YAOUNDE (Arrahmah.id) – Pihak berwenang Kamerun mendeteksi dua kasus dugaan penyakit Marburg pada Senin (13/2/2023) di Olamze, sebuah komune di perbatasan dengan Guinea Khatulistiwa, kata delegasi kesehatan masyarakat untuk wilayah itu, Robert Mathurin Bidjang, Selasa (14/2).
Guinea Khatulistiwa secara resmi mengumumkan wabah pertama virus Marburg, penyakit yang mirip dengan Ebola, pada Senin (13/2).
Negara tetangga, Kamerun tetangga telah membatasi pergerakan di sepanjang perbatasan untuk menghindari penularan menyusul laporan demam berdarah mematikan yang tidak diketahui di Guinea Khatulistiwa pekan lalu.
“Pada 13 Februari, kami memiliki dua kasus yang dicurigai. Ini adalah dua anak berusia 16 tahun, laki-laki dan perempuan, yang tidak memiliki riwayat perjalanan sebelumnya ke daerah yang terkena dampak di Guinea Khatulistiwa,” kata Bidjang pada pertemuan di Ibu kota Kamerun, Yaounde.
Empat puluh dua orang yang melakukan kontak dengan kedua anak tersebut telah diidentifikasi dan pelacakan kontak sedang berlangsung, tambahnya.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan sebelumnya pada Selasa (14/2) bahwa mereka meningkatkan pengawasan epidemiologisnya di Guinea Khatulistiwa.
Negara kecil di Afrika Tengah itu sejauh ini telah melaporkan sembilan kematian serta 16 dugaan kasus penyakit virus Marburg, dengan gejala termasuk demam, kelelahan, muntah berlumuran darah, dan diare, menurut WHO.
“Pengawasan di lapangan telah diintensifkan,” kata George Ameh, perwakilan negara WHO di Guinea Khatulistiwa.
“Pelacakan kontak, seperti yang Anda ketahui, adalah landasan respons. Kami telah mengaktifkan kembali tim COVID-19 yang ada di sana untuk pelacakan kontak dan dengan cepat menyesuaikan mereka untuk benar-benar membantu kami.”
Guinea Khatulistiwa mengarantina lebih dari 200 orang dan membatasi pergerakan pekan lalu di provinsi Kie-Ntem, tempat demam berdarah pertama kali terdeteksi.
Virus Marburg adalah penyakit yang sangat menular yang dapat memiliki tingkat kematian hingga 88%, menurut WHO. Belum ada vaksin atau perawatan antivirus untuk mengobatinya.
“Kami sedang mengerjakan rencana respons 30 hari di mana kami harus dapat mengukur tindakan dan kebutuhan yang tepat,” kata Ameh.
Dia menambahkan bahwa otoritas negara tidak melaporkan kasus baru yang dicurigai dalam 48 jam terakhir. (zarahamala/arrahmah.id)