Pro-kontra pemakaman jenasah Bagus alias Urwah yang ditembak mati Densus 88 di Solo beberapa waktu mencuat menjadi berita besar. Terlebih isu penolakan terhadap pemakaman jenazah tersangka teroris juga berlangsung di Purbalingga dan Solo. Di Solo, bahkan diwarnai dengan penangkapan aktivis yang bersitegang dengan preman bayaran yang memasang spanduk menolak pemakaman. Di Solo pula, warga sekitar orang-tua angkat Urwah didatangi oknum tak dikenal membawa selebaran yang harus ditandatangani warga. Isinya, menolak kehadiran jenazah Urwah.
Dapat dimaklumi bila polisi cenderung membela preman yang menolak pemakaman. Institusi keamanan ini sedang digeber sebagai ujung tombak program deradikalisasi. Polisi juga menempatkan terorisme sebagai musuh nomor wahid dengan-dibantu Amerika-membentuk satuan khusus antiteror. Bagi polisi, rating bahaya terorisme jauh di atas narkoba, apalagi korupsi. Maklum, untuk perkara terakhir ini, polisi sedang kejar tayang memungkasi perseteruannya dengan KPK yang, konon, mulai menyorot keterlibatan pejabat tinggi Trunojoyo dalam kasus korupsi.
Kaum berandal dan preman, sudah sejak lama menyimpan dendam kesumat terhadap aktivis yang kerapkali mengganggu keasyikan mereka bermaksiat. Dari yang kelas kakap seperti klab malam dan tempat prostitusi ekslusif, hingga judi dan miras di pinggir jalan. Pada sisi lain, sudah menjadi rahasia umum bahwa kelompok ini-dalam kadar tertentu-dipelihara oknum keamanan. Entah sekadar memantau gejolak kriminalitas di suatu wilayah, atau untuk digunakan sebagai alat kepentingan pihak tertentu. Intinya, karena segala orientasinya hanya sejarak mulut dan perut, kelompok ini akan patuh kepada siapa yang sanggup memberinya makan.
Sampai di sini, dapat disimpulkan bahwa kelompok anti pemakaman memiliki agenda kepentingan dan tujuan politis tertentu. Bukan dilandaskan pada suara hati nurani atau akal sehat yang bertujuan memerangi terorisme. Kerangka anti terorisme hanyalah kedok aji mumpung yang dimanfaatkan. Mumpung ngetren, mumpung semua mata terbelalak dengan tewasnya Noordin M. Top. Sebab, nurani dan akal sehat manusia normal tentu tidak akan berbuat dendam, bahkan kepada jasad seorang bandit criminal nomor wahid sekalipun. Itu fitrah manusia. Jadi, karena basisnya adalah kepentingan konsumtif, bukan ideologis, isu penentangan ini mungkin tidak bertahan lama.
Yang agak aneh justru datang dari MUI Kudus. Dalam siarannya, sebuah TV swasta menulis statemen MUI Kudus, bahwa warga Kudus berhak menolak pemakaman Urwah. Sayang, tidak dijelaskan apa landasannya. Namun, sebagai sebuah lembaga keagamaan, tentu statemen MUI (seharusnya) berdasarkan hujjah yang jelas dan kuat. Lazimnya ada orang Islam meninggal dunia, penyelenggaraan pemakaman merupakan tanggungjawab ahli waris dan kaum Muslimin yang ada di sekitarnya. Hukumnya fardhu kifayah. Jadi, proses pemakaman itu sendiri adalah bagian dari syariat. Jadi, bagaimana logika sebuah institusi keagamaan Islam menyilakan umat Islam untuk meninggalkan syariat?
Yang lebih krusial daripada itu, apakah status Urwah-menurut MUI Kudus-sudah dikategorikan sebagai “non-Muslim,” sehingga seolah MUI mengamini pihak yang tidak boleh dikubur di pemakaman Muslim? Hampir seluruh kaum Muslimin di negeri ini sepakat menyayangkan tindakan pengeboman yang dilakukan Noordin dan kawan-kawan. Tak terkecuali Ustad Abu Bakar Baasyir sendiri. Taruh saja misalnya apa yang dilakukan Noordin dkk (termasuk Urwah) adalah dosa besar-meski judgment ini sangat sembrono-apakah semerta-merta mereka dicap murtad, keluar dari Islam dan dihukumi sebagai kafir yang tidak boleh dimakamkan di makam orang Islam?
Sekali lagi, kita boleh menentang sepak terjang Noordin dkk, dengan hujjah yang masih debatable di kalangan ulama. Tetapi, kita juga masih mempunyai kewajiban sebagai sesama Muslim untuk mengurus jenazahnya, selagi status mereka masih dianggap sebagai orang Islam. Kecuali, bila memang ada fatwa kontemporer yang menyatakan seseorang yang terlibat terorisme digolongkan sebagai kafir kharij minal millah. Semoga kegelisahan saya ini dapat segera dijawab oleh Bapak-bapak Ulama MUI Kudus yang terhormat. Saya masih berharap ini semua hanyalah bualan media yang akhir-akhir ini sering bias dalam pemberitaan, atau ketidakmampuan saya memahami statemen tersebut. Amin.
Tony Syarqi
[email protected]
(Penulis buku: Obama 100% Yahudi, kelahiran Kudus, tinggal di Sukoharjo. Mencoba sebagai warga negara yang baik, KK dan KTP-nya pindah ke tempat tinggalnya sekarang. Tapi ia tidak tahu apakah kelak ketika mati boleh dimakamkan di Kudus-bersanding dengan kakak dan ayahanda tercinta-atau tidak.)
Source: MuslimDaily