SOLO (Arrahmah.com) – Berbagai kasus eksploitasi anak semakin marak di Kota Solo. Bahkan 75 persen dari angka kasus eksploitasi anak merupakan korban perdagangan anak.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Yayasan Kakak, sebuah LSM yang concern pada perlindungan anak di wilayah Surakarta mencatat angka kasus eksploitasi yang mengejutkan. Dalam kurun tahun 2005-2008 tercatat ada 111 anak korban eksploitasi.
“75 persen dari angka itu merupakan korban perdagangan anak, paling tidak mereka pernah ditawari,” ujar Manager Divisi Anak Yayasan Kakak, Shoim Sahriyati di Solo, Sabtu, 24 Oktober 2009. Sedangkan pada 2009, angka korban eksploitasi sudah mencapai 20 anak.
Dari penelitian, para korban ekspolitasi anak tersebut, diketahui 99 persennya pernah ditawari untuk dijadikan objek perdagangan anak. “Mereka ditawari, diiming-imingi bekerja enak dengan upah tinggi. Untungnya sebagian sudah dalam pembinaan kita dan berhasil menolak bujukan itu,” kata dia.
Jalur mata rantai pelaku perdagangan anak, kata dia, sangat kompleks. Selain ada peran langsung dari jaringan germo, teman-teman dekat korban pun terkadang ikut ambil peran. “Jalur perdagangan anak meliputi wilayah eks Karisidenan Surakarta seperti Solo-Wonogiri-Boyolali-Sragen. Namun, ada juga yang lintas daerah, karena kita pernah menemukan korban sampai di Malang, Batam bahkan yang terbaru di Riau,” tutur Shoim.
Para korban semuanya masuk kategori usia anak, yakni dari usia 14 hingga 17 tahun. Rata-rata para korban merupakan pelajar dari SMP hingga SMA. Faktor pemicu maraknya eksploitasi anak ada tiga hal. Pertama, faktor ekonomi yang erat kaitannya dengan kemisikinan. Kedua, faktor gaya hidup yang menjangkiti anak-anak tanpa kontrol kuat.
“Lihat saja gaya hidup saat ini, anak-anak remaja cenderung menginginkan sesuatu untuk gaya hidup yang tidak bisa lagi membedakan mana yang menjadi kebutuhan dan mana yang menjadi kesenangan,” ujarnya.
Faktor ketiga, adalah faktor traumatik. Menurutnya, dari 111 korban eksploitasi anak, 99 persennya merupakan korban pemerkosaan, meski pelakunya dengan teman atau pacar sendiri. “Anak-anak di bawah usia 18 tahun meski sama-sama mau atau pun tidak, tetap saja itu masuk kategori pemerkosaan,” kata Shoim.
Untuk wilayah eks Karisidanan Surakarta, kata dia, Solo menduduki peringkat pertama angka korban eksploitasi anak, disusul kemudian Wonogiri dan Sragen. “Pencegahan yang bisa kita lakukan dengan sosialisasi ke sekolah-sekolah. Kita dorong sekolah-sekolah untuk membuat sistem agar korban ini tidak menjadi pihak yang terus dipersalahkan,” tuturnya.
Selama ini, beberapa sekolah ketika terdapat kasus pornografi anak yang melibatkan peserta didiknya, cenderung memvonis sepihak pada anak, bukan lagi memberi dukungan moril. “Kita pernah mendampingi dua kasus pornografi anak, mereka justru dikeluarkan. Sekolah hanya memikirkan reputasi nama baik sekolah tanpa melihat penyebab kasus itu muncul. Padahal kasus itu muncul karena ada tekanan dari orang lain,” ujar Shoim. (vivanews/arrahmah.com)