Oleh : Laila Thamrin
Praktisi Pendidikan, Revowriter
Masyarakat kembali dibuat geger beberapa hari ini. Tersebab berita penodaan seorang perempuan muda berusia 18 tahun oleh ayah kandungnya. Tak hanya ayahnya, dua saudara laki-lakinya juga ikut menodai.
Sebagaimana dilansir oleh detiknews.com, kasus ini terjadi di Lampung, tepatnya Kabupaten Pringsewu. Tak hanya sekali para lelaki yang merupakan mahrom si korban, melakukan perbuatan bejat ini, namun beratus kali sejak tahun 2018 silam. Alasan sang ayah, karena istrinya telah meninggal dunia setahun lalu. Sedangkan dua saudara laki-lakinya beralasan tak mampu mengendalikan syahwatnya sejak sering menonton video-video porno. Maka jadilah saudara perempuannya, yang juga menyandang disabilitas, menjadi sasaran ketiga lelaki sedarahnya ini.
Kasus inses (Inggris : incest) bukan perkara baru. Peristiwa ini sering kita dapati dalam atmosfir kehidupan Kapitalistik Sekuler seperti saat ini, dimana kebebasan individu menjadi ciri khasnya. Mereka hanya berpikir tentang kenikmatan jasadiyah yang hanya sesaat. Bebas mencari kenikmatan tersebut, termasuk dalam masalah seks. Karenanya, seks bebas menjadi biasa. Bahkan bebas melakukannya dengan saudara kandungnya, dengan anak gadisnya, atau dengan ibunya sendiri. Selama mereka suka sama suka, tak jadi soal.
Parahnya, gaya hidup bebas seperti ini menjadi panutan kaum muslimin. Tersebab atmosfir Kapitalis telah menyelimuti seluruh negeri-negeri Islam di dunia ini. Hingga kaum muslimin terkungkung di dalamnya. Ditambah lagi, aqidah Islam yang dimiliki sebagian besar mereka ini telah goyah dari dasarnya. Akibatnya, pegangan pada syariat pun semakin rapuh. Apalagi hukum Islam dan sanksi bagi yang melanggarnya tak lagi diterapkan. Tentu saja, kaum muslimin semakin gamang dan mudah terjerumus dalam kubangan kemaksiatan.
Inses, Mengapa Bisa Terjadi?
Jika kita cermati kasus inses ini bisa terjadi karena beberapa hal, diantaranya, pertama, faktor internal berupa dorongan biologis yang tinggi. Misalkan, karena telah lama ditinggal oleh istri, si ayah akhirnya mencari pelampiasan syahwatnya pada anak sendiri, yang dirasa “lebih aman.” Atau terpapar tayangan video porno, hingga memerlukan penyaluran untuk memuaskannya. Maka, perempuan sedarah menjadi pilihannya. Kedua, faktor eksternal. Ada banyak hal yang bisa mempengaruhi incest terjadi dari luar. Diantaranya, faktor ekonomi, rendahnya tingkat pendidikan dan pengetahuan, lemahnya pemahaman agama, dan pengaruh budaya luar. Keempatnya bisa saling terkait.
Kala kehidupan ekonomi keluarga yang sulit, terkadang rumah yang ditempati kecil. Tidur berjejal dalam satu ruangan sempit kerap terjadi. Ayah dan anak perempuan, atau ibu dengan anak bujangnya, atau saudara laki-laki dan perempuan tidur bersisian dalam satu ruangan. Maka rangsangan seksual bisa saja terjadi. Ditambah rendahnya pendidikan dan pengetahuan membuat mereka makin terseret lebih jauh. Apalagi jika siraman nilai-nilai agama sangat minim. Jadilah maksiat dilakukan tanpa merasa beban.
Tambahan lagi, digitalisasi komunikasi mempermudah siapapun mengkonsumsi pornografi dan pornoaksi hanya dari jari-jemarinya. Karena telpon genggam mengajarkan banyak hal pada semua orang. Tak hanya hal positif, negatif juga. Hingga hal tersebut bisa mendorong hasrat seksualnya meningkat dan minta dipenuhi.
Beginilah yang terjadi dalam sebuah masyarakat yang rusak dalam sistem Kapitalisme. Berbagai maksiat merajalela. Bahkan zina menjadi biasa. Yang teramat miris, saudara sedarah pun ikut dimangsa. Wajar saja, banyak pihak menjadi geram dan bereaksi. Seperti Pakar Psikolog Forensik, Reza Indragiri Amriel, dalam pernyataannya di riaumandiri.co (24/2/2019), perlakuan tersebut immoral dan illegal. Bahkan tak hanya bertentangan dengan moral, tapi hukum tentang hal tersebut sudah ada di Indonesia.
Sementara Arist Merdeka Sirait, Ketua Umum Komnas Perlindungan Anak, meminta Kapolres Tanggamus menerapkan dan menjerat pelaku hubungan sedarah alias inses di Pringsewu dengan dengan UU RI Nomor 17 Tahun 2016 tentang perubahan kedua atas UU RI Nomor 33 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dengan ancaman minimal 10 tahun penjara dan maksimum 20 tahun. Bahkan hukuman terhadap pelaku dapat ditambahkan dengan hukuman 1/3 dari pidana pokoknya dan terancam hukuman tambahan berupa “Kastrasi” yakni Kebiri dengan suntik kimia. (radarbogor.id, 25/2/2019)
Meski hukum yang ada dianggap sudah layak, namun kenyataannya belum mampu memberikan efek jera bagi pelaku yang terciduk. Bahkan, tidak bisa mencegah orang lain akan berbuat hal serupa. Alhasil, kemaksiatan terus melenggang dengan mudahnya. Tanpa pelakunya merasa beban dosa kian bertambah saat mereka terus mengulangi kelakuan buruknya.
Menelisik Hukum Islam Soal Inses
Menurut Wikipedia, incest atau Inses, yang disebut juga dengan hubungan sumbang adalah hubungan saling mencintai yang bersifat seksual yang dilakukan oleh pasangan yang memiliki ikatan keluarga (kekerabatan) yang dekat, biasanya antara ayah dengan anak perempuannya, ibu dengan anak laki-lakinya, atau antar sesama saudara kandung atau saudara tiri. Jika kita mengacu pada faktor internal dan eksternal munculnya kasus ini, maka Islam telah sempurna mengantisipasinya.
Dalam negara Islam, anak-anak sudah dikenalkan dengan perkara halal dan haram sejak dini. Termasuk tentang pergaulan antara laki-laki dan perempuan. Tentang aurat yang harus dijaga diantara laki-laki dan perempuan ini. Juga pemahaman tentang siapa itu mahram (orang yang haram dinikahi), menjadi salah satu bagiannya.
Sebagaimana Allah Swt berfirman, “Janganlah kalian mengawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, kecuali pada masa yang telah lalu. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji, dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh). Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara ayahmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan, ibu-ibumu yang menyusui kamu, saudara-saudara perempuanmu sesusuan, ibu-ibu istrimu (mertua), anak-anak perempuan dari istrimu (anak tiri) yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengany istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu (menikahinya), (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu), dan (diharamkan) mengumpulkan (dalam pernikahan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (TQS. an-Nisa[4] : 22 – 23)
Selain itu, pandangan tentang keharaman zina juga diedukasi secara masif kepada kaum muslimin. Agar mereka memahami dan bersegera untuk menjauhinya. Karena inses berkaitan dengan aktivitas seks yang pengaturannya dalam Islam sangat tegas. Laki-laki dan perempuan yang ingin memuaskan syahwatnya harus melalui lembaga perkawinan terlebih dahulu. Dimana semua itu dilaluinya dengan berbagai syarat dan ketentuan yang ditetapkan syariat. Jika mereka melakukannya tanpa ikatan yang halal, maka terkategori zina.
Sebagaimana yang disampaikan Allah Swt dalam firman-Nya, “Janganlah kalian mendekati zina. Sesungguhnya zina itu adalah perbuatan keji dan cara (pemenuhan seksual) yang buruk.” (TQS. al-Isra’ [17]: 32)
Tak hanya sampai di situ. Allah juga telah memberikan sanksi yang tegas bagi para pelaku zina. Allah Swt berfirman, “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, deralah masing-masing dari keduanya seratus dali deraan, dan janganlah rasa belas kasihan kepada keduanya mencegah kalian untuk (menjalankan) agama Allah jika kalian mengimani Allah dan Hari Akhir. Hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.” (TQS. an-Nur [24] : 2)
Jelas sekali pada ayat tersebut bahwa Allah memberikan sanksi kepada pelaku zina, baik laki-laki maupun perempuan, dengan cambukan (jilid) jika mereka ghair muhshan (belum menikah), dan dirajam (dilempari dengan batu hingga mati) jika mereka muhshan (sudah menikah).
Hal ini dikuatkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau bersabda, “Ambillah dariku, ambillah dariku. Sesungguhnya Allah telah memberi jalan yang lain kepada mereka, yaitu orang yang belum menikah (berzina) dengan orang yang belum menikah, (hukumnya) dera 100 kali dan diasingkan setahun. Adapun orang yang sudah menikah (berzina) dengan orang yang sudah menikah (hukumnya) dera 100 kali dan rajam.” (HR Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah, dari ‘Ubadah bin Ash Shamit)
Keimanan seorang muslim merupakan perkara utama yang harus tertancap dalam dirinya. Agar dia kuat berpegang pada syariat Allah. Kontrol masyarakat pun mutlak diperlukan agar kehidupan tetap berjalan di atas rel syariat-Nya. Karenanya, saling menasihati antaranggota masyarakat merupakan ciri khas istimewa masyarakat Islam.
Tak cukup hanya itu, peran negara sebagai pengawas sekaligus yang bertanggung jawab penuh atas semua rakyatnya sangat urgen. Karena negara lah yang berperan besar dalam menjaga aqidah umat, menjaga kehormatannya, sekaligus menjaga tiap-tiap jiwa kaum muslimin agar senantiasa dalam koridor Islam. Tanpa melenceng atau pun menyalahi aturan-Nya.
Oleh sebab itu, sinergisitas individu, masyarakat dan negara sangat diperlukan demi penegakan syariat Islam dan memperkokoh persatuan umat.
Sudah saatnya kini kita kembali pada aturan Islam yang hakiki. Yang mampu menjaga dan melindungi umat dari berbagai keburukan yang beredar di sekelilingnya. Dan hanya syariat Islam yang mampu menyelesaikan kasus inses ini, sekaligus menghilangkannya dari kehidupan kaum muslimin.
Wallahua’lam bish shawwab.
(ameera/arrahmah.com)