Oleh Edward Marthens, Pekerja sosial, tinggal di Jakarta
(Arrahmah.com) – Warteg milik Saeni yang buka siang hari pada Ramdahan dirazia Satpol PP Kota Serang, Juni 2016. Media mainstream mem-blow up berita ini. Berhari-hari. Bertubi-tubi. Netizen ribut. Kecaman disemburkan. Sumbangan untuk Saeni dikumpulkan. Jokowi, Presiden Republik Indonesia ikut menyumbang Rp10 juta. Total sumbangan mencapai Rp265 juta.
Belakangan terkuak, Saeni bukanlah orang miskin. Dia juga bukan warga Serang. Saeni pengusaha Warteg, tersebar di tiga kota. Saat razia berlangsung, dia sedang mengontrol warteg-wartegnya. Namun, ya itu tadi, framing dan agenda setting para pembenci Islam dan didukung media mainstream sudah berjalan. Sukses!
***
Juli 2015, gerombolan jemaat Gereja Injil di Indonesia (GIDI) menyerang dan melempari batu ummat Islam yang tengah shalat Idul Fitri 1435 H, di Kabupaten Tolikara. Bukan hanya itu, mereka juga membakar masjid di sana. Kepolisian Papua melaporkan, selain Masjid, enam rumah dan 11 kios dilaporkan ikut terbakar.
Jokowi mengecam keras insiden tersebut. Dia juga berjanji akan menegakkan hukum, bukan hanya untuk pelaku kriminal di lapangan, tapi juga semua pihak yang terbukti mencederai kedamaian di Papua. Namun, yang terjadi berikutnya, Jokowi justru mengundang para pelaku dan aktor intelektual kerusuhan Tolikara untuk makan-makan di istana.
***
27 September 2016, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama dalam sebuah acara dinas di Kepulauan Seribu menistakan al Quran. Menurut dia, orang-orang yang tidak memilihnya pada Pilkada Februari 2017 nanti, telah dibohongi dengan surat al Maidah ayat 51.
Atas jasa Buni Yani, video penistaan itu akhirnya menjadi viral. Netizen marah. Ummat Islam marah. Mereka menggelar aksi massal. Demo besar pecah 14 Oktober 2106, ba’da shalat Jumat dari masjid Istiqlal. Bukan hanya di Jakarta, tapi di seantero Indonesia terjadi serupa. Bahkan juga di belahan dunia lainnya. Tuntutan ummat Islam satu, tangkap dan adili penista al Quran dan penghina ulama.
Hari ini, 31 Oktober 2016, lebih sebulan sudah penistaan yang dilakukan Basuki. Tapi sampai kini, tidak secuil pun respon dari Jokowi. Sebaliknya, publik, khususnya ummat Islam mencium menyengatnya aroma perlindungan dan pembelaan Presiden kepada Basuki. Indikasinya gampang saja. Polisi terlihat gagap menangani kasus ini. Berbagai alasan dikemukakan. Mulai dari tidak mau menerima laporan masyarakat karena belum ada fatwa MUI, sampai berkelit menunggu perintah Presiden untuk memeriksa Basuki, dan berbagai dalih lainnya.
Basuki memang sudah minta maaf. Tapi, redaksinya, dia minta maaf atas kegaduhan yang terjadi. Bukan minta maaf karena sudah menistakan al Quran dan menghina ulama. Dia juga bertamu ke Bareskrim Polri. Tapi itu bukan untuk diperiksa, melainkan untuk mengklarifikasi. Tidak ada berita acara pemeriksaan (BAP), tentu saja.
***
Sebenarnya apa yang tengah terjadi di negeri ini? Ketidakadilan terhadap Islam dan ummatnya berlangsung begitu gegap-gempita.Ada terompet terbuat dari sampul al Quran, sandal jepit berlafaz Allah produksi perusahaan di Gresik-Jatim, plat cetakan al Quran untuk cetakan panggangan kue, celana ketat wanita berlafadzkan surah Al-Ikhlas, sajadah/karpet shalat yang digunakan untuk menari tari Bali di acara Hari Amal Bakti ke-70 Kementerian Agama, dan lainnya. Belum lagi penistaan oleh personal yang tersebar di media sosial, marak luar biasa.
Kalau hanya sekali mungkin itu kebetulan. Dua kali, bisa jadi karena kecerobohan. Tapi kalau berkali-kali, tentu sudah tidak wajar. Sedihnya lagi, pelakunya bisa siapa saja. Bukan hanya dari kalangan rakyat, bahkan juga oleh para pejabat. Yang terbaru, ya kasus Basuki itu tadi. Ada desain besar pihak tertentu yang sengaja menciptakannya. Padahal, Islam dianut sebagian besar penduduk negeri ini. Bahkan, muslim di Indonesia tercatat yang terbesar di dunia. Aneh…!
Menjelang 4 November 2016 situasi kian memanas. Berbagai surat resmi (nota dinas dan telegram) dan data intelejen terkait rencana aksi Bela Islam jilid dua diselenggarakan, beredar secara luas di media sosial. Polisi sibuk menepis beberapa di antarnya. Hoax, kata petinggi polisi. Palsu, kata pejabat Polri lainnya. Yang pasti, menurut surat-surat resmi (?) Polri yang bocor ke publik, situasi-kondisinya sudah masuk siaga satu!
Kenapa semua ini bisa terjadi? Haruskah seluruh energi negeri ini habis hanya untuk seorang Basuki? Mengapa Polisi tidak segera menegakkan hukum terhadap Basuki Ahok? Bukankah dia telah dilaporkan oleh banyak pihak, baik individu maupun ormas/komunitas? Gerangan apa yang menahan langkah Polisi?
Sejatinya, hanya ada seorang manusia yang bisa memerintahkan Polisi (juga TNI) di negeri ini. Dialah sang Presiden. Gagapnya Polisi pada kasus Basuki, mau tidak mau, memicu dugaan Jokowi memang melindungi si gubernur penggusur permukiman rakyat kecil. Sebelum berkunjung ke Bareskrim tempo hari, misalnya, Basuki sowan dulu ke Istana. Kenapa?
Ada apa dengan Jokowi? Kenapa waktu warteg Saeni dirazia, dia cepat merespon, bahkan menyumbang? Pada kali lain, saat ratusan titik permukiman rakyat kecil digusur dengan bengis dan brutal Jokowi diam seribu bahasa. Apa karena Saeni “dizalimi” oleh Perda syariah? Apa karena sang penggusur itu Basuki?
Kalau karena Saeni, yang oleh media setting dan framing media dikesankan seolah-olah ‘dizalimi’ Perda Syariah lalu Jokowi bereaksi cepat, tentu kita jadi makin kenal siapa dia sesungguhnya. Gosip yang berseliweran bahwa dia anak PKI seperti menemukan pembenaran. Yang pasti, Jokowi bukanlah kita sebagaimana tagline-nya waktu kampanye Capres, 2014 silam.
Kalau karena pelaku penistaan al Quran adalah Basuki, maka kita juga makin kenal siapa Presiden RI saat ini sesungguhnya. Begitu berharganya seorang Basuki, sehingga Jokowi bisa melawan hukum dan rela mempertaruhkan keutuhan Indonesia. Dengan kekuasaannya, Jokowi bukan saja telah memerintahkan Polri untuk tidak menyentuh Basuki, tapi dia juga menginstruksikan hampir semua lembaga di bawahnya untuk bekerja melindungi Basuki. Artinya, Presiden sudah menempatkan gubernur bermulut isi toilet itu di atas negara. Jokowi telah menjadikan Basuki lebih penting dari negara.
Masih ada beberapa hari lagi menuju 4 November. Kita ingin melihat, apakah Polri masih juga tidak kunjung bertindak. 4 November memang bukan segala-galanya. Ia juga bukan titik akhir. Sebaliknya, 4 November adalah awal dari langkah ummat Islam selanjutnya. Jika Basuki masih melenggang, jika Polisi masih tidak mengambil tindakan, Jokowi masih melindungi, maka biarlah ummat Islam yang bergerak. Allahu akbar!!! (*)
Jakarta, 31 Oktober 2016
(*/arrahmah.com)