Oleh: Rina Yulistina
Seperti sulap, bim salabim abrakadabra, minyak goreng yang selama ini langka yang membuat emak-emak rela antri mengular demi dua liter minyak, dalam sekejap hitungan jam tiba-tiba rak di minimarket maupun supermarket full minyak goreng setelah pengumuman kebijakan dicabutnya Harga Eceran Tertinggi (HET). Sangat aneh bukan?
Penuhnya minyak goreng di rak bukan berarti membuat emak-emak, lega namun semakin meradang geram bukan kepalang, harga meroket seperti roket luar angkasa, harga per dua liter minyak kemasan berkisar Rp 46.00-51.000 banyak diantara masyarakat yang beralih ke minyak curah karena harga jauh lebih murah. Namun jika suatu saat subsidi minyak curah dicabut atau minyak curah dihilangkan dari peredaran, entah apa jadinya rakyat.
Sungguh berat hidup di zaman sekarang, pandemi yang tak kunjung usai, kebutuhan pokok terus menanjak naik mulai dari listrik, gas, minyak, lauk-pauk hingga sayur. Bisa dikata rakyat Indonesia adalah rakyat yang paling sabar di seluruh dunia dalam menghadapi kenaikan harga.
Jika di dalam rumah tangga Ibu bisa mengatur pengeluaran minyak goreng dengan mengirit, tapi bagaimana dengan pedagang yang mengandalkan minyak goreng dalam menyajikan hidangannya? Pedagang gorengan misalnya, minyak goreng merupakan biaya tetap yang harus dikeluarkan, jika kondisinya seperti ini pedagang bisa apa? Mau tidak mau harga dinaikan, porsi gorengan dikecilkan, meskipun sudah melakukan seperti itu keuntungan yang didapat pun merosot tajam.
Minyak Goreng dalam Cengkraman Kartel
Berdasarkan data Kemendag minyak goreng telah didistribusikan 551.069 ton atau setara 570 juta liter dalam rentang sebulan terakhir, namun faktanya rakyat mengalami kelangkaan minyak goreng. Usut punya usut Pak Menteri sebenarnya mengetahui penyebab kelangkaan tersebut terjadi adanya praktik curang para mafia minyak goreng. “Jadi kalau keluar dari pelabuhan rakyat, satu tongkang bisa bawa satu juta liter, dikalikan Rp7-8 ribu, uangnya bisa Rp8-9 miliar. Kemendag tidak bisa melawan penyimpangan tersebut,” sambungnya. Dia meminta maaf atas ketidakberdayaan tersebut. Dalam Rapat Gabungan di Gedung Nusantara, Senayan, Jakarta, Selasa (15/3/2022).
Sudah sangat jelas pernyataan tersebut membuktikan bahwa kelangkaan minyak goreng bukan disebabkan oleh ulah emak-emak yang melakukan panic buying tapi memang kelangkaan minyak sengaja ditimbun oleh para kapital untuk keuntungan pribadi. Setelah berton-ton minyak disembunyikan dan ketika pemerintah mencabut HET dipasaran itulah saatnya para kapitalis mengeluarkan timbunan minyak ke pasar, dan boom keuntungan mereka keruk.
Para kapital ini tidak bekerja sendiri melainkan dilakukan oleh sejumlah perusahaan mereka bekerjasama untuk mengendalikan jumlah produksi dan harga untuk mengeruk keuntungan, inilah yang disebut dengan kartel. Namun sayangnya Kemendag hanya meminta maaf karena tak sanggub melawannya.
Ketidaksanggupan Kemendag melawan mafia kartel ini membuktikan bahwa negara telah gagal melindungi hak rakyat. Sangat wajar jika salah satu Anggota Komisi VI DPR RI Amin dilaman resmi dpr.go.id, pemerintah terlihat tak bertaji mengelola krisis minyak goreng yang sudah berbulan-bulan ini. Pemerintah punya semua instrumen untuk menegakkan aturan. Satgas Pangan jangan seperti macan ompong,” tegas Amin di sela-sela mengikuti Rapat Gabungan di Gedung Nusantara, Senayan, Jakarta, Selasa (15/3/2022).
Rakyat sangat sulit percaya dengan kinerja pemerintah karena kasus kartel sebenarnya terjadi terus berulang dari tahun ke tahun pada produk pangan seperti bawang merah, daging sapi, hingga garam. Namun kasus kartel terus dibiarkan meskipun sudah terlihat jelas merugikan rakyat.
Rakyat pun bertanya-tanya ada apa sebenarnya dengan negeri ini? Jika kita telisik kembali politik otoritarian dan kebijakan ekonomi kapitalisme yang berlandaskan pada kebebasan hak milik tanpa kita sadari telah menciptakan manusia rakus dan jahat dalam arus kekuasaan sehingga sangat licin untuk dibersihkan.
Menurut KPPU, saat ini terdapat empat grup produsen raksasa minyak goreng menguasai 46,5% pasar. Mereka ini menguasai usaha hulu-hilir: dari perkebunan, pengolahan CPO hingga pabrik minyak goreng. Dengan pasar oligopolis ini mereka leluasa mendikte pasar.
Hukum di negeri inipun hilang gigi jika berhadapan dengan para konglomerat. Meskipun terdapat pasal yang bisa menjerat para pelaku namun rakyat tak berharap banyak, ditahun 2012 KPPU pernah menghukum 20 pabrik minyak goreng karena terbukti melakukan kartel harga dan melanggar Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 11 UU No. 5/1999 tentang Anti Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Namun di tingkat banding dan kasasi, vonis ini dibatalkan karena bukti-bukti tak langsung dari KPPU tak dikenal dalam hukum acara pengadilan umum. Walaupun, dari keadilan dan kemanfaatan buat publik, vonis KPPU lebih tepat (Wintansari, 2020 dalam bisnis.com, 24/03/2022).
Begitulah jahatnya kapitalisme, pasar bebas yang digadang-gadang menjadi sistem terbaik nyatanya diperuntukan untuk para kapital sedangkan peran negara wajib dikerdilkan, seperti hutan rimba siapa yang kuat dialah rajanya. Sang raja berhak mengambil kekayaan milik umum yaitu milik rakyat. Mau tidak mau rakyat harus menerima kenyataan bahwa negeri ini disetir oleh kepentingan para kapital dan rakyat hanya diperas bagai sapi perah.
Islam Mengatasi kartel
Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda: “Man-ikhtakara fahuwa khaa-ith”. Yang artinya: “Barangsiapa yang menimbun barang (melakukan monopoli), maka ia berdosa”. Imam Nawawi menjelaskan, hadist ini menegaskan bahwa praktik monopoli yang dilarang ialah khusus bagi seseorang yang menimbun komoditi pangan.
Sangat jelas bahwa Islam melarang monopoli dan penimbunan, Islam memiliki konsep yang khas tidak meliberalkan kepemilikan seperti kapitalisme namun juga tidak mengekang kepemilikan seperti sosialisme. Islam mengatur kepemilikan dalam tiga katagori yaitu, kepemilikan individu, umum dan negara. Sedangkan minyak goreng merupakan kepemilikan umum. Dengan pengaturan yang jelas seperti ini maka tidak ada manusia rakus dan jahat yang mengambil yang bukan haknya.
Islam pun mewajibkan peran negara hadir sebagai pengatur dan menjamin kebutuhan rakyat termasuk dalam urusan minyak goreng dari hulu hingga urusan hilir. Dalam hal hulu negara fokus pada peningkatan produksi sawit, sedangkan hilir negara terjun dalam distribusi sehingga tidak ada ceritanya pemerintah kaget ketika minyak langka dan tak tahu kemana perginya minyak goreng.
Islam tidak mengenal pasar bebas, mekanisme pasar di dalam Islam tidak terlepas dari syariat Islam yaitu negara mencegah adanya penimbunan, spekulasi, monopoli dan sederet kecurangan lainnya, negara harus menjamin ketersediaan barang di pasar sehingga perdagangan bisa lancar sedangkan harga merupakan keridhoan antara pedagang dan pembeli, negara tidak boleh mengatur harga.
Terdapat lembaga hisbah yang berfungsi sebagai pengawas, pengontrol dan pemberi sanksi bagi siapapun yang melanggar seperti melakukan penimbunan, monopoli, dan kecurangan lainnya.