KAIRO (Arrahmah.com) – Pencalonan mantan kepala intelijen era Hosni Mubarak merupakan penghinaan terhadap revolusi Mesir, dan jika itu berhasil, maka akan memicu pemberontakan nasional kedua, kandidat presiden dari kubu Ikhwanul Muslimin mengatakan.
Dalam komentar publik pertamanya sejak dicalonkan oleh Ikhwanul pada tanggal 31 Maret lalu, Khairat al-Shater berusaha untuk meminimalisasi kekhawatiran munculnya bentrokan antara gerakan Islam dan para jenderal militer yang telah memerintah Mesir sejak Mubarak digulingkan tahun lalu.
Namun dia memperingatkan Ikhwan tidak akan mengembalikan dana pinjaman darurat senilai $ 3,2 miliar dari IMF yang diminta oleh pemerintah militer kecuali persyaratan berubah atau pemerintah mundur dan memungkinkan pemerintahan baru mengawasi bagaimana dana itu dibelanjakan.
Dalam wawancara dengan Reuters pada hari Minggu (8/4/2012), pengusaha jutawan yang berusia 61 tahun itu mencela detik-detik keputusan mantan kepala intelijen, Omar Suleiman, untuk merebut posisi mantan bosnya. Mubarak pun pernah menjadikan Suleiman sebagai wakil presiden sebelum kehilangan kekuasaan.
“Saya menganggap hal itu sebagai masuknya penghinaan terhadap revolusi dan rakyat Mesir,” kata Shater. “Omar Suleiman telah membuat kesalahan besar. Dia hanya akan menang melalui pemalsuan dan jika ini terjadi, revolusi akan dimulai kembali.”
Dewan militer, yang mengambil alih dari Mubarak pada Februari tahun lalu, mengatakan akan menyerahkan kekuasaan kepada sipil setelah pemilihan presiden yang dijadwalkan akan digelar pada bulan Mei dan Juni. Lebih dari 20 kandidat telah menyelesaikan syarat-syarat formalitas untuk mencalonkan diri sebagai kepala negara.
Dukungan dari mesin kampanye Ikhwanul Muslimin membuat Shater langsung melejit dalam pemungutan suara. Sementara, media melansir bahwa Suleiman adalah kuda hitam yang terbukti masih memiliki pengaruh politik yang besar melalui dikumpulkannya 30.000 tanda tangan dari pemilih yang ia butuhkan untuk menjalankan persaingan. (althaf/arrahmah.com)