Oleh : Yuliyati Sambas, S.Pt
Pegiat Literasi Komunitas Penulis Bela Islam AMK
(Arrahmah.com) – Indonesia dikenal sebagai negara agraris, namun dari tahun ke tahun kondisi pertaniannya kian mengkhawatirkan. Kini makin sedikit orang yang mau jadi petani. Beragam problematika membelit bidang ini. Jika dibiarkan tak segera dicari akar permasalahan beserta solusinya maka ke depan tak mustahil Indonesia akan mengalami krisis di bidang pertanian.
Beberapa langkah ditempuh oleh pemerintah untuk keluar dari belitan permasalahan itu. Di masa teknologi kini, pemerintah mengeluarkan kebijakan Program Kartu Tani. Diperkenalkan mulai level nasional hingga menembus daerah-daerah.
Pemerintah Kabupaten Bandung Jawa Barat pun mulai memperkenalkannya. Dipadukan dengan ajakan bagi petani untuk menekuni pemasaran produk via online. Petani didorong melek teknologi.
Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Bandung, Tisna Umaran mengatakan bahwa Kartu Tani dibuat untuk memudahkan. Sebagai tuntutan jaman dalam menjawab permasalahan distribusi dan monitoring oleh pemerintah terkait data real pertanian di lapangan. (dara.co.id, 25/11/2020)
Dalam laman resmi Kementerian Pertanian Indonesia (pertanian.go.id) dipaparkan terkait fungsi Kartu Tani. Ketersediaan data yang lengkap dan akurat dalam Kartu Tani sangat baik bagi banyak pihak. Bagi Kementerian Pertanian dapat dijadikan dasar perumusan kebijakan. Bagi Kementerian Keuangan akan mendukung upaya transparansi penyaluran dana subsidi melalui sistem perbankan. Bagi Pupuk Indonesia menyuguhkan akurasi kebutuhan pupuk hingga level pengecer. Bagi Bulog untuk memproyeksikan potensi panen melalui data tersalurkannya pupuk bersubsidi. Bagi Dinas Pertanian bisa memaparkan produktivitas lahan suatu wilayah.
Dari sekian banyak keunggulan yang ada dalam Kartu Tani diharapkan mampu mengurai sengkarut permasalahan di bidang pertanian. Benarkah demikian?
Sengkarut Problematika Pertanian di Negeri Agraris
Jika ditelisik, sesungguhnya kita akan dapati ada beberapa hal buruk yang terjadi:
Pertama, di level petani. Keterbatasan dana dan relasi pasar kerap menjerumuskan petani pada lingkaran setan alur produksi dan distribusi pertanian.
Keterbatasan dana memunculkan solusi berupa merebaknya rentenir. Hal ini kerap menjebak petani dalam labirin perputaran keuangan modal pertanian yang disolusikan dengan jerat utang riba. Ketika telah terjerat hingga kesulitan untuk melunasinya, tak sedikit yang rela melepas sejengkal demi sejengkal lahan pertaniannya dijual. Posisi sebagai petani buruh pun menjadi pilihan terakhir. Dimana mereka hanya menjadi penggarap lahan yang dimiliki para pemodal besar. Ditambah dengan adanya tren belakangan dimana banyak lahan pertanian yang menjadi destinasi proyek pembangunan infrastruktur pemerintah. Akhirnya mereka berbondong-bondong meninggalkan profesinya dan beralih mengadu nasib menjadi buruh urban.
Sementara minimnya relasi mengakibatkan bermunculannya para tengkulak. Petani seolah dibantu untuk memasarkan produknya namun dengan harga yang sangat rendah. Sementara ketika sampai ke tingkat konsumen justru harganya melambung.
Kedua, di level kebijakan pemerintah. Pencabutan subsidi pupuk dan benih bagi petani di satu sisi, sementara di sisi lain pemerintah malah jor-joran membuka keran impor produk pertanian.
Padahal, meski konon katanya ditemukan banyak kecurangan, tak semestinya pemerintah mencabut kedua subsidi yang sangat dibutuhkan petani itu. Harusnya usut hingga tuntas penyebab munculnya kelangkaan, penggelembungan harga dan ketidakoptimalan terserapnya pupuk dan benih bersubsidi. Bukannya malah dicabut.
Sementara kebijakan tak memihak petani berupa impor produk pertanian selalu dinarasikan dengan alasan ketidakcukupan dan kualitas komoditas pangan atau harga di tingkat internasional yang jauh lebih murah dibanding di tingkat petani dalam negeri.
Kapitalisme Sekuler Pangkal Sengkarut Problem Pertanian
Program Kartu Tani diluncurkan untuk menjadi super hero dalam menyelesaikan sengkarut problematika di atas. Para petani “dipaksa” untuk melek teknologi, sementara sengkarut problematikanya tak diurai hingga ke akarnya. Menjual produk pertanian secara online pun bukan langkah solutif karena faktanya tidak semua petani dalam negeri memiliki gawai dan menguasai pengetahuan teknologi.
Jika mau jujur sesungguhnya lingkaran setan alur produksi dan distribusi pertanian juga problem terkait dukungan kebijakan yang tak memihak petani itu lebih bersifat sistemik. Disebabkan dianutnya sistem kapitalisme demokrasi sekuler di negeri ini.
Sebagai sistem hasil olah pikir manusia, kapitalisme didesain memiliki konsep duniawi oriented. Maka meski menjerat, pinjaman riba terus menjamur. Petani mudah menyambut uluran tangan rentenir meski tahu bakal tercekik. Sementara peringatan dosa ketika mengambil riba itu urusan belakangan. Tak mesti jadi bahan pertimbangan ketika berbicara urusan kehidupan. Khas prinsip sekuler. Terlebih ketika di dalam kartu tani pun tetap dipakai proses perbankan basis ribawi. Maka kondisinya semisal keluar dari mulut rentenir, masuk ke perangkap riba perbankan. Meski boleh jadi dengan bunga lebih ringan, tetap saja riba itu haram. Itu di level petani.
Bermunculannya para pemain dengan kapital besar yang bermetamorfosis menjadi tengkulak merupakan keniscayaan di alam kapitalis. Prinsipnya, siapa punya modal banyak dialah yang kuat dan menang.
Di level pemerintah, kapitalisme mengamanatkan untuk mencabut sedikit demi sedikit dukungan subsidi dalam bentuk apapun bagi rakyat. Karena ia diibaratkan candu dan intervensi tak sehat pemerintah dalam lingkup pasar bebas. Maka meski rakyat dalam hal ini para petani menjerit ketika satu per satu subsidi dicabut, pemerintah cuek saja.
Lebih miris ketika negara manut dengan arahan kapitalisme global, dimana sistem pasar bebas menjadi hal yang wajib diadopsi. Keran impor pun dibuka lebar-lebar untuk masuknya produk made in luar. Petani yang nota bene rakyat sendiri disuruh masuk kancah persaingan tak sehat melawan para pemain bermodal raksasa skala nasional maupun internasional. Pemerintah dalam hal ini hanya bertugas memastikan permaianan kapitalisme global itu bisa berjalan mulus.
Maka berharap Kartu Tani bisa menyelesaikan gurita permasalahan di bidang pertanian ibarat mimpi tak bertepi.
Sebagai sebuah sistem kehidupan, Islam memliki seperangkat solusi jitu atasi setiap problematika yang menimpa manusia. Itu karena ia datang dari Zat yang Maha Pencipta dan Maha Pemberi Aturan terbaik bagi makhluk-Nya.
Islam memandang bahwa pertanian adalah satu perkara mulia, bahkan ada dorongan ruhiyah bagi setiap orang untuk melangsungkannya. Sebagaimana sabda Rasul saw.,
“Tidaklah seorang muslim menanam sebatang pohon (berkebun) atau sebutir biji (bertani), lalu sebagian hasilnya dimakan oleh burung, manusia atau binatang, melainkan baginya ada pahala sedekah.” (HR. Bukhari, Muslim, Tirmidzi, dan Ahmad)
Keberlangsungan pertanian pun wajib dijaga oleh pemerintah sebagai penanggung jawab atas setiap urusan rakyat. Maka Islam mengamanatkan untuk memberlakukan beragam kebijakan pertanian yang terintegrasi dengan sistem ekonomi Islam dan sistem kehidupan lainnya.
Kebijakan pemerintah di bidang pertanian dalam pandangan Islam dimaksudkan untuk meningkatkan produksi pertanian dalam negeri dan menjamin keberlangsungannya. Sehingga kebutuhan rakyat akan pangan dapat terpenuhi. Mulai dari kebijakan intensifikasi pertanian dengan memberi dukungan penuh atas tersedianya dan keterjangkauan petani pada setiap sarana produksi pertanian (saprotan), benih, pupuk dan obat-obatan. Juga pada terciptanya teknologi budidaya dan produksi modern yang efisien untuk disebarluaskan secara masif.
Kebijakan ekstensifikasi pertanian pun adalah amanat Islam atas para pemimpin. Salah satunya berupa kebijakan ihya’ul mawat (menghidupkan lahan mati) guna penambahan luas area tanam dan lahan. Dengan ini, problem lahan terlantar yang biasa terjadi di alam kapitalis saat ini dapat tersolusikan dengan baik. Tak akan lagi ditemukan jutaan hektar lahan tak terurus, namun di saat bersamaan petani yang tak memiliki lahan terus bertambah.
Pembangunan irigasi yang disalurkan ke daerah-daerah tandus juga akan menambah perluasan lahan pertanian dalam negeri.
Semua kebijakan dijalankan dengan penuh kesungguhan oleh negara dengan prinsip pengurusan rakyat yang diyakini kelak akan dipertanggungjawabkan di yaumul akhir. Berupa mekanisme pemberian atau pinjaman tanpa bunga pada setiap rakyat yang membutuhkan.
Dukungan pendanaan diberlakukan pemerintah dari sistem APBN berbasis syariat yakni baitulmal. Sistem ini telah teruji tahan krisis dan cukup untuk men-support setiap kebijakan berbasis syariat. Itu karena pengaturannya bersifat terpusat dan pemasukannya berasal dari harta kekayaan umum dan negara dimana haram pengelolaannya diserahkan pada swasta terlebih asing.
Maka hanya dengan sistem Islamlah, sengkarut problematika pertanian dapat terurai dengan sempurna. Wallahu a’lam bi ash-shawwab.
(*/arrahmah.com)