(Arrahmah.id) – Allah Subhanahu wata’ala berfirman di dalam surat Al Kahfi 28: “Dan bersabarlah engkau (Muhammad) bersama orang yang menyeru Tuhannya pada pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia; dan janganlah engkau mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan keadaannya sudah melewati batas.”
Perintah dan larangan dari ayat ini ditujukan kepada Nabi Muhammad shalallahu alaihi wasallam dan juga berlaku untuk seluruh ummatnya, karena itu kita diperintahkan untuk bersabar kepada orang-orang yang selalu menyeru Allah di pagi dan siang hari.
Sebab turunnya ayat ini yaitu ketika pembesar-pembesar kaum Qurays meminta kepada Nabi Muhammad untuk membuat suatu majelis khusus mereka, dan mereka tidak mau duduk bersama para sahabat Nabi shalallahu alaihi wasallam. Dan mereka tidak ingin majelis mereka dicampur dengan sahabat Nabi, khususnya yang miskin dan lemah. Dan Nabi pun sempat bimbang, maka turun ayat ini yang melarang Nabi menaati perkataan mereka.
Di dalam shahih Muslim, hadist dari Sa’ad bin Waqas: “Dulu kami pernah bersama Nabi sebanyak 6 orang, maka orang-orang musyrik dari pembesar kaum Qurays berkata kepada Nabi: ‘Wahai Muhammad usirlah mereka ini (6 orang tersebut) yang tidak berani melawan kami’.” Saat itu Sa’ad bersama Ibnu Mas’ud dan Bilal, tidak disebutkan 3 orang lainnya. Terlintas sesuatu dalam benak Nabi, berpikir tentang apa yang dikatakan kaum Qurays. Namun Allah memerintahkan Nabi untuk tidak menaati mereka.
Al Hijr 77-78: “Kami telah menurunkan kepadamu wahai Muhammad, tujuh ayat yang diulang-ulang [Al Fatihah], dan juga Al Qur’an. Dan janganlah sekali-kali engkau tujukan pandanganmu kepada kenikmatan dunia, kenikmatan hidup yang telah kami berikan kepada beberapa golongan orang kafir.”
Jadi Allah memerintahkan Nabi untuk bersabar bersama orang-orang miskin yang benar-benar ingin mendapatkan hidayah, dan melarang Nabi untuk menaati orang-orang yang lalai dari dzikir kepada Allah.
Setelah Allah menyebutkan kepada Nabi Muhammad bahwasanya Allah telah memberikan Al Fatihah dan Al Qur’an, kemudian Allah melarang Nabi untuk menujukan pandangan beliau kepada apa yang diberikan kepada orang-orang kafir.
Bahwasanya kita harus bersyukur terhadap apa yang Allah berikan dari ilmu syar’i yang dimiliki. Jangan melihat dunia. Ilmu syar’i yang dimiliki dan hafalan Qur’an itu lebih baik dari harta dunia.
Rizki itu ada 2:
– Rizki yang ditujukan kepada tubuh kita secara dzahir: makanan, harta, dll.
– Rizki yang ditujukan untuk hati: keimanan, ketenangan beribadah, menerima taufik dari Allah, tenang dari berdzikir. Ini adalah nikmat yang lebih besar.
Dan ingatlah firman Allah bahwasanya Allah mengajarkan kepadamu apa yang sebelumnya tidak kamu ketahui. Dan fadilah dari Allah itu sangatlah besar.
Syaikh Muhammad al Amin As Syinqithi, terkadang beliau galau dengan musibah-musibah yang dialami beliau, namun beliau mengingat apa saja yang telah Allah berikan untuk beliau, terutama tentang pemahaman agama, sehingga beliau bisa menulis tafsir Qur’an. Dan hilanglah semua kegalauan beliau.
Maka jika kita dilanda kesedihan dan kegalauan karena penatnya kehidupan, ingatlah nikmat kehidupan yang telah Allah berikan kepada kita, dan nikmatnya ilmu syar’i yang diberikan kepada kita.
Kembali kepada pembahasan risalah Ibnul Qayyim kepada sahabatnya.
Ya Rabb berikanlah kami hidayah dan petunjuk, jalan yang lurus, jalan orang-orang yang telah Engkau beri kenikmatan, dan bukan orang yang Engkau murkai, dan jalan orang yang sesat.
“Barang siapa yang taat kepada Allah dan Rasulnya, maka mereka telah diberikan kenikmatan.”
Ibnul Qayyim menyebutkan bahwasanya betapa butuhnya seorang hamba untuk membaca doa ini: “ihdinashiratal mustaqim”. Dan kita diperintahkan untuk mengingatkan orang-orang awam bahwa ini adalah doa terpenting, bukan hanya sebatas ayat yang harus dibaca dalam shalat.
Berkata Imam Ibnul Qayyim rahimahullah: “Seorang hamba itu membutuhkan hidayah dari Allah di setiap saat dan di setiap nafas yang ia hembuskan, di seluruh perkara yang dia lakukan atau pun ia tinggalkan, karena sesungguhnya dia berada di dalam perkara-perkara yang dia tidak bisa lepas dari perkara tersebut.”
Di sini Imam Ibnul Qayyim menjelaskan kepada kita luasnya makna hidayah. Maka seorang hamba jangan merasa aman terhadap dirinya sendiri, karena dia benar-benar butuh hidayah di setiap nafas yang ia hembuskan.
Al Imran ayat 8: “Wahai Rabb kami, janganlah palingkan hati-hati kami setelah Engkau memberikan kami hidayah, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau, karena sesungguhnya Engkaulah maha pemberi.”
Nabi Muhammad, orang yang paling bertakwa, membaca doa ini, maka kita lebih butuh untuk membaca doa ini.
Ummu Salamah ketika mendengar Rasulullah membaca doa ini: Wahai Rasulullah, apakah benar hati itu dibolak-balikkan? Maka Rasul bersabda: “Tidak ada satu hati pun, kecuali hati tersebut di antara dua jemari dari jari-jemari Allah, Allah membolak-balikkan hati sesuai kehendaknya, apabila lurus maka Allah luruskan dan jika melenceng maka akan Allah belokkan.”
Dinamakan qalbun itu qalbu, karena hati itu sering berbolak-balik.
Bahwasanya kita benar-benar membutuhkan hidayah di segala perkara menurut Imam Ibnul Qayyim:
- Perkara-perkara yang dia lakukan tidak sesuai dengan petunjuk dari Allah, dikarenakan kejahilannya dari hidayah tersebut, karena itu dia memerlukan hidayah dari Allah.
Seseorang melakukan sesuatu tapi tidak di atas jalan hidayah, maka ia membutuhkan hidayah untuk mengetahui petunjuk dari jalan tersebut.
- Atau dia telah mengetahui hidayah yang ada pada perkara tersebut, tapi dia melakukan hal tersebut tidak sesuai dengan hidayah yang dia ketahui.
Dia tahu petunjuk, tapi sengaja tidak dilakukan, malah menyelisihi petunjuk tersebut. Maka dari hal itu, seseorang membutuhkan hidayah untuk taubat dari apa yang telah ia lakukan. Itulah yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi. Punya ilmu tapi tidak mengamalkan.
- Ada perkara-perkara yang dia tidak memiliki petunjuk di dalamnya (ilmu maupun amal).
Orang tersebut tidak mengetahui hidayah ilmu dan hidayah amal, maka dia perlu meminta kepada Allah hidayah ilmu dan amal.
- Perkara-perkara yang dia telah diberikan hidayah oleh Allah dari satu sisi, tapi tidak di sisi yang lainnya, maka dia memerlukan hidayah yang sempurna dari Allah SWT.
Misal, seseorang sudah Allah beri hidayah kepadanya tentang ibadah shalat, dari satu sisi dia telah mengamalkan shalat, tapi sisi-sisi lain, ternyata ada sunnah-sunnah dalam shalat yang dia tidak ketahui, maka dia membutuhkan hidayah untuk melengkapinya.
Jadi hidayah itu ada banyak, hidayah untuk melakukan hal-hal yang wajib, sunnah, meninggalkan maksiat, dll. Hidayah itu diperlukan di setiap perkara yang kita lakukan dan kita tinggalkan.
- Ada perkara-perkara yang dia telah diberi hidayah oleh Allah untuk melakukan hal-hal pokok, tapi tidak perincian dari pokok tersebut.
Misal seseorang sudah diberi hidayah tentang tauhid, tapi dia tidak mengetahui perincian tauhid, apa saja bentuk-bentuk tauhid. Maka dari itu dalam kitab tauhid karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab, beliau menyebutkan tauhid yang berkaitan dengan amalan dan tauhid yang berkaitan dengan lafaz. Contoh: meminta pertolongan (isti’anah) harus kepada Allah.
- Dia telah diberikan oleh Allah hidayah untuk menuju jalan yang benar, sehingga telah berada di jalan yang benar, tapi dia membutuhkan jalan yang lain. Hidayah menuju jalan itu berbeda dengan hidayah di atas jalan yang benar.
Imam Ibnul Qayyim menyebutkan contoh: Bukankah kamu telah melihat seseorang yang telah mengetahui bahwasanya jalan menuju kota A itu lewat sini, tapi dia tidak pandai untuk melewati jalan tersebut, sebab berjalan di rute tersebut butuh petunjuk yang lain.
Fulan tahu rute dari Jakarta ke Bogor, tapi dia tidak mengerti kapan cocoknya untuk melewati rute tersebut, apakah malam hari, pagi hari atau sore hari, dia tidak tahu jam-jam yang sering macet. Untuk melewati jalan tersebut, dia perlu petunjuk yang lain.
Itulah maksud al Imam Ibnul Qayyim.
Kita tahu telah diberi Allah hidayah tentang sunnah, tentang aqidah yang benar, dan kita tahu hal paling baik adalah berdakwah kepada Allah. Tapi untuk berdakwah, perlu petunjuk lagi, bagaimana cara berdakwah yang benar, jangan sampai karena salah, akhirnya dia ditolak. Bagaimana mendakwahkan keluarga, itu perlu hidayah. Bahkan yang paling susah itu mendakwahkan keluarga.
Jadi hidayah menuju jalan yang benar berbeda dengan hidayah di atas jalan yang benar.
Harus mengetahui waktu-waktu yang pas untuk melewati rute tersebut.
Dan ini adalah hidayah di atas jalan yang benar yang sering direnungkan oleh orang-orang yang mengetahui bahwasanya hidayah adalah yang ini. Dia telah tahu, tapi dia tidak memiliki petunjuk untuk berjalan di atas jalan tersebut. Betapa banyak orang yang telah diberi hidayah, tapi dia kembali lagi kepada maksiat. Untuk berjalan di atas jalan yang benar itu perlu hidayah.
Maka ketika membaca “ihdinashiratal mustaqim”, kita meminta 2 hidayah: menuju jalan yang lurus, dan untuk kokoh di atas jalan yang lurus.
Ini menunjukkan kepada kita, banyak hidayah yang belum kita ketahui dan harus selalu meresapi dan merenungi bacaan “ihdinashiratal mustaqim”.
- Dan ada beberapa perkara yang dia memerlukan hidayah di kemudian hari sebagaimana dia mendapatkan hidayah di hari yang lampau. Maksudnya dia perlu hidayah untuk selalu istiqamah.
Jadi istiqamah itu perlu hidayah.
- Dan ada beberapa perkara yang dia tidak tahu mana yang haq dan bathil, maka dia perlu hidayah untuk mengetahui mana yang benar dari yang bathil.
Dan salah satu yang berkaitan dengan hal ini, ketika seseorang tidak mengetahui yang haq dan bathil, ketika terjadi silang pendapat antar ulama, kita tidak tahu mana yang haq dan bathil, mana yang rajih mana yang marjuh.
Ibnu Taimiyyah mengatakan: “Banyak dari penuntut ilmu ketika terjadi silang pendapat ulama, mereka membuka kitab ini kitab ini, bertanya ke sana sini, namun lupa meminta hidayah kepada Allah. ”
Maka yang harus dilakukan meminta hidayah kepada Allah untuk ditunjukkan yang haq.
Rasul berdoa: “Wahai Rabb Jibril dan Mikail dan Israfil, pencipta langit dan bumi, yang mengetahui yang ghaib maupun yang nyata, Engkaulah yang memutuskan antara hamba-hambamu ketika mereka berselisih, berilah aku petunjuk dari hal yang diperselisihkan itu, sesungguhnya Engkau memberikan petunjuk kepada siapa saja yang Engkau kehendaki.”
Inilah yang pertama kali harus dilakukan ketika menemukan perselisihan antara para ulama.
Ibnu Taimiyyah ketika menemukan suatu masalah terhadap ilmu, beliau beristighfar seribu kali. Jika beliau tidak paham tentang satu ilmu, beliau beristighfar karena merasa itu karena dosa-dosa yang dilakukannya.
“Wahai Allah yang mengajarkan Adam, maka ajarkanlah aku.”
- Dan ada perkara-perkara yang dia lakukan, dan dia mengira apa yang dia lakukan itu di atas jalan yang benar, dan tidak merasa bahwasanya jalan tersebut adalah jalan yang sesat. Maka dia memerlukan untuk pindah dari jalan yang salah ke jalan yang benar, hidayah dari Allah.
Maka sering-seringlah membaca doa ini: “Allahumma arinal haqqo haqqo warzuqnat tiba’ah wa arinal batila batila warzuqnajtinabah.”
Setelah macam-macam hidayah yang disebutkan Imam Ibnul Qayyim, beliau menyebutkan satu hidayah lagi: dan ada perkara-perkara yang telah dia lakukan sesuai hidayah dari Allah SWT, dia telah melengkapi dirinya untuk melakukan hidayah, namun ada yang kurang, dia perlu mengajak orang lain untuk melengkapi kekurangan yang ada pada orang lain. Memberi petunjuk kepada orang lain dan menasihati orang lain.
Jika dia tidak memperhatikan hal tersebut, tidak mengajak orang lain kepada apa yang dia ketahui dan dia amalkan, maka itu akan mengurangi hidayah dari Allah yang ada pada dirinya.
Sama seperti ketika dia mengajak orang lain, memberi petunjuk kepada orang lain, itu menjadi sebab-sebab Allah menambahkan hidayah kepadanya, hidayah-hidayah yang belum dia miliki. Karena balasan dari Allah itu sesuai dengan amal perbuatan kita.
Karena dia bermanfaat untuk orang lain, maka Allah akan memberikan petunjuk-petunjuk yang lainnya kepadanya.
Kesempurnaan bagi seseorang ketika dia sempurna dalam dirinya sendiri dan juga menyempurnakan orang lain. Jika dia belum mengajak orang lain kepada jalan yang benar, maka itu belum sempurna. Karena titik kesempurnaan seseorang adalah ketika dia telah melengkapi dirinya sendiri ilmu dan amal yang shalih, dan mengajak orang lain untuk mengerjakannya. Itulah yang disebutkan dalam surat al Ashr.
Empat perkara yang harus wajib dilakukan oleh seseorang:
1. Ilmu
2. Amal shalih
3. Berdakwah
4. Bersabar
Semakin kita mengajak orang lain untuk beribadah kepada Allah, Allah pun akan menambah hidayah kepada kita.
Itulah macam-macam hidayah yang dijelaskan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah, yang menunjukkan bahwa seorang hamba benar-benar membutuhkan hidayah Allah SWT dalam setiap nafas yang ia dihembuskan.
Jangan sampai kita telah mengetahui yang haq, tapi tidak kokoh di atasnya. Jangan sampai kita bosan dan lalai untuk berdoa kepada Allah: “ihdinashiratal mustaqim”.* (haninmazaya/arrahmah.id)
*Disarikan dari kajian yang diisi oleh Ustadz Syafiq Said hafidzahullah