(Arrahmah.com) – Surat al-Kahfi terdiri 110 ayat. Di dalamnya termuat 4 kisah, yang dengan merenunginya, mampu mengantar pembaca insyaallah kepada lima pelajaran penting dalam kehidupan. Kelima hal itu adalah syarat bagi siapa pun yang mengimpikan menjadi manusia terbaik pengukir sejarah kebaikan di bumi Allah ini.
Kisah pertama, adalah kisah Ashabul Kahfi yang berarti para penghuni gua. Kisah ini dimulai pada ayat ke-9 sampai ke-26. Akan tetapi inti kisah ini terdapat di ayat 13 dan 14 yang artinya,
نَحْنُ نَقُصُّ عَلَيْكَ نَبَأَهُمْ بِالْحَقِّ إِنَّهُمْ فِتْيَةٌ آمَنُوا بِرَبِّهِمْ وَزِدْنَاهُمْ هُدًى. وَرَبَطْنَا عَلَى قُلُوبِهِمْ إِذْ قَامُوا فَقَالُوا رَبُّنَا رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ لَنْ نَدْعُوَ مِنْ دُونِهِ إِلَهًا لَقَدْ قُلْنَا إِذًا شَطَطًا.
“Kami kisahkan kepadamu (Muhammad) cerita ini dengan benar. Sesungguhnya mereka adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka, dan Kami tambah pula untuk mereka petunjuk. Dan Kami meneguhkan hati mereka diwaktu mereka berdiri, lalu mereka pun berkata, “Tuhan Kami adalah Tuhan seluruh langit dan bumi; Kami sekali-kali tidak menyeru Tuhan selain Dia, Sesungguhnya Kami kalau demikian telah mengucapkan Perkataan yang Amat jauh dari kebenaran.” (QS. Al-Kahfi : 13-14)
Mereka adalah para pemuda yang beriman. Yang teramat sadar bahwa masa muda adalah masa berkumpulnya dua kekuatan, kekuatan fikriyah (pemikiran) dan jasadiyah (fisik). Sehingga alangka naif dan bodohnya bila dua potensi ini diabaikan dan dibiarkan berlalu tanpa makna berarti. Lihatlah ashhaabul kahfi, sebelum mereka mengasingkan diri ke gua demi menjaga dan mempertahankan aqidahnya, mereka dengan dua kekuatan itu, digunakan untuk menyuarakan kebenaran dan menegakkan kalimat tauhid sekalipun konsekuensinya harus berhadapan dengan kelaliman penguasa. Ringkasnya, pelajaran penting dari kisah ini adalah Pemuda dan Iman. Karena kepemudaan akan menjadi sia-sia, tak berarti, tanpa adanya iman yang membingkai dua kekuatan yang ada padanya.
Kisah kedua, mengenai Shaahibul Jannatain (Pemilik dua kebun). Kisahnya dimulai dari ayat ke- 32 sampai ayat ke-44. Inti sarinya terdapat di ayat ke-35 dan ke-36,
وَدَخَلَ جَنَّتَهُ وَهُوَ ظَالِمٌ لِنَفْسِهِ قَالَ مَا أَظُنُّ أَنْ تَبِيدَ هَذِهِ أَبَدًا. وَمَا أَظُنُّ السَّاعَةَ قَائِمَةً وَلَئِنْ رُدِدْتُ إِلَى رَبِّي لأجِدَنَّ خَيْرًا مِنْهَا مُنْقَلَبًا.
“Dan dia memasuki kebunnya sedang dia zalim terhadap dirinya sendiri, ia berkata: “Aku kira kebun ini tidak akan binasa selama-lamanya, dan aku tidak mengira hari kiamat itu akan datang, dan jika sekiranya aku kembali kepada Tuhanku, pasti aku akan mendapat tempat kembali yang lebih baik dari pada kebun-kebun itu”. (QS. Al-Kahfi : 35-36)
Maksudnya, pemilik dua kebun itu jatuh pada kekafiran karena keingkarannya akan nikmat Allah atasnya, dan tidak beriman kepada hari kiamat. Tak heran bila ia merendahkan saudara muslim yang menasehatinya agar bertaubat, kembali kepada Allah penguasa tunggal atas segala sesuatu. Kisah ini mengajarkan kepada kita pentingnya Harta dan Iman. Betapa harta akan menjadi musibah, malapetaka yang menghinakan pemiliknya di dunia dan di akhirat bila iman tidak mewarnai visi dan misi mencari harta.
Kisah ketiga, adalah Musa alaihihissalam menuntut ilmu kepada Haidir ‘alaihissalam. Tepatnya adalah perjalanan Nabi Musa a.sdalam mencari hakikat ilmu dan berguru kepada Haidir a.s yang dimulai dari ayat ke- 60 sampai ayat ke- 82. Inti dari kisah ini bahwa ilmu itu milik Allah. Dan Allah memberi ilmu dan memuliakan manusia dengan ilmu bagi siapa yang Ia kehendaki. Kiarena itulah, betapa tidak layaknya setiap yang diberi ilmu merasa sombong, merasa dirinya lebih hebat, lebih pintar, lebih berilmu dari yang lain. Sejatinya, ketundukan dan keimanan kepada Allah yang ilmu-Nya meliputi segala sesuatu harus menjadi karakter utama orang yang berilmu. Menjadi seorang yang semakin tawadhu, ridha dan tawakkal atas apa yang menjadi ketentuan Allah atasnya. Karena itulah pelajaran dari rangkaian kisah ini adalah pentingnya Ilmu dan Iman. Betapa ilmu tanpa iman bagaikan memelekkan mata dalam kegelapan tanpa sedikitpun cahaya. Bagai pisau yang berada di tangan orang yang tak berakal, berbahaya dan sangat berbahaya. Rakyat semakin miskin dan menderita, etika dan moral semakin terkikis, keamanan semakin menipis, bila dirunut akarnya adalah ulah sebagian manusia yang pintar namun tidak beriman kepada Allah.
Terakhir adalah kisah Dzul Qarnain yang berarti pemilik dua tanduk. Kisahnya dimulai dari ayat ke- 83 sampai ayat ke- 98. Intisari kisahnya adalah di ayat 86 s.d. 88,
حَتَّى إِذَا بَلَغَ مَغْرِبَ الشَّمْسِ وَجَدَهَا تَغْرُبُ فِي عَيْنٍ حَمِئَةٍ وَوَجَدَ عِنْدَهَا قَوْمًا قُلْنَا يَا ذَا الْقَرْنَيْنِ إِمَّا أَنْ تُعَذِّبَ وَإِمَّا أَنْ تَتَّخِذَ فِيهِمْ حُسْنًا. قَالَ أَمَّا مَنْ ظَلَمَ فَسَوْفَ نُعَذِّبُهُ ثُمَّ يُرَدُّ إِلَى رَبِّهِ فَيُعَذِّبُهُ عَذَابًا نُكْرًا. وَأَمَّا مَنْ آمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا فَلَهُ جَزَاءً الْحُسْنَى وَسَنَقُولُ لَهُ مِنْ أَمْرِنَا يُسْرًا.
“… Kami berfirman: “Hai Dzulkarnain, kamu boleh menyiksa atau boleh berbuat kebaikan terhadap mereka dengan mengajak mereka pada iman. Berkata Dzulkarnain: “Adapun orang yang dhzalim, Maka Kami kelak akan mengazabnya, kemudian dia akan dikembalikan kepada Tuhannya, lalu Tuhan mengazabnya dengan azab yang tidak ada taranya. Adapun orang-orang yang beriman dan beramal saleh, maka baginya pahala yang terbaik sebagai balasan, dan akan kami titahkan kepadanya (perintah) yang mudah dari perintah-perintah kami”. (QS. Al-Kahfi : 86-88)
Pelajaran yang bisa digali dari kisah Dzul Qarnain adalah pentingnya kekuasaan dipegang oleh orang yang bertauhid, yang memiliki kesadaran penuh bahwa kedudukan dan kekuasaan adalah amanah yang kelak akan dipertanggung jawabkan di hadapan Allah. Bukan ajang euforia, pamer harta, merasa memiliki starata tinggi di mata manusia, apalagi ajang kesombongan. Dengan kesadaran akan hak dan kewajiban penguasa dilandasi nilai-nilai iman dan Islam akan terjadi keadilan dan sebab tersebarnya kebaikan. Karena itulah menjadi pemimpin bukan tercela, bukan musuh yang harus dijauhi oleh ummat Islam. Bahkan ia menjadi salah satu ciri hamba Allah ar-Rahman yaitu menjadi pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa dalam upaya menegakkan risalah Islam dan dakwah. Ciri ini tertuang di surat al-Furqan ayat 74. Bahwa ciri hamba Allah ar-Rahman adalah yang selalu berdoa agar Allah menjadikannya pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa. Jadi, pelajaran pentingnya adalah Kekuasaan dan Iman. Tanpa iman kekuasaan akan melenceng dari sifat asalanya yaitu melindungi dan mengayomi, sebaliknya menjadi binatang buas yang siap menerkam siapa saja yang menghalangi kepentingan kekuasaan itu.
Dari rangkaian kisah di surat al-Kahfi, minimal lima kekuatan yang mutlak harus dimiliki oleh Islam dan kaum Muslimin dalam upaya merealisasikan kebenaran, menggetarkan musuh-musuh Islam, dan meraih keberhasilan hidup di dunia dan di akhirat. Lima kekuatan itu adalah :
Kekuatan dan keberanian masa Muda yaitu perpaduan antara kekuatan ruhani, akal dan jasmani.
Kekuatan perekonomian, modal atau harta yang menjadi sarana terlaksananya akifitas dakwah, dan mudahnya urusan Islam dan kaum muslimin. Misalnya dengan membudayakan infak, sedekah, zakat, wakaf, pajak dlsb.
Kekuatan Ilmu untuk mengenali, meluaskan, dan menerapkan kebenaran di setiap lini kehidupan masyarakat. Bagai sinar matahari yang selain mengusir kegelapan juga memberi manfaat bagi makhluk dan alam semesta.
Kekuatan kekuasaan berupa penerapan hukum-hukum yang sejalan dengan prinsip Islam, dan ketegasan di dalam menindaki setiap oknum yang bersalah tanpa pandang bulu. Serta perhatian yang besar dalam mensejahterahkan masyarakat baik secara materi ataupun non materi.
Kekuatan Iman berupa fitrah Islam atau aqidah atau tauhid yang menjadi kekuatan mutlak harus ada di setiap lini, sisi, potensi, jiwa, langkah, pergerakan, warna, pemikiran, tindakan dan ucapan baik yang nampak atau tersembunyi, materi atau non materi, besar atau kecil.
Semoga Allah menjadikan sisa umur yang membangun lamanya hari kehidupan kita di dunia ini bermanfaat bagi Islam dan kaum muslimin. Memberi peluang, kemudahan dan aplikasi dalam mengukir sejarah peradaban manusia dengan tinta emas kebaikan dan kemulian, hingga keberkahan umur kita dirasakan oleh mereka yang terlahir sebagai generasi selanjutnya. Allahu Akbar… Allahu Akbar… Allahu Akbar.
Oleh : Samsul Basri, S.Si, M.E.I/Wahdah
(*/Arrahmah.com)