Oleh: Umar Syarifudin (Direktur Pusat Kajian Data-Analisis)
(Arrahmah.com) – Pemerintah dan DPR bersepakat untuk merevisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Salah satu tujuannya untuk memudahkan aparat penegak hukum melakukan upaya preventif pencegahan terorisme. Revisi itu dimaksudkan untuk memperluas dan menguatkan kewenangan aparat untuk mencegah dan menanggulangi terorisme. Dalam rancangan revisi UU Terorisme, aparat akan menjadi makin mudah dan leluasa untuk menanggulangi apa yang diklaim sebagai terorisme.
Alasan klise pun dimunculkan, bahwa aksi-aksi seperti itu tidak bisa dicegah sebab intelijen lemah. Karenanya perlu ada payung hukum yang melegitimasi tindakan aparat intelijen untuk melakukan tindakan tidak hanya di level analisa dan rekomendasi tapi juga tindakan pre-emptif (dengan menangkap dan mengeliminasi sesuatu yang diangap ancaman). Lagi-lagi pemerintah terjebak dalam arus global “warr on terrorism” dan tindakan ala Amerika.
Menteri Koordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan Wiranto berharap revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang tengah dilakukan di DPR bisa memperkuat upaya penanggulangan terorisme.
Pasalnya, menurut Wiranto, saat ini Pemerintah, khususnya aparat penegak hukum, tidak memiliki payung hukum yang kuat sehingga tidak bisa melakukan tindakan apapun sebelum teror terjadi.
“Kembali saya minta revisi UU terorisme itu menjadi senjata bagi aparat keamanan atau bagi kita semua untuk melawan terorisme. Kalau kita tidak ada satu senjata atau payung UU yang ekstra untuk melawan mereka (teroris) sama saja kita melawan dengan tangan diikat,” ujar Wiranto saat ditemui di kantor Kemenko Polhukam, Jakarta Pusat, Selasa (Kompas.com 27/9/2016).
Menurut Koordinator Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak kekerasan (Kontras), Harris Azhar, “sudah sejak mulai diwacanakan sekitar empat tahun lalu, pemerintah selalu menggunakan momentum serangan teror seperti (di Sarinah) ini untuk mengangkat lagi ide merevisi UU Terorisme. Jadi ini lagu lama, sebetulnya.”
Kalangan pembela HAM menyebut, gagasan revisi UU itu jika dilakukan, akan mengancam kebebasan sipil dan kebebasan berpendapat. Dan bisa disalahgunakan untuk memberangus kalangan yang tak sepaham dengan pemerintah, lebih-lebih di daerah bergolak seperti di Papua. (BBC.com 20/1/2016)
Ketua Pimpinan Pusat Muhammadyah Bidang Hukum, HAM dan Kebijakan Publik Busyro Muqoddas mengatakan tidak dibukanya draf naskah akademik Rancangan Undang Undang Terorisme bakal memunculkan pelanggaran hak asasi manusia di kemudian hari.
Menurut Busyro, publik selama ini tidak mendapat akses untuk mempelajari pasal demi pasal draf revisi atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme itu.
Menurut Busyro, beleid terorisme yang saat sedang dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat, dikhawatirkan bakal dengan mudah mencap seseorang bertindak subversif bila ada perbincangan di masyarakat yang mengarah ke pemikiran radikal. “Naskah akademik RUU ini sampai sekarang tidak pernah dibuka ke publlik, ini bahaya,” ujarnya (Tempo.co 30/8/16).
Patut diduga, Revisi UU Terorisme sama sekali tidak berbicara tentang kontrol, pengawasan dan pertanggungjawaban operasi anti teror. Juga sama sekali tidak menyinggung masalah salah tangkap. UU yang ada saja sudah berlebih memberi kewenangan kepada aparat. Buktinya, sudah lebih dari 100 orang mati tanpa putusan peradilan. Mereka tidak memiliki status hukum, bukan tersangka, terdakwa apalagi terpidana, tetapi baru terduga, status yang tidak termasuk status hukum dalam proses peradilan. Juga ada sejumlah kasus salah tangkap, dan begitu saja orangnya dilepas, padahal banyak yang mengaku telah mengalami penyiksaan dan penghinaan ketika dalam proses dan selama ditangkap dan ditahan. Semua itu tidak ada pertanggungjawaban yang jelas hingga sekarang.
Tanpa perluasan dan peningkatan saja sudah sedemikian, lantas bagaimana jika kewenangan itu makin diperluas, diperlonggar dan ditingkatkan? Revisi UU Anti Terorisme itu hanya akan membuka tindakan keamanan pre emptive dan pendekatan keamanan (security approach). Dengan pasal-pasal karet dan besarnya potensi dijadikan alat represi kekuasaan, revisi itu justru akan melahirkan teror baru bagi masyarakat.
Ringkasnya, Revisi RUU Terorisme sangat mungkin melahirkan regulasi dan pemerintahan represif yang telah menyebabkan trauma bencana bagi masyarakat. Tentu itu sebuah kemunduran bagi umat. Disamping itu, pilihan dan tindakan seperti itu selama ini justru memunculkan “teror oleh negara” dan mengakibatkan aksi kekerasan dan radikalisme terus berulang sebagai pembalasan karena diperlakukan semena-mena oleh negara. Negara akhirnya justru terlibat dalam lahirnya siklus kekerasan dan terror. Tidak akan pernah ada jaminan bahwa langkah-langkah yang lebih represif yang akan dilegalkan melalui proses politik ala demokrasi itu menjadi solusi efektif dalam isu terorisme.
(*/arrahmah.com)