Seprai tipis memberikan sedikit kenyamanan kepada Naima Abu Asar dan tiga putri remajanya, mereka tinggal di halaman salah satu rumah sakit tersibuk di Jalur Gaza.
Keluarga tersebut kini menyebut sebuah kamp yang terletak di rumah sakit Al Shifa sebagai rumah, mereka berbaring di tanah yang keras di luar rumah sakit saat staf ambulans terburu-buru menangani pasien dan anggota keluarga mereka terlihat panik
memeriksa apakah orang yang mereka cintai masih hidup.
“Sekolah-sekolah (penampungan) sudah penuh dengan keluarga yang berlindung. Satu-satunya pilihan untuk keselamatan kami adalah di sini, di rumah sakit,” ujar Naima kepada Al Jazeera.
“Hidup di sini sudah keras, namun ‘Israel’ mencoba untuk menghancurkan kami lebih banyak setiap harinya,” ujarnya menambahkan bahwa tenda keluarga mereka terbuat dari seprai rumah sakit dan potongan plastik, tidak melindungi mereka dari terik musim panas atau dinginnya malam.
Naima dan ketiga putrinya hidup dalam kompleks berdinding rumah sakit Al Shifa dengan puluhan keluarga lain, dengan total ratusan orang. Mereka masih mengenakan pakaian yang sama yang mereka kenakan ketika mereka melarikan diri dari pemboman
di dekat rumah mereka di Shujayea, pemukiman di timur kota Gaza yang menderita serangan “Israel” paling luas pada bulan Juli.
“Aku tidak bisa mengambil apa-apa dari rumah. Semuanya hancur,” ujar putri Naima, Yasmine yang berusia 15 tahun. “Kami hanya berhasil lolos dari penembakan, namun penembakan itu membunuh beberapa tetangga kami. Kami sangat beruntung bisa
lolos dengan pakaian di punggung kami.”
“Kami tidak bisa menemukan tempat yang lebih aman atau tidak terlalu sesak,” tambah Naima, sementara seorang pria tua di tenda darurat sebelah menimpali bahwa “Israel” telah membom rumah sakit Gaza juga.
Tidak seperti warga Palestina yang berlindung di PBB atau fasilitas yang dikelola pemerintah, keluarga Abu Asar dan lainnya yang tinggal di kamp darurat di Al Shifa mendapatkan sedikit dukungan, hanya mengandalkan pejalan kaki yang terkadang berbagi makanan dan perlengkapan lainnya dengan mereka.
PBB memperkirakan bahwa sekitar 365.000 warga Palestina hidup di kamp PBB dan tempat penampungan darurat pemerintah saat sedikitnya 16.800 rumah hancur atau rusak parah sejak serangan “Israel” dimulai pada 8 Juli lalu.
Sedikitnya 1.980 warga Palestina telah gugur dan hampir 10.200 lainnya terluka dalam agresi militer “Israel”, menurut Kementerian Kesehatan Gaza.
Kefah al-Harazeen (25), dari Shujayea mengatakan : “Bahkan selama gencatan senjata, seperti sekarang, saya tahu rumah saya sebagian dibongkar, dengan banyak struktur batu berubah menjadi debu dan pasir yang bisa dihancurkan di atas kepala kita.”
Duduk di kakinya, dua anaknya yang masih kecil memiliki kutu dan ruam kulit, karena sudah hampir satu bulan mereka tidak mandi, ujar al-Harazeen. Dia sekarang menggunakan pot kecil diisi dengan air dari bangsal bersalin rumah sakit untuk membersihkan anak-anaknya.
“Aku tidak pernah tinggal di tanah seperti ini sebelum pengeboman. Sekarang, virus menyebar di antara anak-anak kami sementara kami semua berlindung di rumah sakit dan masih mencoba untuk tetap bersih,” ungkap al Harazeen.
“Kami tidak bisa masuk ke sekolah-sekolah PBB dan sekarang kami merasa dikecualikan dari setiap bantuan, makanan atau air,” tambahnya.
Chris Gunnes, juru bicara UNRWA untuk pengungsi Palestina engatakan kelompok tersebut tidak membedakan siapa pun di Gaza.
“Ini adalah kebijakan UNRWA untuk tidak membedakan siapa pun, apakah pengungsi atau bukan, sementara ada keadaan darurat di Gaza seperti yang kita lihat saat ini. Kami membantu orang-orang atas dasar kebutuhan,” ujar Gunnes Al Jazeera.
87 sekolah UNRWA saat ini sedang digunakan sebagai tempat penampungan darurat di Gaza.
Amal Alaraer (46), tinggal di rumah sakit Al Shifa bersama sembilan anggota keluarga, termasuk suami dan anak yang keduanya menderita luka ketika pasukan Zionis menembaki sebuah pasar lokal di Shujayea, membunuh 17 orang dan melukai 200 lainnya.
“Kami duduk di kotak obat kardus dari rumah sakit Shifa,” ujar Alaraer, ketika ia mempersiapkan tempat untuk tidur anak- anaknya untuk satu malam lagi. Alaraer mengatakan kepada Al Jazeera bahwa keluarganya mencoba pindah ke lima sekolah PBB
yang terpisah dan digunakan sebagai tempat penampungan, namun setelah melihat kondisi penuh sesak dan kekurangan sumber daya dasar, dia memutuskan untuk pergi ke rumah sakit sebagai gantinya.
“Kami menyerah dan datang ke sini, di mana keluarga saya juga berlindung,” ujarnya. “Anak-anak menggigil dari udara malam yang dingin. Ini menyakitkan bagi saya sebagai seorang ibu bahwa saya tidak bisa membuat mereka cukup hangat.”
Meskipun gencatan senjata berlaku selama lima hari sejak 13 Agustus, Alaraer mengatakan dia terlalu takut untuk kembali ke rumah.
“Kami ingin gencatan senjata jangka panjang,” katanya. “Bukan hanya gencatan senjata ini sebagai jeda dan kemudian terjadi lagi tembakan dari tank ‘Israel’ dan rudal.” (haninmazaya/arrahmah.com)