KAIRO (Arrahmah.id) – Kampanye boikot besar-besaran yang menargetkan penjualan produk-produk Barat di tengah perang “Israel” melawan Palestina yang sedang berlangsung di Jalur Gaza semakin massif di Mesir, sebagaimana yang dilaporkan The New Arab.
Namun, banyak yang berpendapat bahwa boikot tersebut telah menimbulkan kerugian besaar pada perekonomian nasional dan pasar kerja di negara Afrika Utara itu yang sudah lemah karena sebagian besar produk Barat, terutama makanan dan minuman, diproduksi secara lokal berdasarkan sistem waralaba yang menggunakan bahan-bahan lokal.
Pada Kamis (2/11/2023), Federasi Kamar Dagang Mesir (FEDCOC) meminta warga dalam pernyataan resminya untuk menghentikan gerakan boikot, yang telah berdampak buruk pada bisnis lokal.
“[Perusahaan-perusahaan ini] beroperasi di bawah sistem waralaba, mempekerjakan puluhan ribu orang Mesir, membayar pajak dan asuransi sosial ke Kas Negara… waralaba Mesir menyumbang kurang dari satu persen volume bisnis merek-merek yang masuk daftar hitam,” pernyataan tersebut membaca.
Boikot, Divestasi, Sanksi (BDS), sebuah gerakan yang dipimpin Palestina yang menyerukan pemboikotan merek-merek “Israel” dan perusahaan lain yang mendukung negara Zionis, dalam beberapa pekan terakhir telah memasukkan sejumlah perusahaan ke dalam daftar hitam yang perlu diboikot.
McDonald’s “Israel” telah memicu situasi ini setelah mereka memberikan sumbangan makanan dan diskon kepada tentara “Israel” menyusul pertempuran “Israel”-Hamas yang sedang berlangsung yang telah merenggut nyawa ribuan warga Palestina, sehingga memicu kemarahan masyarakat Mesir dan Arab pada umumnya.
Tidak populer lagi
McDonald’s Mesir, menyatakan dukungannya terhadap perjuangan Palestina, menyumbangkan jutaan pound.
Namun upaya waralaba Amerika untuk menenangkan masyarakat tidak menghentikan masyarakat Mesir untuk menentang restoran cepat saji yang pernah menjadi favorit tersebut.
Saat mengunjungi cabang McDonald’s setempat di Jalan Giza-Wahat, sebelah barat ibu kota Kairo, seorang pekerja yang bekerja pada shift malam akhir pekan, yang biasanya tingkat pengunjungnya paling ramai, mengaku kepada TNA bahwa bisnis berjalan seperti biasa. Namun, hanya ada satu orang yang datang pada waktu itu.
Di restoran cepat saji Amerika populer lainnya, Hardee’s, koresponden TNA adalah satu-satunya tamu yang memesan makan malam, juga pada malam akhir pekan.
Sebagian besar restoran Barat, dalam beberapa hari terakhir, memberikan penawaran dan diskon khusus untuk menarik pelanggan. McDonald’s saat ini menawarkan kopi ukuran rata-rata seharga 20 pound Mesir (US$0,65) dan Ice Cream Cone yang terkenal ini dengan setengah harga.
Dulunya merupakan salah satu kedai kopi paling disukai di kota, Starbucks yang awalnya berasal dari Amerika, hampir sepi pengunjung pada Jumat pagi (3/11), hari pertama akhir pekan di Mesir, di mana tingkat kunjungan selalu tertinggi. Seorang pekerja di sana mengatakan kepada koresponden TNA sambil membuatkannya cappucino putih panggang ukuran sedang bahwa “hidup tidak sama dengan tiga pekan lalu.”
Kampanye yang sedang berlangsung juga menyebabkan produk lokal memperoleh lebih banyak keuntungan. Sebuah sumber di merek soda lokal Spiro Spathis mengatakan kepada TNA, tanpa mau disebutkan namanya, karena khawatir akan pekerjaannya, bahwa perusahaan tersebut telah beroperasi sepanjang waktu selama dua shift, bukan satu shift, sejak kampanye boikot membuahkan hasil dan orang-orang mulai melakukan aksi boikot, sehingga produk soda lokal lebih dicari daripada merek Amerika.
Penjualan perusahaan melonjak sebesar 350 persen selama beberapa pekan terakhir, lapor outlet berita lokal.
Di kota Alexandria, Mediterania, orang-orang baru-baru ini melakukan protes di luar beberapa cabang McDonald’s, yang akhirnya menyebabkan cabang tersebut tutup.
Di lingkungan Maadi di Kairo, beberapa aktivis menggambar grafiti yang mewakili perjuangan Palestina di dekat cabang McDonad’s di sana, yang menyebabkan beberapa pekerja di restoran tersebut ribut dengan para pengunjuk rasa.
Namun, pengguna media sosial lainnya mengolok-olok kampanye yang mempromosikan produk-produk berkualitas rendah dan bukan merek asing yang biasa digunakan orang.
Di sisi lain, beberapa perusahaan dan restoran lokal meluncurkan inisiatif secara online, menawarkan pekerjaan kepada pekerja yang diberhentikan oleh perusahaan-perusahaan Barat untuk mendapatkan upah yang kompetitif.
“Situasinya agak problematis. Apa yang terjadi justru menguntungkan produksi lokal dan merugikan perusahaan waralaba, sementara keduanya sama-sama memberikan suntikan dana ke perekonomian nasional,” kata peneliti ekonomi Ahmed Hamy kepada TNA.
“Boikot ini mulai menggugah opini publik mengenai suatu tujuan. Namun singkatnya, hal ini akan terus berlanjut karena beberapa alasan lain, termasuk meningkatnya inflasi dan berlanjutnya konflik “Israel”-Palestina,” prediksi sosiolog politik terkemuka Mesir, Said Sadek kepada The New Arab. (zarahamala/arrahmah.id)