(Arrahmah.com) – Kabut asap masih menjadi bencana yang sampai saat ini belum terselesaikan secara tuntas. Bencana kabut asap tiap tahun terus terjadi secara berulang. Wilayah Sumatera dan Kalimantan menjadi wilayah yang parah terkena kabut asap. Ada sekitar 12 provinsi yang mengalami musibah kabut asap, dengan luas jutaan kilometer persegi. Kabut asap pekat terutama menyelimuti wilayah Sumatera Selatan, Jambi, Riau, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan. Di Sumatera, kabut asap menyelimuti 80 persen wilayahnya.
Kabut asap yang terjadi bukan tanpa sebab atau terjadi begitu saja, tetapi disebabkan oleh kebakaran yang sengaja dibuat oleh perusahaan-perusahaan untuk membuka lahan baru. Ada sekitar 33.000 hektar lahan gambut yang dibakar.
Kabut asap tentu saja menimbulkan kerugian yang tidak sedikit. Total nilai kerugian akibat bencana asap pada tahun 2015 belum bisa dihitung. Namun, berdasarkan data BNPB, kerugian pada tahun 1997 saja, yaitu mencapai 2,45 miliar dolar AS. Menurut Kepala BNPB Willem Rampangilei, kerugian akibat kebakaran lahan dan hutan serta bencana asap di Riau tahun 2014 lalu, berdasarkan kajian Bank Dunia, mencapai Rp 20 triliun.
Terlebih lagi, kabut asap ini menyebabkan penyakit pernapasan yang banyak menimbulkan kematian. Di Riau tercatat ada 44.871 jiwa yang terinfeksi ISPA. Selain itu, kabut asap menyebabkan pariwisata dan penerbangan terganggu.
Musibah kabut asap ini merupakan ulah perbuatan manusia. Kerusakan yang ditimbulkan akibat tangan-tangan manusia yang tidak bertanggung jawab seharusnya menyadarkan kita untuk kembali ke jalan yang benar sebagaimana firman Allah SWT:
“Telah tampak kerusakan di daratan dan di lautan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah menimpakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”. (TQS ar-Rum [30]: 41).
Kapolri Jenderal Polisi Badrodin Haiti mengatakan bahwa Polri telah resmi menetapkan 10 korporasi (perusahaan) dan 167 warga sebagai tersangka pelaku pembakaran hutan dan penyebab bencana kabut asap. Menurut Menteri LHK Siti Nurbaya, sedikitnya 124 perusahaan diduga melakukan pelanggaran dalam kasus kebakaran lahan dan hutan yang terjadi di wilayah Sumatera dan Kalimantan.
Musibah kabut asap akibat kebakaran lahan dan hutan yang cukup dahsyat ini adalah yang terparah sepanjang sejarah. Kabut asap di Indonesia sudah terjadi setidaknya sejak 1967. Sejak itu kebakaran lahan dan hutan terus berulang tiap tahun. Semua ini menunjukkan tiga hal. Pertama: Penindakan terhadap para pelaku selama ini begitu lemah. Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho mengatakan, karena adanya pembiaran dan penegakan hukum yang lemah, pelanggaran terus terjadi. Kedua: Seolah tak pernah ada upaya pemerintah untuk mengambil pelajaran. Padahal dengan belajar dari kasus-kasus sebelumnya, seharusnya kebakaran lahan dan hutan sudah bisa dicegah semaksimal mungkin oleh pemerintah. Ketiga: Kebijakan/aturan tak memadai dan tak konsisten dijalankan sehingga tak bisa mencegah dan mengakhiri kebakaran lahan dan hutan. Masih banyak celah hukum sehingga para pelaku bisa lolos dari jerat hukum.
Musibah kabut asap akibat kebakaran lahan dan hutan sangat sulit atau bahkan mustahil diakhiri dalam sistem kapitalisme saat ini. Pasalnya, demi kepentingan ekonomi, jutaan hektar hutan dan lahan diberikan konsesinya kepada swasta. Padahal itulah yang menjadi salah satu akar masalahnya.
Bencana kebakaran hutan dan lahan hanya akan bisa diakhiri secara tuntas dengan sistem islam melalui dua pendekatan: pendekatan tasyrî’i (hukum) dan ijrâ’i (praktis).
Secara tasyrî’i, islam menetapkan bahwa hutan termasuk dalam kepemilikan umum (milik seluruh rakyat). Rasul saw. bersabda:
“Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api”. (HR Abu Dawud dan Ahmad).
Hutan adalah harta milik umum, sehingga haram hukumnya untuk diberikan kepada swasta, baik individu ataupun perusahaan. Alhasil, ketika hutan dikelola oleh Negara, karena ia milik rakyat maka akar masalah kasus kebakaran hutan dan lahan bisa dihilangkan. Dengan begitu kebakaran hutan dan lahan bisa dicegah sepenuhnya sejak awal.
Pengelolaan hutan sebagai milik umum harus dilakukan oleh negara untuk kemaslahatan rakyat, tentu harus secara lestari. Dengan dikelola penuh oleh negara, tentu mudah menyeimbangkan antara kepentingan ekonomi, kepentingan rakyat dan kelestarian hutan. Negara juga harus mendidik dan membangun kesadaran masyarakat untuk mewujudkan kelestarian hutan dan manfaatnya untuk generasi demi generasi.
Jika ternyata masih terjadi kebakaran hutan dan lahan, maka wajib segera ditangani oleh pemerintah karena pemerintah wajib memperhatikan urusan rakyatnya dan memelihara kemaslahatan mereka.pemerintah akan dimintai pertanggungjawaban atas hal itu di dunia maupun diakhirat.
Adapun secara ijrâ’i, pemerintah harus melakukan langkah-langkah, manajemen dan kebijakan tertentu; dengan menggunakan iptek mutakhir serta dengan memberdayakan para ahli dan masyarakat umum dalam melakukan pencegahan dan penanggulangan dampak kebakaran yang terjadi.
Wa Allahu ‘alam
Penulis: Lilis Holisah, Pendidik Generasi di HSG SD Khoiru Ummah Ma’had al-Abqary Serang
(*/arrahmah.com)