Oleh Ratih Fitriandani
Aktivis Muslimah
Setiap tahun nya permasalahan ibadah haji di negeri ini tak kunjung usai dengan segala polemik yang terjadi. Seperti pada tahun ini yang diberitakan oleh Bisnis.com, “Berbagai pihak mengecam Kementerian Agama sebagai pengelola Ibadah Haji 2024. Penyebabnya, beberapa layanan kepada jemaah haji Indonesia dinilai mengecewakan, terutama saat di Mina. Kritik tajam baru-baru ini datang dari Ketua MPR RI Bambang Soesatyo (Bamsoet). Dia meminta Kementerian Agama (Kemenag) dan Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) untuk bertanggung jawab atas kondisi jemaah haji Indonesia di Mina, Arab Saudi.”
Dalam pelaksanaan ibadah haji tahun 2023, Kementerian Agama menyatakan bahwa Indonesia memperoleh tambahan kuota haji sebanyak 8.000. Dengan tambahan tersebut, total kuota haji untuk Indonesia menjadi 221.000 orang. Kuota ini terbagi menjadi 203.320 untuk jemaah haji reguler dan 17.680 untuk jemaah haji khusus.
Wakil Ketua Komisi VIII DPR sekaligus Anggota Tim Pengawas Haji DPR, Ace Hasan Syadzily, mengungkapkan bahwa terdapat lima permasalahan. Pertama, masalah distribusi makanan bagi jemaah haji saat di Mina. Distribusi makanan yang tidak teratur menyebabkan banyak jemaah kelaparan dan kelelahan.
Kedua, jumlah kamar mandi di Arafah terbatas untuk para jemaah. Jumlah kamar mandi yang tersedia tidak sebanding dengan jumlah jemaah haji, sehingga menyebabkan antrean panjang.
Ketiga, Timwas Haji DPR menemukan masalah dalam akomodasi atau transportasi jemaah haji. Mereka menilai transportasi jemaah haji selama Armuzna tidak dikelola dengan baik. Kasus terlantarnya beberapa jemaah di Muzdalifah dianggap sebagai kesalahan fatal. “Kasus bus Taradudi yang membawa jemaah dari Muzdalifah merupakan salah satu kesalahan fatal dari manajemen pergerakan jemaah yang tidak memiliki mitigasi yang tepat,” ujarnya.
Keempat, fasilitas pelayanan haji untuk lansia seperti kursi roda dan golfcar tidak berjalan optimal. Tidak ada pembatasan usia untuk lansia tahun ini, yang seharusnya dipersiapkan dengan baik.
Kelima, kinerja mashariq yaitu penyedia layanan haji dari Arab Saudi yang dinilai tidak memenuhi komitmen selama di Arafah, Muzdalifah, dan Mina. Terutama dalam hal kapasitas tenda dan kamar mandi yang tidak mencukupi.
Semakin diperburuk keadaan yang terjadi saat para penyelenggara Haji semakin kapitalis dalam kepengurusan nya. Biaya yang tinggi dan antrean yang panjang tidak menjamin pelayanan yang berkualitas bagi jemaah haji. Sistem kapitalisme menghasilkan pelayanan publik dengan standar minimum, bukan premium. Negara hanya berperan sebagai regulator antara rakyat (jemaah haji) dan sektor swasta (perusahaan). Aspek untung-rugi menjadi sangat penting dalam pelayanan ini.
Kapitalisasi terlihat dari kebijakan penggunaan pesawat, di mana dalam kontrak setiap negara pengirim jemaah harus mengalokasikan 50 persen dari penerbangan dengan maskapai Arab Saudi. Menurut Direktur Bina Haji Kemenag, Arsad Hidayat, masalah perpindahan hotel jemaah haji di Madinah disebabkan oleh perubahan konfigurasi tempat duduk pesawat. Ketidakamanahan mashariq sulit untuk diajukan tuntutan hukumnya, sehingga yang dapat dilakukan hanyalah protes. Menag Yaqut Cholil Qoumas menyatakan akan mengirimkan protes kepada pihak mashariq atau perusahaan penyedia layanan haji.
Pemimpinan berbasis nation state semakin menyulitkan dalam menyediakan pelayanan haji yang berkualitas, karena setiap pemimpin memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Dalam konteks ini, sangat penting untuk memiliki satu kepemimpinan tunggal bagi seluruh umat Muslim di seluruh dunia, yaitu dengan menerapkan Islam Kaffah.
Solusi untuk masalah haji saat ini adalah penyelenggaraan haji yang berbasis syariah Islam yang komprehensif. Dalam Islam, kepemimpinan berdasarkan syariat Islam melalui sistem Khilafah, yang merupakan satu kepemimpinan untuk seluruh dunia, menjadi solusi yang ideal. Sistem ini memudahkan pengaturan pelayanan ibadah haji karena bertujuan untuk memelihara agama dan mengatur dunia. Oleh karena itu, penyelenggaraan haji harus dijalankan secara optimal dan berkualitas.
Ketika Islam menjadi negara penyelenggara ibadah haji, sistem Islam akan mengimplementasikan kebijakan-kebijakan berikut:
Pertama, akan membentuk departemen khusus yang bertanggung jawab atas semua urusan terkait ibadah haji dan umrah, baik di tingkat pusat maupun daerah yang tersentralisasi. Tujuan utamanya adalah untuk memudahkan persiapan, pembimbingan, pelaksanaan selama di tanah suci, hingga kepulangan para calon haji. Departemen ini juga akan bekerja sama erat dengan departemen kesehatan dan transportasi untuk memberikan pelayanan terbaik kepada calon jemaah haji.
Kedua, dalam sistem Islam akan menetapkan besar kecilnya Ongkos Naik Haji (ONH) berdasarkan biaya yang sesungguhnya dikeluarkan oleh calon jemaah haji, yang disesuaikan dengan jarak wilayahnya dari tanah suci. Biaya akomodasi yang diperlukan juga akan dianggap sebagai tanggung jawab negara dalam melayani urusan jemaah haji dan umrah, bukan hanya berorientasi pada keuntungan bisnis semata. Sistem Islam juga akan melarang menggunakan dana haji untuk investasi atau untuk pembangunan infrastruktur lainnya.
Namun, sistem Islam diperbolehkan untuk membangun sarana transportasi massal yang dapat digunakan oleh calon jemaah haji, dengan pembiayaan yang berasal dari Baitulmal, bukan dari dana haji itu sendiri. Sebagai contoh, Khalifah ‘Abdul Hamid II dari Khilafah Utsmaniyah membangun sarana transportasi massal dari Istanbul, Damaskus, hingga Madinah untuk mengangkut jemaah haji. Sebelumnya, pada masa Khilafah ‘Abbasiyyah di bawah Khalifah Harun Ar-Rasyid, jalur haji dari Irak hingga Hijaz (Makkah-Madinah) dibangun dengan pos layanan umum di setiap titiknya yang menyediakan logistik, termasuk menggunakan dana zakat bagi yang kehabisan bekal.
Ketiga, sistem Islam merupakan satu kesatuan wilayah di bawah satu kepemimpinan dan satu negara. Oleh karena itu, sistem Islam akan menerapkan kebijakan penghapusan visa untuk ibadah haji dan umrah, karena semua jemaah dianggap sebagai warga negara yang dapat bebas masuk dan keluar Mekkah-Madinah tanpa perlu visa. Mereka hanya perlu menunjukkan kartu identitas seperti KTP atau paspor. Visa hanya akan diperlukan bagi non-Muslim yang merupakan warga negara dari negara non-Muslim, baik itu kafir harbi hukman maupun fi’lan.
Keempat, sistem Islam memiliki kewenangan untuk mengatur kebijakan kuota haji dan umrah. Tujuannya adalah agar keterbatasan tempat tidak menjadi hambatan bagi calon jemaah haji dan umrah untuk melaksanakan ibadah mereka.
Dengan demikian, sistem Islam akan memperhatikan beberapa hal terkait pengaturan ibadah haji. Pertama, kewajiban ibadah haji dan umrah hanya berlaku untuk sekali seumur hidup. Kedua, kewajiban ini berlaku bagi mereka yang memenuhi syarat dan memiliki kemampuan finansial. Calon jemaah yang memenuhi syarat dan memiliki kemampuan finansial namun belum pernah melaksanakan haji dan umrah akan diprioritaskan.
Pengaturan ini akan berjalan dengan baik karena tentunya sistem Islam memiliki database lengkap tentang seluruh rakyatnya, sehingga dapat dilaksanakan dengan mudah dan efektif. Persiapan logistik seperti makanan, minuman, kamar mandi/WC, dan transportasi harus dipersiapkan secara matang oleh negara. Hal ini diperlukan agar jemaah dapat menjalankan ibadah haji dengan tenang dan nyaman.
Wallahu’alam bis shawab