Oleh: Ima Susiati
(Mahasiswi Univ. Darul Lughah Al Azhar Cairo Mesir)
(Arrahmah.com) – Bagi seorang muslim, kemajuan pendidikan Barat tidak akan menyilaukan mata hati. Karena di dalam Islam, pendidikan dikatakan mampu mencetak generasi terbaik adalah ketika output pendidikan mampu memiliki pola pikir dan pola sikap yang sesuai dengan aturan Sang Pemilik Kehidupan, Allah ‘azza wa jalla yakni bersyakhsyiyah Islam. Sebagaimana surat Raja Inggris Goerge II kepada Khalifah Hisyam III, bahwa: Keunggulan pendidikan di masa Khilafah, membuat banyak pihak mempercayai keluarganya untuk dididik dalam sistem pendidikan Khilafah. Termasuk Raja di Eropa yang mengirim keluarganya untuk belajar di Daulah Khilafah, seperti yang tampak dalam surat dari George II, Raja Inggris, Swedia dan Norwegia, kepada Khalifah Hisyam III di Andalusia Spanyol. Kutipan surat tersebut antara lain: ”Setelah salam hormat dan takdzim, kami beritahukan kepada yang Mulia, bahwa kami telah mendengar tentang kemajuan yang luar biasa, dimana berbagai sekolah sains dan industri bisa menikmatinya di negeri yang Mulia, yang metropolit itu. Kami mengharapkan anak-anak kami bisa menimba keagungan yang ideal ini agar kelak menjadi cikal bakal kebaikan untuk mewarisi peninggalan yang Mulia guna menebar cahaya ilmu di negeri kami, yang masih diliputi kebodohan dari berbagai penjuru.”
Di masa kegemilangannya, Islam mampu menjadikan dunia bangkit dari seluruh aspek. Kebangkitan tersebut bukan saja dalam bidang politik, namun juga di bidang ekonomi, kesehatan, pendidikan, teknologi dan sebagainya. Hingga mampu membuat dunia Barat merebut kegemilangan umat Islam ketika kondisi umat Islam mengalami kemunduran yang justru itulah yang mendukung keberhasilan negara-negara baru di Eropa. Kemajuan-kemajuan Eropa yang saat ini ‘seolah’ membius sebenarnya tidak dapat dipisahkan dari peran Islam saat menguasai Spanyol.
Dari Spanyol yang menerapkan Islam itulah Eropa banyak menimba ilmu pengetahuan. Ketika Islam mencapai masa keemasannya, kota Cordoba dan Granada di Spanyol merupakan pusat-pusat peradaban Islam yang sangat penting saat itu dan dianggap menyaingi Baghdad di Timur. Ketika itu, orang-orang Eropa Kristen, Katolik maupun Yahudi dari berbagai wilayah dan negara banyak belajar di perguruan-perguruan tinggi Islam di sana. Islam menjadi “guru” bagi orang Eropa. Mereka dapat hidup dengan aman penuh dengan kedamaian dan toleransi yang meskipun ada berbagai agama yang tunduk pada Islam waktu itu.
Penduduk keturunan Spanyol dapat diklasifikasikan dalam tiga kategori, yaitu: Pertama, kelompok yang telah memeluk Islam; Kedua, kelompok yang tetap pada keyakinannya tetapi meniru adat dan kebiasaan bangsa Arab, baik dalam bertingkah laku maupun bertutur kata; mereka kemudian dikenal dengan sebutan Musta’ribah, dan Ketiga, kelompok yang tetap berpegang teguh pada agamanya semula dan warisan budaya nenek moyangnya. Tidak sedikit dari mereka, yang nonmuslim, menjadi pejabat sipil maupun militer, di dalam kekuasaan Islam Spanyol. Mereka pun mendapat keleluasaan dalam menjalankan ibadah mereka tanpa diganggu atau mendapat rintangan dari penguasa muslim saat itu, sesuatu yang tidak pernah terjadi sebelumnya saat penguasa Kristen memerintah Spanyol.
Seperti yang dikatakan oleh Will Durant di dalam bukunya, The Story of Civilization, bahwa: “Para Kholifah telah memberikan keamanan kepada manusia hingga batas yang luar biasa besarnya bagi kehidupan dan usaha keras mereka. Para Kholifah telah mempersiapkan berbagai kesempatan bagi saiapun yang memerlukannya dan meratakan kesejahteraan selama berabad-abad dalam luasan wilayah yang belum pernah tercatatkan lagi fenomena seperti itu setalah masa mereka”.
Sepanjang kehidupan Islam, sudah terbukti bahwa kejayaan Islam dalam penerapannya mampu membuat dunia yang awalnya ‘jahiliyah’ tentang memaknai kehidupan mampu diubah oleh Islam hingga ujung dunia. Namun, dunia saat ini berbeda ketika yang menjadi pemimpin adalah Kapitalisme yang diemban oleh Amerika, Inggris dan antek-anteknya. Kiblat dunia pendidikan pun beralih kepada mereka bahkan umat Islam juga tak ketinggalan saling berlomba-lomba untuk mengejar pendidikan di Barat.
Seperti halnya yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia yang bekerjasama di bidang pendidikan dengan Australia. Indonesia mengirimkan beberapa guru untuk ‘menuntut’ ilmu dari negeri Kanguru ini. Program ini antara lain berupa kunjungan guru-guru dari Indonesia untuk belajar pengembangan profesi bagi tenaga pendidik. Pelatihan ini difokuskan pada aspek Manajemen Sekolah dan Kepemimpinan.
Tidak hanya itu, bahkan Luthfi Asy Syaikani, salah seorang pendiri Jaringan Islam Liberal (JIL) mengatakan bahwa “…begitu banyak ajaran-ajaran dan nilai-nilai yang selama ini saya dapatkan di dalam Islam, justru saya temukan aplikasinya di Australia. Misalnya dalam hal kebersihan, ketertiban, keamanan, dan lain-lain. Nilai-nilai tersebut kan semuanya merupakan ajaran yang sejak kecil selalui dicekoki kepada kita. Tapi sayangnya, justru itu tidak kita temukan di banyak Negara yang mengklaim sebagai Negara muslim mayoritas…”
Ini adalah fenomena piramid es yang sedang menimpa umat Islam, selain kemunduran yang dialami, ditambah banyak sekali pemikiran-pemikiran yang merusak keluar dari seorang muslim sendiri. Statement-statement yang disampaikan pun sebenarnya merusak dan memperparah kondisi umat. Bagaimana mungkin saat ini umat Islam bangga dengan kehidupan di Barat, sedangkan sejarah membuktikan bahwa Barat bangkit karena jasa umat Islam pada waktu itu yang mereka rebut dan hancurkan secara paksa, tentu tidak lupa sejarah bukan.
Bagaimana mungkin umat Islam bangga dengan kehidupan Barat yang ‘katanya’ lebih bersih, tertib, disiplin sedangkan mereka, Barat, tidak menjadikan aqidah Islam sebagai standar mereka dalam keseharian. Sebersih apapun Barat, selama tidak menjadikan Islam sebagai ‘maqayis’ yakni standar dalam kehidupan, maka tak aka nada nilainya di hadapan Allah. Lalu, hal semacam inikah yang harus diambil oleh umat Islam. Tentu tidak.
Namun, justru dengan kemunduran yang saat ini menimpa umat Islam, umat Islam wajib untuk kembali menerapkan aturan-aturan Allah serta mencampakkan sistem Kapitalisme-sekulerisme. Karena dalam masa lebih dari 13 abad lebih, Islam mampu menguasai dunia dengan peradabannya, seperti halnya Islam di Spanyol, umat Islam telah mencapai kejayaannya di sana. Banyak prestasi yang mereka peroleh, bahkan, pengaruhnya membawa Eropa dan kemudian dunia, kepada kemajuan yang lebih kompleks.
Spanyol adalah negeri yang subur sebagaimana awal Islam di Madinah. Kesuburan itu mendatangkan penghasilan ekonomi yang tinggi dan pada gilirannya banyak menghasilkan pemikir. Masyarakat Spanyol Islam merupakan masyarakat majemuk yang terdiri dari komunitas-komunitas Arab (Utara dan Selatan), al–Muwalladun (orang-orang Spanyol yang masuk Islam), Barbar (umat Islam yang berasal dari Afrika Utara), al-Shaqalibah (penduduk daerah antara Konstantinopel dan Bulgaria yang menjadi tawanan Jerman dan dijual kepada penguasa Islam untuk dijadikan tentara bayaran), Yahudi, Kristen Muzareb yang berbudaya Arab dan Kristen yang masih menentang kehadiran Islam. Semua komunitas itu, kecuali yang terakhir, memberikan saham intelektual terhadap terbentuknya lingkungan budaya Andalusia yang melahirkan kebangkitan ilmiah, sastra, dan pembangunan fisik di Spanyol yang luar biasa memukau.
Lantas apa lagi yang dibanggakan oleh umat Islam terhadap Barat dalam hal pendidikannya. Pendidikan Barat yang saat ini maju adalah berkat jasa umat Islam dari seluruh aspek kehidupan. Tidak perlu bangga dengan Barat, justru umat Islam wajib curiga dengan apapun yang datang dari Barat. Barat tak henti-hentinya menghancurkan umat Islam melalui perang pemikiran (al ghazw al fikr) dan perang politik (al ghazw as siyasiyah).
Umat Islam sudah dimuliakan oleh Allah dengan Al-Qur’an dan As Sunnah. Yang dengan keduanya seharusnya menjadikan umat Islam kembali berjaya sebagaimana dulu para sahabat yang dididik langsung oleh Rasulullah saw sehingga mampu bangkit kembali dari tidurnya yang panjang. Kembali menjadikan kesibukan umat Islam untuk senantiasa tahu siapa musuh sebenarnya yang merusak umat hingga mengalami kondisi seperti saat ini. Wallahu ‘aliim.
(*/arrahmah.com)