Oleh: Ratih Fitriandani
Aktivis Muslimah
Sudah tak asing lagi saat ini kita mendengar adanya produk yang mengandung nama “tuyul”, “tuak”, “beer”, dan “wine” yang mendapat sertifikat halal. Hal ini sudah diberitakan dan diungkapkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama (Kemenag) yang menegaskan beberapa hal terkait itu.
“Pertama, harus kami jelaskan bahwa persoalan tersebut berkaitan dengan penamaan produk, dan bukan soal kehalalan produknya. Artinya, masyarakat tidak perlu ragu bahwa produk yang telah bersertifikat halal terjamin kehalalannya karena telah melalui proses sertifikasi halal dan mendapatkan ketetapan halal dari Komisi Fatwa MUI atau Komite Fatwa Produk Halal sesuai mekanisme yang berlaku”, kata Kepala Pusat Registrasi dan Sertifikasi Halal BPJPH Mamat Salamet Burhanudin. Hal itu diungkapkan Mamat dalam pernyataan tertulis, Kamis (3/10).
Penamaan sejumlah produk yang memperoleh sertifikasi halal, terutama produk dengan nama yang mengandung unsur yang tidak halal, kini menjadi perbincangan yang sangat mengkhawatirkan. Banyak yang menganggap hal tersebut aman karena bahan-bahannya halal. Selain itu, adanya model deklarasi mandiri, dimana perusahaan mengklaim kehalalan produknya seumur hidup, semakin menimbulkan kekhawatiran mengenai jaminan kehalalan tersebut.
Inilah bentuk sertifikasi halal dalam sistem kapitalis, dimana nama produk tidak dijadikan dasar penentuan kehalalannya. Padahal, nama tersebut sering digunakan untuk produk yang jelas-jelas tidak halal dan masih beredar di pasaran. Hal ini tentu berpotensi menimbulkan kebingungan yang berbahaya, karena masalah halal dan haram dalam Islam merupakan hal yang sangat penting.
Fenomena ini bukanlah hal yang aneh terjadi di negara yang berlandaskan sekulerisme, yaitu pemisahan antara agama dengan kehidupan. Dalam sistem berparadigma sekuler, jelas bahwa perhatian terhadap penjagaan akidah masyarakat, terutama umat Islam menjadi terabaikan. Bukan hanya masalah penamaan yang mencampuradukkan produk halal dan haram, tetapi hingga saat ini pemerintah masih membiarkan produk haram beredar di pasaran. Negara hanya menyediakan layanan sertifikasi halal berbayar untuk membantu umat Islam membedakan antara produk halal dan haram.
Namun, layanan ini diserahkan kepada produsen jika mereka mampu dan bersedia membayar, mereka dapat menggunakan layanan tersebut untuk mendapatkan sertifikat halal. Akan tetapi jika mereka tidak mampu, meskipun produk mereka halal tidak akan pernah mendapatkan sertifikat halal.
Terkait dengan konsumsi, negara cenderung menyerahkan tanggung jawab kepada masing-masing konsumen Muslim. Tidak ada hukum yang mengatur konsumsi produk haram atau produk tanpa sertifikat halal bagi umat Islam. Semua ini menunjukkan bahwa negara dengan paradigma sekuler gagal menjamin kehalalan setiap produk yang dikonsumsi masyarakat. Sebaliknya, negara tampak memanfaatkan sertifikasi halal sebagai peluang bisnis, mengingat ada permintaan yang signifikan dari kalangan Muslim untuk memastikan kehalalan produk yang mereka konsumsi. Kita ingat bahwa proses sertifikasi halal yang dulunya diinisiasi dan dikelola oleh MUI kini telah diambil alih oleh pemerintah.
Hal ini tidak dapat dipungkiri karena sertifikasi halal menjadi sumber keuntungan, mengingat prosesnya yang harus dilakukan secara berkala, bukan hanya di awal. Artinya, pemerintah sekuler yang memberikan label atau sertifikat halal pada suatu produk sebenarnya tidak didorong oleh iman kepada Allah, melainkan oleh faktor ekonomi dan materialistis. Dengan demikian, masalah utamanya adalah kehadiran negara dengan paradigma sekuler yang menghasilkan kebijakan sekuler yang merugikan umat Islam.
Berbeda dengan negara yang berasaskan sekulerisme, negara Islam yang berlandaskan akidah Islam, yakni Khilafah, akan mendasarkan seluruh aturan dan kebijakannya pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Oleh karena itu, negara hadir di tengah-tengah umat sebagai pelaksana syariat Islam, dengan peran penting dalam menjaga dan melindungi umat. Salah satu implikasinya adalah negara memastikan rakyatnya terhindar dari benda dan perbuatan haram.
Sebagaimana diketahui, Islam memiliki aturan rinci mengenai benda atau zat yang dibedakan menjadi halal (yang boleh dikonsumsi) dan haram (yang tidak boleh dikonsumsi). Kehalalan dan keharaman suatu benda atau zat didasarkan pada dalil-dalil syariat, bukan pada akal manusia, manfaat, hawa nafsu, atau nilai material. Sebagai penjaga akidah umat, negara Islam berkewajiban menjamin kehalalan setiap benda yang dikonsumsi oleh masyarakat.
Jaminan ini diwujudkan oleh negara dengan memastikan kehalalan setiap produk yang diproduksi dan didistribusikan. Layanan tersebut merupakan tanggung jawab negara, bukan produsen, sehingga negara memberikan layanan ini dengan biaya murah atau bahkan gratis.
Negara memastikan kehalalan dan kebaikan (thayyib) setiap benda, makanan, dan minuman yang dikonsumsi masyarakat. Para qadhi hisbah akan ditugaskan untuk rutin melakukan pengawasan harian di pasar, tempat pemotongan hewan, gudang pangan, maupun pabrik. Mereka bertugas mengawasi produksi dan distribusi produk untuk memastikan kehalalan dan mencegah terjadinya kecurangan atau penipuan.
Jika terjadi peredaran barang haram di pasaran, baik oleh pelaku yang beragama Islam maupun non-Islam, negara akan memberlakukan sanksi takzir kepada mereka. Sementara itu, bagi ahli dzimmah atau kafir dzimmi, negara mengizinkan mereka untuk mengonsumsi makanan atau minuman sesuai dengan agama mereka. Namun, produk-produk tersebut hanya dapat diperdagangkan di antara mereka, bukan di tempat umum seperti toko atau pasar.
Penerapan syariat Islam oleh negara yang berparadigma Islam tentu akan memberikan ketenangan dalam jiwa seluruh rakyat negara Khilafah, karena umat Islam dijamin keterikatannya dengan syariat Islam secara menyeluruh oleh negara.
Wallahu’alam bissawab