selesai.
Kenapa anda berani merilis laporan itu?
Itu penting, untuk mendudukkan persoalan yang sebenarnya secara proporsional. Mengapa Jakfar Umar Thalib minta, atau mau disertakan dalam proses penyelesaian Poso, padahal dia tidak punya kapabilitas untuk itu. Saya melihat ada sisi lain, kenapa dia melibatkan diri atau dilibatkan dalam kasus Poso. Itulah yang harus diketahui umat. Saya melihat Jakfar sudah lancang, karena memasuki kasus besar tanpa menguasai akar persoalan, tidak tanya sana-sini, dan tidak melihat kondisi apakah dia dijebak atau sekedar dimanfaatkan.
Apakah ada unsur finansial?
Saya tidak melihat soal itu, mungkin sekarang belum terima, tapi ndak tahu nanti.
Siapa sumber info CeDSoS?
Informasi intelijen.
Apakah anda bersedia dikonfrontir dengan JUT?
Boleh saja.
Apa anda punya kontak dengan JUT?
Tidak punya.
Bagaimana dengan cover both side?
Saya memberikan informasi ini justru untuk memberi keseimbangan berita, dimana JUT dan media juga tidak melakukan hal yang sama terhadap sasaran yang dia tembak.
Apa statemen paling krusial yang disampaikan JUT terkait kasus Poso?
Dia langsung menuduh JI dan mendukung langkah Densus 88, sementara dia tidak mencari akar masalah terorisme dan bagaimana asal terjadinya terorisme dan Densus itu sendiri. Jadi, di sini saya melihat dia sebagai orang yang digunakan dan tidak berdiri di tengah-tengah sebagai seorang Muslim yang seharusnya bisa memberikan informasi yang baik atau membawa kepada kondisi yang lebih baik. JUT justru memancing memanasnya suhu politik.
Kemunculan JUT yang mendadak pada 6 April 2000 dan hilang pada Oktober 2002 setelah Laskar Jihad dibubarkan. Lalu muncul lagi di Poso 29 Oktober 2006 bersama rombongan Wapres Jusuf Kalla. Ini indikasi apa?
Ya itulah, dia kok bisa bersama Jusuf Kalla satu rombongan, dia selalu bisa dekat dengan pemerintah, itu yang cukup mengagetkan kita. Tidak ada kelompok-kelompok Islam yang selama ini independen bisa tampil seperti itu. Dalam porsi apa JUT dilibatkan dalam proses penyelesaian konflik Poso? Itu yang perlu dikritisi. Ketika dia muncul, hilang, dan muncul lagi. Ini ada apa? Paling tidak harus diwaspadai. Saya perlu nulis untuk menasihati JUT agar tidak mengulangi apa yang pernah dilakukan di Ambon dulu.
Anda sebut JUT sebagai false flag, maksudnya?
Ya, kalau dia datang cuma untuk menancapkan ‘bendera’ itu kan hanya simbol saja. Seakan-akan dialah tokoh yang harus dilibatkan. Kalau tokoh Islam dilibatkan seharusnya suaranya berpihak kepada Islam, berpihak kepada orang yang dizalimi, yang tertindas. Kenapa seorang Ustadz justru berpihak kepada Densus 88?
Benarkah Laskar Jihad dan Jafkar hanya mejeng di Ambon?
Ha… ha… ha… itu cuma guyon saja, masak gitu saja tersinggung…
Pertemuan Bandung: Mengukur Kualitas dan Kejujuran
Pertemuan yang digagas dan difasilitasi oleh Forum Ulama Umat Islam (FUUI) Bandung pimpinan KH Athian Ali Da’i, antara Ustadz Abu Bakar Ba’asyir dan Jakfar Umar Thalib, 13 Februari 2007, selama tiga jam, berlangsung panas. Inisiatif FUUI mengadakan pertemuan ini dimotivasi adanya tuntutan beberapa ormas Islam yang gelisah mendengar dan melihat pernyataan JUT di media massa yang memojokkan Ustadz Ba’asyir, baik sebagai pribadi maupun Amir Majelis Mujahidin.
FUUI ingin memusatkan pembahasan tentang ketersinggungan JUT terhadap RM edisi 3, sebagaimana informasi dari Dr. Jose (Mer-C) yang disampaikan setelah dia bertemu JUT. Tapi setelah JUT diberi waktu untuk bicara, ternyata persoalannya melebar ke mana-mana. Bagi JUT pemberitaan seperti itu biasa saja, ditulis lagi juga tidak soal. Jadi, pernyataan JUT yang dilansir oleh media itu bukan karena tersinggung oleh RM3. Menurut JUT, dia ingin menasihati pejabat, ulama, termasuk Abu Bakar Ba’asyir. Menurut Jakfar Umar, berita-berita yang disampaikan Ustadz Abu tentang Poso, semuanya bohong karena diperoleh dari anak buahnya yang juga pembohong.
Jakfar Umar mengaku, pernyataan itu tidak karena mendapat informasi dari polisi melainkan terjun langsung, menyelidiki sendiri keluar masuk rumah rakyat di sana. “Masyarakat Poso dipaksa oleh anak buah Ustadz Abu yang di DPO itu, termasuk Ustadz Adnan Arsal, agar berpihak kepada Ustadz Abu. Jadi, menurut Jakfar, mereka melawan polisi itu karena dipaksa oleh Ustadz Abu dan anak buahnya, sesuatu yang sama sekali tidak relevan.
Siapa Pembohong
Suasana pertemuan kian memanas, karena ucapan Jakfar semakin arogan dan tidak berakhlak. Namun, Ustadz Ba’asyir yang berpengalaman, baik karena umurnya yang sudah sepuh maupun ilmunya yang cukup memadai, merespon sikap Jakfar dengan senyum dan dengan ucapan yang tetap santun. Ibarat seorang ayah menghadapi kenakalan anaknya. Termasuk, ketika Jakfar menuduh Ustadz Abu sebagai pembohong dan dajjal, beliau tetap tenang dan sabar. Pengalaman menghadapi fitnah dan tuduhan jahat dari Presiden AS George Walker Bush, agaknya berguna untuk menghadapi Jakfar Umar yang temperamental dan sok tahu.
“Anda berani menyampaikan sesuatu yang bohong, padahal berita-berita itu berasal dari dajjal-dajjal,” sergah Jakfar.
Ustadz Abu bertanya,“siapa yang dimaksud dengan dajjal-dajjal itu?”
“Dajjal itu maksudnya, ya Adnan Arsal, Fauzan, dan lain-lain,” kata Jakfar.
“Mengapa antum begitu gampang dan seenaknya mendajjal-dajjalkan orang, bagaimana itu?”
Dajjal itu artinya pembohong. Termasuk antum juga dajjal, karena menyebar berita yang datang dari dajjal,” kata Jakfar emosional.
“Menuduh orang lain bohong, harus ada bukti dan saksi. Sekarang kita datangkan saja Fauzan –Fauzan dan yang lain menunggu di luar ruang pertemuan– dia sudah bawa saksi,” tantang Ustadz Abu.
Tetapi, Jakfar Umar menolak. “Nanti kita jadi jotos-jotosan di sini,” kata Jakfar.
Kata Ustadz Abu, “Mengapa begitu? Kita perlu buktikan siapa pembohong sebenarnya. Omongan Fauzan atau antum yang bohong,” tegas Ustadz Abu.
Sebagai mediator pertemuan, KH Athian Ali Da’i agaknya tidak menyangka arah pertemuan sudah tidak kondusif. Ternyata, masalahnya bukan informasi yang diberitakan di Risalah Mujahidin. Karena Jakfar Umar malah menasihati Ustadz Abu. “Ente kan sudah tua, jangan pikun memahami persoalan,” kata Jakfar jumawa.
“Sembari tersenyum, Ustadz Abu mengingatkan, “banyak info beredar bahwa ente itu jadi alat polisi.”
“Tidak apa-apa orang bilang begitu,” kata Jakfar cengengesan.
“Kita perlu adu fakta, benar tidak info-info itu. Nabi SAW kan lihat dhahir atau faktanya,” demikian Ustadz Abu.
Pada akhir pertemuan, Jakfar bersedia bertemu lagi di lain waktu. Alasannya, sekarang dia tidak membawa saksi.
Dalam kesempatan itu, Ustadz Abu Bakar Ba’asyir masih menawarkan kepada Jakfar Umar, supaya memberikan hak jawabnya untuk dimuat Risalah Mujahidin, namun Jakfar Umar menolak, padahal menurut Dr Jose dari Mer-C, Jakfar Umar mengungkapkan ketersingungannya dengan tulisan RM3. Tapi Jakfar membantah. Jadi, mana yang benar? Jose atau Jakfar? Sebagaimana Jose, Mahendradatta (TPM) dan M. Ali (Ampera), juga mengabarkan hal itu.
Bagian mana yang disebut JUT sebagai ajaran sesat dari Ustadz Abu? Kata JUT, Ustadz Abu memerintahkan jihad di Poso. Ustadz Abu meluruskan berita itu, bahwa berita itu tidak benar. Ustadz Abu justru mengoreksi polisi, bahwa kalau polisi terus menerus bertindak diskriminatif, maka Ustadz Abu mengkhawatirkan akan terjadi jihad umum. Itu akan ‘kacau’, karena semua umat Islam akan bangkit.
Lalu JUT menuduh Ustadz Abu memaksa masyarakat Poso menjadi tameng hidup pada DPO. Ini juga berita fitnah. Pada pertemuan di MUI Kamis (8/2/07) jam 10:00-13:30 wib utusan Tanah Runtuh (Ustadz Jamil dan Ustadz Ahmad) menyatakan bahwa masyarakat membela DPO, karena para DPO itu telah berjasa besar melindungi umat Islam Poso pada tahun 1998-2001 dari serangan Kristen. Kalau tidak ada mereka, maka Kota Poso pasti hancur akibat kebiadaban orang Kristen. Jadi, masyarakat tidak rela DPO diperlakukan sebagai teroris, sementara 16 nama tokoh Kristen otak pembantaian terhadap umat Islam yang jelas-jelas ditunjuk Tibo dalam surat resmi yang dikirimkan kepada Majelis Hakim PN Poso, pada 21 Maret 2001, tidak digubris sampai sekarang. (FA)
Sumber :
CeDSoS (Center for Democracy and Social Justice Studies)