Oleh : Abu Fikri
(Aktivis Gerakan Revivalis Indonesia)
(Arrahmah.com) – Belum reda kasus penembakan terduga terorisme, “fatal atraction” dari Densus 88 yang salah tangkap 2 orang (Mugi dan Safari) di Tulungagung dan extra judicial killing terhadap 2 orang lainnya (Rizal alias Eko-Klaten dan Dayat-Paciran Lamongan),” sebagaimana yang diurai oleh Harits Abu Ulya (Direktur CIIA) (Arrahmah.com 5/8/2013). Kita dikejutkan oleh manuver Bom Vihara Ekayana.
Meletusnya bom itu seperti menjadi kado lebaran. Peristiwa itu seolah membenarkan aktualisasi solidaritas muslim Indonesia terhadap saudara muslim Rohingya yang tengah menghadapi kekejaman rezim Budhis di Myanmar. “Bom” berdaya rendah itu meledak 3 kali. Ledakan benda yang diduga bom terjadi pada ahad malam kemarin (4/8/2013) di Jalan Mangga, Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Dua ledakan berkekuatan rendah terjadi sekitar pukul 19.00 WIB. Seorang pengunjung vihara terluka di lengannya. Polisi meledakkan satu benda lain pukul 22.00 WIB.
Berkembang beragam statement seputar meledaknya “bom” tersebut. Diantaranya dari Ketua PP Muhammadiyah Din Syamsudin menyatakan “Saya menduga bahwa peledakan itu mengandung rekayasa untuk mengganggu umat beragama,” kata Din di Kantor PP Mumammdiyah, Jl Cikini Raya, Jakarta, Selasa (6/8/2013). Lebih lanjut Din meminta kepada masyarakat tidak terpancing oleh provokasi bom tersebut.
Juga lebih tajam lagi statement yang disampaikan oleh Ketua Umum Pemuda Muhammadiyah: “Kalau bom sudah meledak, yang pertama sekali dimintai pertanggungjawabannya, ya tentu pihak intelijen. Mengapa mereka sampai kecolongan? Mengapa para pelaku peledakan sepertinya lebih pintar dari aparat intelijen? Aneh rasanya jika aparat intelijen kita tidak berdaya menghadapi kelompok-kelompok kecil seperti ini,” cetus Saleh Partaonan Daulay, di Jakarta, Selasa (6/8/2013).
Selain 2 tokoh Muhammadiyah itu statement juga disampaikan oleh Politikus PDI-Perjuangan anggota Komisi III DPR RI yang sering sangat vokal pada akhir-akhir ini. Eva Sundari mengatakan : “Walau ada dugaan dengan kasus Rohingya tapi terlalu prematur untuk disimpulkan. Meski tindakan itu bisa dikategorikan terorisme tapi sebaiknya semua kesimpulan berbasis data dari penyidikan. Karena siapapun bisa bikin bom akibat situs-situs kelompok teroris untuk pembuatan bom bisa diakses publik termasuk oleh mereka yang tidak masuk dalam jaringan terorisme,” ucap Eva (5/8/2013).
Selain Eva seperti biasanya yang vokal lainnya adalah politisi FP Demokrat Ruhut Sitompul mengatakan : masyarakat hendaknya tidak berspekulasi atas ledakan di Vihara malam itu. “Biar polisi saja, kita hormati (penyelidikan) kepolisian,” (5/8/2013).
Sementara itu Mabes Polri menyatakan bahwa meski mengaku kesulitan mengungkap motif, alasan dan tujuan bom Vihara tersebut tetapi menegaskan bahwa “kendati ledakan diduga bom itu berdaya ledak rendah tetapi menimbulkan efek teror optimal. Itu sebabnya, walaupun bom itu tak menimbulkan korban jiwa tetapi pelakunya diduga gembong teroris, ucap Kepala Divisi Humas Polri Irjen Pol Ronny F. Sompie, Senin (5/8/2013).
Pernyataan juga disampaikan oleh Wamenag representasi Kemenag. Wamenag Nasaruddin Umar, Senin (05/08) tidak sependapat kejadian di Vihara Ekayana yang terletak di Duri Kepa, Kebon Jeruk, Jakarta Barat itu dikatakan mempunyai kaitan dengan kasus pembantaian umat muslim Rohingya di Myanmar. “Tidak bisa. Tidak ada hubungan Islam dengan persoalan local Myanmar. Kasus di sana adalah persoalan lokal,” jelas Wamenag.
Terlepas dari penafsiran yang berbeda-beda atas opini yang berkembang dari berbagai statement yang diungkap. Pointnya bahwa perjalanan “war on terrorism” masih bersifat long term (jangka panjang).
Perburuan terorisme menjadi sebuah kegiatan yang wajib dilakukan terutama oleh dua badan pemerintah yang lahir atas amanah UU. BNPT dan Densus 88 adalah dua institusi terdepan dalam kegiatan ini. UU Terorisme dan UU Pendanaan Terorisme adalah legal of frame aktivitas perburuan tersebut. Apalagi Indonesia dianggap sebagai negara yang paling sukses memberantas terorisme tanpa menggunakan pendekatan militeristik. Apresiasi terhadap Indonesia itu disampaikan di forum APEC beberapa waktu yang lalu. Apresiasi itu seolah menutupi banyak terjadinya pelanggaran kemanusiaan akibat ekstra judicial action maupun ekstra judicial killing yang dilakukan oleh Densus 88. Bahkan tidak mengenal dan menghormati bulan Ramadhan sebagai bulan suci kaum muslimin. Seperti sengaja ada upaya labelling bahwa ada sebagian kaum muslimin yang dianggap terduga terorisme tidak mengindahkan etika bulan Ramadhan.
Semacam menjadi prejudice melekat bahwa karakter seorang teroris tetaplah seorang teroris. Terbangun sebuah formulasi opini bahwa ada hubungan yang kuat antara “Islam dan terorisme”. Demi sebuah breakdown di negeri yang mayoritas muslimnya terbesar di dunia follow up dipropagandakannya war on terrorism oleh AS pasca peristiwa WTC 9/11. Dimana kemudian negara-negara di berbagai belahan dunia ini dicluster oleh AS dalam konteks war on terrorim “with us” or “with terrorist”. Statement George W Bush yang menyesatkan itu kemudian diamini oleh berbagai negeri muslim menjadi sebuah proyek yang sarat dengan dukungan politik dan dana yang mengalir dari negara-negara donor.
Ada beberapa point penting dari statement-statement yang disampaikan oleh berbagai kalangan berkaitan dengan bom vihara Ekayana antara lain.
Pertama, mabes Polri sudah membuat kesimpulan sementara bahwa bom itu dilakukan oleh gembong teroris karena memiliki ekses teror yang optimal meski masih belum jelas motif, sasaran dan tujuannya. Kedua, bagaimana mungkin rencana pengeboman dengan bom berdaya rendah mirip “mercon” yang dilakukan oleh sekelompok kecil yang dianggap gembong teroris tidak terdeteksi oleh intelijen. Ketiga, ekses teror yang meluas dari peledakan bom tersebut dikesankan seolah-olah sebagai bentuk solidaritas atas penindasan kaum muslim Rohingya Myanmar. Keempat, ekses teror lainnya adalah berisi propaganda untuk memecah kerukunan antar umat beragama dengan memanfaatkan psikologi kaum muslimin atas kasus Rohingya. Kelima, bom vihara sebagai momentum yang sarat akan prejudice terhadap jejaring terorisme yang dilakukan oleh para mujahidin. Seolah sudah dipastikan bahwa setiap kejadian terorisme pasti berkaitan dengan jaringan mujahidin yang lama.
Yang menarik dipertanyakan lagi adalah bagaimana cara aparat keamanan dalam hal ini Densus 88 memburu dan menangani pelaku “pemboman ala mercon” di vihara Ekayana. Pola penanganan yang selama ini dilakukan adalah penembakan mati. Dan pola seperti itu menjadikan pelaku sekaligus saksi tidak bisa dikonfirmasi bagaimana yang sebenarnya aksi pengeboman itu dilakukan.
Pada akhirnya masyarakat dipaksa mau tidak mau menerima keterangan informasi dari Mabes Polri bagaimana dan apa motiv, sasaran dan tujuan pengeboman tersebut. Biasanya penyampaian informasi itu akan di blow up oleh berbagai media secara intens dan masif. Terasa kuat ada kesan sindikasi yang masif dan sistematik yang dilakukan oleh Mabes Polri (Tokoh-tokoh tertentu), Media Langganan, Pengamat, dan Anggota DPR RI yang vokal (sebut saja Eva Sundari dan Ruhut Sitompul) demi sebuah target opini kesinambungan sebuah proyek “war on terrorism”.
Bom vihara Ekayana yang terjadi menjelang Idul Fithri 1434 H menyentak nurani kaum muslimin. Menyisakan pertanyaan besar untuk siapa dan oleh siapa kado bom ini ditujukan. Setelah selesai menuai panen amal ibadah yang penuh dengan kemuliaan selama 1 bulan di bulan Ramadhan nampaknya kaum muslimin di negeri ini disadarkan terus tentang hakekat sebuah makar yang senantiasa dilakukan oleh kaum kafir muharibban fi’lan melalui perpanjangan tangan para antek-anteknya di negeri ini. Seperti yang digambarkan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’alla dalam surat Al Baqoroh ayat 120, dimana Yahudi dan Nasrani tidak akan senang sehingga umat Islam mengikuti agama mereka. Kemudian pada ayat lain dikatakan: “Mereka telah memuntahkan kebencian lewat mulut dan tangan mereka, sedangkan yang ada di dalam hatinya lebih besar lagi”. Inilah basic yang ada pada musuh-musuh Islam, sampai kapanpun mereka akan tetap seperti itu. Wallahu a’lam bis shawab.
(azmuttaqin/arrahmah.com)