Oleh Yuliyati Sambas
Pegiat Literasi Komunitas Penulis Bela Islam AMK
Beberapa waktu belakangan dari sekian banyak kasus viral dan menyedot perhatian masyarakat satu di antaranya adalah polemik Al-Zaytun. Banyaknya kontroversi yang terjadi di pondok pesantren yang disebut terbesar se-Asia Tenggara itu telah jelas menampakkan adanya penyimpangan akidah hingga kesesatan dalam beragama. Hal itu bahkan telah difatwakan oleh MUI sejak 2002.
Lebih mengiris hati ketika teringat betapa ribuan santri yang merupakan generasi umat telah menimba ilmu dan dinyatakan lulus setiap tahunnya di lembaga pendidikan di sana. Bagaimana dengan pandangan keislaman mereka?
Dua puluh lima tahun sejak pertama dibuka pendaftaran santri hingga sekarang faktanya ponpes megah tersebut seolah tak terjamah. Baru belakangan pemerintah mulai “turun tangan” menggandeng lembaga terkait, mulai dari pejabat daerah, MUI hingga Departemen Agama. Diawali dari viralnya video shalat di Masjid Rahmatan lil Alamin Ponpes Al-Zaytun yang demikian berbeda dari panduan syariat fikih mu’tabar. Adanya wanita di shaf laki-laki, shaf yang demikian berjauhan dan ditempatkan kursi di pinggir masing-masing jamaah, hingga duduknya seorang non-muslim di antara jamaah shalat di dalam masjid.
Kini kasusnya sudah ditangani oleh kepolisian. Panji Gumilang sebagai Ketua Ponpes Al-Zaytun telah dipanggil oleh Bareskrim Polri pada 3 Juli 2023 dan akan kembali dipanggil untuk kedua kalinya untuk kasus dugaan penistaan agama, ujaran kebencian, dan berita bohong. Bahkan akan didalami terkait adakah kasus TPPO di dalamnya. (kumparannews, 13/7/2023)
Banyak pihak memandang bahwa aksi pemerintah demikian terlambat. Dan ini memunculkan kekecewaan di benak publik. Kenapa mesti menunggu berpuluh tahun untuk mengambil kesimpulan bahwa pesantren tersebut bermasalah dan layak untuk diselidiki? Hingga hal ini memunculkan beragam analisis. Mulai dari adanya dugaan praktik backing dari pihak yang kuat di pemerintahan, perputaran aliran dana melimpah, sampai besarnya potensi suara yang dapat dimanfaatkan oleh pihak tertentu untuk mendulang kemenangan di masa pemilu.
Satu di antaranya datang dari Ketua Forum Ulama Ummat Indonesia (FUUI) K.H. Athian Ali. Dilansir dari Republika (17/6/2023) ia mempertanyakan langkah pemerintah kenapa ada kesan membedakan kasus ini dengan gesitnya pemerintah membubarkan HaTeI dan eFPeI. HaTeI yang istikamah berdakwah jalur pemikiran tentang Khilafah sebagai bagian dari ajaran Islam. Adapun eFPeI sangat getol beramar makruf nahi mungkar di tengah masyarakat. Kedua ormas Islam tersebut telah dibubarkan pemerintah. Sementara Al Zaytun yang jelas-jelas banyak bukti terkait afiliasinya dengan gerakan NII KW 9, punya struktur pemerintahan dari tingkat terbawah hingga imam tertingginya, justru seolah dibiarkan. Kalau saja kontroversi keagamaan di sana tidak viral dan kuatnya desakan masyarakat yang menghendaki pengusutan tuntas, tak tahulah kiranya apa jadinya.
Sebagian kalangan beranggapan bahwa sekarang dan dulu itu beda dalam kecepatan merespons sebuah persoalan karena adanya medsos dan arus informasi yang demikian canggihnya. Bukan rahasia ketika sebuah kasus mencuat dan viral barulah negara turun tangan. Pertanyaannya, bukannya masalah agama itu berkaitan dengan akidah rakyat yang sangat utama dan wajib dijaga oleh negara terkait kemurniannya? Faktanya kontroversi keagamaan yang terjadi di Al-Zaytun sudah masuk ranah akidah hingga amaliah shalat yang bersifat qath’i dan tauqifi. Maka sudah semestinya meski hanya satu orang pun dari rakyat di negeri ini yang telah bergeser dari kedua hal tersebut, adalah tugas negaralah dalam meluruskannya dan menjaganya. Bayangkan, ini bukan hanya terjadi pada satu individu saja, melainkan sudah demikian terorganisir dari yang di atas permukaan, yakni semua civitas Al-Zaytun terlebih para anggota NII yang konon jumlahnya sudah ribuan. Bahkan kembali lagi, bahwa itu semua telah berlangsung berpuluh tahun lamanya. Astagfirullah.
Ada lagi yang beranggapan bahwa negara itu banyak sekali agenda persoalan yang diurusi. Saking sibuknya sehingga persoalan penyimpangan paham keagamaan yang sudah disampaikan oleh MUI di tahun 2003 pun luput dari agenda. Sebagai bagian dari masyarakat biasa, penulis pun tak habis pikir. Bukankah penguasa dan pejabat negara itu diangkat untuk memimpin dan mengurusi semua urusan rakyat? Mereka pun tak sendiri. Bukankah ada kementerian dan lembaga terkait, hingga pemerintahan daerah terdekat yang sudah semestinya menjalankan masing-masing amanah terkait tupoksinya?
Terlebih ketika kita bawa persoalan ini pada kondisi betapa bermunculannya aliran sesat atau penyimpangan dalam keagamaan tak hanya kasus Al-Zaytun saja. MUI menyebut hingga tahun 2016 saja terdapat lebih dari 300 aliran yang difatwakan sesat dan mereka semua tentu akan melakukan perekrutan jemaah, mengajak pribadi lain ikut dengan kesesatannya (inilah.com, 7/3/2023). Astagfirullah. Sungguh ini sesuatu yang butuh dicari ujung pangkal persoalannya, ada apakah dengan negeri ini.
Jika hendak ditelisik lebih mendalam, lamban, abai dan pembedaan pemerintah dalam menyelesaikan kasus Al-Zaytun sebab utamanya adalah paradigma sekuler di sistem kapitalisme yang dianut negeri ini. Dalam sistem sekuler agama menjadi ranah pribadi dengan kebebasan sebagai pilarnya. Maka bermunculannya aliran sesat atau penafsiran-penafsiran agama oleh siapa pun adalah keniscayaan. Penjagaan akidah pun tak menjadi prioritas dalam pengurusan rakyat.
Kapitalisme memosisikan peraihan hal-hal yang bersifat materi dan manfaat diagungkan melebihi segalanya. Tak mengherankan ketika pun telah diketahui adanya indikasi penyimpangan sejak 2002, namun ketika dilihat ada potensi suara yang dapat dimanfaatkan oleh pihak tertentu untuk penggelembungan suara dalam pemilu (kompas, 1/7/2023), maka pembiaran hingga dugaan backing oleh pihak yang diuntungkan pun bukan perkara mustahil.
Adapun dari sisi warga, dengan adanya kondisi yang serba sulit dalam kehidupan di era kapitalistik menjadikan nalar untuk berpikir ke arah yang lurus tertutupi oleh angan dan harapan kosong sekalipun. Bahwa ketika ditawari kondisi kehidupan lebih baik di masa depan oleh kelompok dengan aliran tertentu, mereka pun mudah tergiur. Ditambah dengan fakta betapa sekularisme menjadikan agama tak mendapat porsi untuk didalami dan dipahami secara menyeluruh oleh umat. Dalam kondisi ini tak sedikit umat yang memiliki pemikiran dangkal dan tak sadar ketika mereka ditawari untuk bergabung dan menganut ajaran sesat dan menyimpang.
Tak demikian dengan sistem Islam. Islam sangat menekankan penjagaan akidah. Hal ini terutama dilakukan oleh institusi negara. Karena baik buruknya rakyat adalah tergantung dengan negaranya. Imam al-Ghazali mengatakan bahwa agama dan negara (kekuasaan) itu ibarat saudara kembar, ia tentu tak boleh dipisahkan layaknya dalam sistem sekuler.
Negara dalam sistem Islam akan menjadikan penjagaan akidah sebagai satu hal yang diutamakan dan menjadi kewajiban penguasa. Hal ini sebagaimana perlakuan tegas dari Nabi Muhammad saw. diteruskan oleh para khalifah sesudahnya ketika didapati munculnya orang-orang yang menyimpang dari sisi akidah dengan mengaku nabi. Di antaranya ada Al-Aswadi al-‘Ansi di Yaman. Ia dikategorikan murtad oleh nabi lantas dengan tegasnya disuruh untuk diperangi.
Di masa pemerintahan Umar bin Khattab didapati Thulhah ibn Khuwailid al-Asadi yang juga mengaku nabi. Tak menunggu waktu lama, negara pun memutuskan untuk menyadarkannya sembari menggelar operasi militer terhadapnya. Hingga pada akhirnya, atas inayah Allah, dirinya meninggalkan pemahaman sesatnya dan kembali menganut akidah Islam yang lurus.
Di masa Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq didapati nabi palsu Musailamah al-Kadzab. Kepongahan dan kedustaannya akan persoalan akidah tak dibiarkan berlarut-larut oleh negara. Di bawah komando Khalid ibn al-Walid, Syarahbil ibn Hasanah, serta Ikrimah ibn Abi Jahal, kesesatan Musailamah bersama pengikutnya pun ditumpas hingga Musailamah terbunuh.
Dari ketiga contoh di atas menjadi bukti betapa penjagaan akidah bagi masyarakat adalah perkara urgent yang menjadi kewajiban negara. Sehingga dengan ketegasan tersebut tidak akan didapati kelompok sesat dan menyimpang bisa hidup, berkembang puluhan tahun hingga merekrut banyak pengikut sebagaimana fakta miris di sistem kapitalisme sekuler.
Namun demikian, jaminan penjagaan akidah oleh negara hanya bisa terselenggara secara sempurna jika nilai-nilai Islam beserta ajarannya yang kafah dijalankan dalam bingkai institusi yang diwariskan Nabi saw. yakni Daulah Khilafah Rasyidah. Wallahualam bissawab.