(Arrahmah.id) – Penghambaan ada 2 macam: Pertama ubudiyyah secara umum (ammah).
Allah berfirman dalam surat Maryam 93: “Tidak ada satu pun di langit dan di bumi, kecuali mereka akan datang kepada (Allah) dalam keadaan dia seorang hamba.”
Seluruh makhluk yang ada di bumi ini merupakan seorang hamba, dia mukmin atau pun kafir.
Dalam hadits qudsi, Allah berfirman: “Wahai hamba-hambaKu, sesungguhnya kalian berada di dalam kesesatan, kecuali mereka yang Aku beri hidayah, maka mintalah hidayah kepadaKu, dan akan Aku beri kalian hidayah.”
Lafadz ubudiyah di ayat tersebut secara umum, seluruh hamba-hamba Allah.
Kedua, ubudiyyah khashah (secara khusus).
Al Furqan 63: “Dan hamba-hamba Ar Rahman, merekalah orang-orang yang berjalan di atas muka bumi ini dalam keadaan rendah hati.”
Lafaz “ibadurrahman” di ayat ini adalah ubudiyyah khusus. Karena semua orang di muka bumi ini tidak berjalan dengan rendah hati, hanyalah mereka orang-orang yang beriman yang melakukannya.
Az Zukhruf 68-69: “Wahai hamba-hambaKu tidak ada ketakutan bagi kalian pada hari ini, dan tidak juga bersedih hati.”
Lafaz “‘ibadiy” ini termasuk ubudiyyah khusus.
Ubudiyyah khusus untuk menunjukkan kemuliaan orang-orang beriman. Allah menyebutkan sifat-sifat mereka, ketika Allah menyebutkan sifat-sifat mereka, Allah sedang menguji mereka.
Allah SWT telah menguji hamba-hambanya yang beriman, dan salah satu sifat yang diuji adalah mereka berdoa dengan perkataan mereka: “Rabbana hablana min azwajina wa dzurriyatina qurrota a’yun.”
Doa ini adalah doa orang-orang yang beriman, yang mana Allah menguji mereka karena mereka membaca doa ini dalam doa-doa mereka.
Kenapa Allah menyandarkan lafaz “ibad” kepada ar Rahman? Itu menunjukkan bahwasanya mereka mempunyai bagian yang sangat besar dari rahmat Allah SWT.
Rabbana
Ar-Rabb dalam bahasa Arab mempunyai 3 makna utama:
1. Al Malik (penguasa)
2. As Sayyid (pemimpin)
3. Al Mudabbir (yang Maha Mengatur segala sesuatu)
“Sungguh Allah mempunyai nama-nama yang husna maka berdoalah kepada Allah dengan nama-nama tersebut.”
Di antara sifat-sifat orang beriman adalah mereka bertawassul, berdoa dengan nama-nama Allah.
Jika kita perhatikan, doa-doa para Nabi dan Rasul dalam Qur’an, mereka menggunakan lafadz “Rabbi”.
Al Qashash 16: “Wahai Rabb ku, sesungguhnya aku telah menzalimi diriku sendiri, maka ampunilah aku.”
Di sini nabi Musa bertawwasul dengan dua hal, pertama dengan asma Allah, yang kedua beliau merendahkan diri di hadapan Allah (aku telah menzalimi diriku sendiri).
Maryam 4: “Wahai Rabb ku, sesungguhnya tulang-tulangku telah melemah, dan rambutku telah beruban, dan aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada-Mu, ya Rabb ku.”
Al Qashash 24: “Maka dia (Musa) memberi minum (ternak) kedua perempuan itu, kemudian dia kembali ke tempat yang teduh lalu berdoa, Ya Tuhanku, sesungguhnya aku sangat memerlukan sesuatu kebaikan (makanan) yang Engkau turunkan kepadaku.”
Doa nabi Musa setelah mengambilkan air kepada dua orang perempuan.
Dan masih banyak doa-doa lain oleh para Anbiya yang menyebutkan kata “ar Rabb”.
Kenapa para Anbiya sering menggunakan kata “ar rabb”?
Karena rububiyah (pengaturan) itu ada 2:
1. Rubibiyah ammah. Pengaturan Allah secara umum. Maksudnya Allah mengatur seluruh apa yang ada di muka bumi ini, apa yang ada di dalam alam semesta ini.
2. Rububiyah khas. Allah mengatur hamba-hambanya yang beriman, dengan memberikan mereka keyakinan terhadap tanda-tanda kebesaran Allah. Bagaimana Allah menjaga orang-orang beriman dari makar orang-orang kafir.
Dua bentuk rububiyah ini ada dalam firman Allah Al A’raf 120.
Penyihir Fir’aun saat kalah terhadap nabi Musa mengatakan: “Kami telah beriman kepada Rabb nya Musa dan Harun.”
Rububiyah umum: Rabb semesta alam
Rububiyah khas: Rabb Musa dan Harun
Mereka berdoa dengan lafaz ar rabb, karena benar-benar yakin penjagaan Allah terhadap mereka. Saat mereka yakin, Allah benar-benar akan menjamin rejeki dan keselamatan mereka, dan mereka yakin Allah akan mengabulkan doa-doa mereka.
Hablan (karuniakanlah kepada kami)
Di antara nama Allah adalah al Wahab, yang Maha Memberikan Karunia.
“Wahai Rabb kami berikanlah kepada kami dari pasangan-pasangan kami dan keturunan kami penyejuk mata kami.”
Pasangan yang shalih dan keturunan yang shalih tidak akan didapatkan kecuali taufik dari Allah, maka dari itu kita berdoa kepada Allah meminta penyejuk mata. Para ulama mengatakan salah satu nikmat terbesar di dunia ini adalah keturunan dan pasangan yang shalih. Di antara sifat orang beriman adalah berdoa meminta kepada Allah pasangan dan keturunan yang shalih.
Ketika berdoa meminta kepada Allah untuk menjadikan keturunan dan pasangan yang shalih, pada dasarnya kita meminta keshalihan diri.
Doa kedua:
“Waj’alna lil muttaqina imama” (dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa).
Seorang pemimpin harus memiliki sifat-sifat, ketulusan, kejujuran, kebaikan, dermawan dan lainnya. Ketika kita berdoa meminta menjadi pemimpin orang bertakwa, pada dasarnya kita meminta pada Allah taufik kepada kita seluruh sifat kebaikan. Sejatinya kita meminta taufik kepada Allah untuk seluruh kebaikan.
Ibnul Qayyim rahimahullah membawakan perkataan para ulama tentang arti pemimpin orang bertakwa:
“Jadikanlah kami orang-orang yang diteladani dalam kebaikan” (Ibnu Abbas rahimahullah).
“Jadikanlah kami orang yang diteladani petunjuk kami.” (Abu Shalih rahimahullah)
“Jadikanlah kami pemimpin-pemimpin dalam hal ketakwaan sehingga orang-orang yang bertakwa juga mengikuti kami.” (Makhul rahimahullah)
Mujahid rahimahullah: “Jadikanlah kami orang-orang yang mengikuti orang-orang yang bertakwa.”
Pendapat keempat sedikit berbeda.
Ibnul Qayyim berkata: “Dan tafsiran Mujahid rahimahullah membuat bingung orang-orang yang belum mengetahui betapa dalam pemahaman para salaf, dan betapa dalam keilmuan mereka.”
Mereka yang bingung dengan penafsiran Mujahid ini, mengatakan berarti Mujahid menafsirkan secara terbalik, dan berarti ada yang terbalik dalam ayat Qur’an.
Ibnul Qayyim menjelaskan: Tafsiran Mujahid ini menunjukkan dalamnya pemahaman al Imam Mujahid, karena seseorang tidak bisa menjadi pemimpin orang-orang yang bertakwa kecuali dia telah mengikuti orang-orang bertakwa sebelumnya.
Wajib bagi kita mengikuti orang-orang bertakwa sebelum kita.
“Mujahid rahimahullah menjelaskan bagaimana cara kita untuk menjadi pemimpin bagi orang yang bertakwa, yaitu dengan mengikuti orang bertakwa sebelum kita, ini adalah salah satu pemahaman terbaik dalam Qur’an.”
Bukan hanya meminta kepada Allah untuk menjadikan kita pemimpin, namun sebelum itu ada sebab, bagaimana kita meneladani orang bertakwa sebelumnya.
“Maka barang siapa yang mengikuti ahlu sunnah sebelumnya, maka dia akan jadi pemimpin ahlu sunnah setelahnya.”
Itu maksud dari firman Allah “Waj’alna lilmuttaqina imama”.
Kenapa Allah menggunakan lafaz tunggal/mufrad (imama)? -jamaknya aimmah- Ibnul Qayyim menjelaskan mengapa tidak menggunakan lafaz jamak.
Beliau membawakan tiga pendapat:
1. Imam di sini adalah jamak dari aammun. Ini pendapat yang lemah, karena bahasa ini jarang dipakai oleh orang-orang Arab. Dan al Qur’an ditafsirkan menggunakan bahasa yang sering dipakai oleh orang Arab asli (mahsyur).
2. Imam di sini adalah masdar bukan isim. Pendapat kedua ini lebih lemah dari pendapat pertama.
3. Lafaz mufrad (tunggal), namun maksudnya adalah jamak. Beliau membawakan contoh dari perkataan Musa dan Harun ketika menghadap Fir’aun: “Kami adalah Rasul Rabb alam semesta.” Rasulun itu mufrad, padahal yang datang dua orang, Nabi Musa dan Harun. Begitu juga di dalam firman Allah “waj’alna lilmuttaqina imama”, tunggal tapi maksudnya jamak. Pendapat ini dikuatkan oleh Imam Ibnul Qayyim.
Kenapa Allah menggunakan lafaz tunggal dalam ayat ini? Karena mereka berada di dalam satu jalan, mereka mengikuti satu nabi dan mereka hamba-hamba dari Rabb yang satu, maka mereka adalah satu kesatuan yang semuanya adalah pemimpin. Seakan-akan mereka adalah orang yang satu yang menjadi pemimpin untuk orang setelahnya.
Bukan seperti pemimpin-pemimpin kelompok sesat yang saling berpecah belah, karena pondasi agama mereka berbeda-beda, ada yang menggunakan akal, perasaan dan lain-lain.
Perkataan sangat indah Abul Mudzafar: “Apabila kamu melihat perkataan para salaf di berbagi negara, entah itu ulama dahulu atau pun sekarang, jika kalian melihat kitab-kitab mereka, kalian akan melihat aqidah mereka satu, tidak ada yang berbeda.”
Mereka benar-benar mengikuti sunnah Nabi shalallahu alaihi wasallam dan firman Allah subhanahu wata’ala.
Ketika Allah telah memberikan keberkahan pada diri para Salaf, setiap perkataan dan perbuatan mereka penuh dengan makna. Keberkahan ulama terdahulu jauh lebih besar dari pada orang-orang sekarang.
Bagaimana kita menjadi pemimpin orang-orang bertakwa? Yaitu dengan mengikuti orang-orang bertakwa sebelumnya.
Semoga Allah memberikan taufik kepada kita dengan berdoa: “Rabbana hablana min azwajina wazurriyatina qurrota ‘ayun, waj’alna lilmuttaqina imama.” (haninmazaya/arrahmah.id)
*Disarikan dari kajian Risalah Ibnul Qayyim oleh Ustadz Syafiq Said hafidzahullah