JAKARTA (Arrahmah.com) – Kapolri Jenderal Tito Karnavian tegas melarang aksi massa jelang maupun saat pembacaan putusan sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pilpres 2019 di depan Mahkamah Konstitusi (MK) yang dijadwalkan besok (Kamis, 27/6/2019).
Menanggapi larangan Kapolri tersebut, koordinator aksi Gerakan Kedaulatan Rakyat (GKR), Abdullah Hehamahua menegaskan, penyampaian aspirasi di depan umum jelas dijamin pasal 28 UUD 1945.
“Kapolri itu belajar ilmu hukum nggak? Pasal 28 UUD 45 menjamin siapa saja, di mana saja, kapan saja menyampaikan pendapatnya sepanjang itu tidak menimbulkan kerusakan,” jelas Abdullah, Rabu (26/6), lansir RMOL.
Abdullah menegaskan, sejak 14 Juni lalu ketika sidang perdana gugatan Pilpres hingga hari ini, aksi massa kawal MK tetap berjalan damai.
“Tidak ada tabrakan motor pun, tidak ada, pergesekan tidak ada seperti itu,” terangnya.
Kemudian, lanjut Abdullah, aksi damai juga tidak perlu izin kepolisian dan hanya pemberitahuan dalam UU.
“Jadi kita sudah beritahu dari tanggal 14, 18 21, 24, 25 dan hari ini 26 (Juni). Saya ini sarjana hukum, saya ngerti hukum,” jelas eks penasehat Komisi Pemberantasan Korupsi ini.
Kapolri berdalil tidak ingin toleransi dan diskresi yang diberikan Polri disalahgunakan, merujuk kejadian aksi 21-22 Mei lalu di depan Bawaslu Pusat, Jakarta Pusat. Abdullah mengatakan, Kapolri seharusnya intropeksi diri.
“Jam malam kan masyarakat itu kan jam 9 malam sudah selesai tarawih, sudah bubar, sudah pulang masing-masing terus siapa yang buat kerusuhan. Kapolri harus melakukan introspeksi terhadap internalnya. Masa ada anak-anak yang diseret, ditembak, diinjak-injak dan seterusnya, apaan itu,” kritiknya.
Menurut Abdullah, polisi justru merusak citra institusi sendiri jika melakukan hal-hal bertentangan UU.
(ameera/arrahmah.com)