IDLIB (Arrahmah.id) — Jurnalis pakar jihadisme dari France24, Wassim Nasr, baru-baru ini melakukan perjalanan ke Idlib, provinsi Suriah barat laut yang dikendalikan oleh kelompok perlawanan Suriah Hai’ah Tahrir asy Syam (HTS).
Selama kunjungannya, Nasr menjadi jurnalis Prancis pertama yang bertemu dengan Abu Mohammed al Joulani, mantan utusan kelompok militan Islamic State (ISIS) sebelum berganti nama dan sekarang menjadi pemimpin HTS.
Nasr memulai perjalannya dimulai dari perbatasan Turki ke Idlib melalui Harem, Atmeh, Ariha, Jisr al-Choughour dan desa Kristen Yacubiyeh, dan berikut hasil catatan dan pengamatannya;
Idlib, kota kubu pemberontak
Jalan yang mengarah dari perbatasan Turki ke Idlib, yang baru-baru ini dilalui oleh delegasi PBB ketika mengunjungi daerah-daerah yang dilanda gempa bumi bulan Februari, baru diaspal dan dihiasi dengan tanaman dan pohon palem di samping jalannya.
Setelah sampai di ujung gerbang masuk pemeriksaan, tidak mungkin untuk maju lebih jauh menyusuri jalan itu tanpa pengawalan langsung aparat HTS serta pemandu yang bertugas menemani wartawan.
Pengunjung yang memasuki provinsi tersebut akan disambut oleh bendera raksasa revolusioner Suriah dan spanduk besar dengan tulisan tauhid yang ditulis dengan huruf hitam dengan latar belakang putih.
Sejak bulan-bulan pertama pemberontakan Suriah melawan rezim Assad pada 2011, Idlib menjadi tempat pertempuran brutal yang dengan cepat berubah menjadi perang saudara. Provinsi ini juga menjadi pusat transit bagi banyak pejuang asing yang melakukan perjalanan ke Suriah untuk mengobarkan jihad.
Saat memasuki kota, ada hal menarik yang diluar perkiraan. Ternyata di dalam kota sedikit sekali pria yang membawa senjata berjalan di jalanan. Tidak ada pria-pria yang bergaya seperti mujahidin Afghanistan atau berpatroli membawa senjata seperti yang sebelumnya dilakukan olek kelompok militan Islamic state (ISIS) di wilayah yang mereka kuasai.
“Kami memastikan orang-orang mengerti bahwa tempat pejuang adalah di depan, bukan di antara penduduk,” kata pemandu dari HTS., dikutip dari France24 (11/5/2023).
Sejumlah besar bendera revolusioner yang berkibar di kota mungkin tampak tidak signifikan jumlahnya.
Menurut Nasr, HTS nampaknya ingin menjauhkan diri dari bayang-bayang para jihadis juga Al Qaeda, yang selama ini dikenal mencela semua jenis simbol nasionalis. Yang tersisa sekarang hanyalah beberapa tulisan-tulisan di dinding yang sudah pudar yang isinya mencela Syiah dan demokrasi. Dua hal yang sangat dibenci oleh para jihadis.
Saat ini Idlib penuh dengan kehidupan. Kafe, perpustakaan, dan toko buku yang terletak di antara masjid al-Tauhid dan bekas hotel Carlton, telah menjadi “surga damai” bagi para pembaca dan pelajar. Perempuan dan laki-laki dipisahkan satu sama lain di kafe, namun ketika di ruang publik seperti taman atau pusat perbelanjaan, percampuran gender ditoleransi, begitu pula rokok dan lagu-lagu revolusioner yang terdengar di toko-toko.
Meski perang telah menelantarkan jutaan orang, dalam beberapa tahun terakhir, jumlah populasi di Idlib terus meningkat. Menurut Doctors Without Borders (MSF), jumlah orang yang tinggal di provinsi tersebut kini telah melampaui 4,5 juta. Selama tiga tahun gencatan senjata, walaupun kadang-kadang dilanggar melalui serangan dan serangan udara, suasana kota menjadi jauh lebih aman sehingga membuat warga lebih memilih untuk tinggal disana.
Abu Mohammed al-Joulani, pemimpin HTS dan penguasa Idlib
Sehari setelah kedatangan di Idlib, Nasr mendapat kesempatan untuk bertemu dengan Abu Mohammed al-Joulani. Joulani hanya memberikan dua wawancara dengan jurnalis asing sebelumnya – yang pertama dengan penyiar al Jazeera pada tahun 2015 dan yang kedua dengan PBS AS pada tahun 2021. Nasr juga diberikan wawancara dengan salah satu rekan Joulani yang paling tepercaya, warga negara Irak Abu Maria al-Qahtani, serta beberapa pejabat HTS dan “pemerintah penyelamat” di hari-hari berikutnya.
Pertemuan Nasr dengan Joulani berlangsung larut malam dan dibingkai dengan tindakan pengamanan, termasuk kewajiban untuk meninggalkan semua alat komunikasi di dalam kendaraan yang diparkir di lingkungan lain.
HTS, yang dimasukan sebagai kelompok teroris oleh PBB, memiliki latar belakang yang cukup rumit, seperti pemimpinnya. Sebelum memimpin HTS, Joulani adalah anggota tingkat tinggi kelompok militan Islamic State of Iraq yang dikemudian hari berubah nama menjadi ISIS. Tahun 2012, dia ditugaskan Abu Bakr al-Baghdadi, pemimpin ISIS ke Suriah bersama dana dan pasukan untuk ekspansi dengan menggunakan nama Jabhah Nusrah.
Begitu sampai di Suriah, Joulani secara bertahap mulai melepaskan diri dari Baghdadi dan mulai menolak perintah karena ada berbagai perbedaan pendapat. Pada 2013, dia menyatakan berjanji setia kepada al Qaeda dan pemimpinnya saat itu, Ayman al-Zawahiri.
Tiga tahun kemudian, Joulani memutuskan hubungannya dengan al Qaeda, berbalik melawan Zawahiri dan membersihkan Jabhah Nusrah dari elemen Al Qaeda.
Hari ini, setelah berganti nama dari Jabhah Fath Syam lalu menjadi HTS, kelompok yang dipimpin Joulani merupakan gabungan dari beberapa kelompok Islamis dan pemberontak.
HTS memastikan bahwa wilayah yang ada di bawah kendalinya tidak akan digunakan untuk mempersiapkan serangan terhadap Barat. Mereka hanya akan fokus ke dalam dan di Suriah saja.
Bertemu dengan orang-orang Kristen Idlib yang tersisa
Pada hari ketiga, Nasr diundang oleh HTS untuk menghadiri pertemuan antara beberapa petinggi mereka dan perwakilan dari tiga desa Kristen Idlib.
Sejak 2012, desa-desa Kristen di provinsi Idlib telah terpukul keras dan penduduknya mengalami kengerian perang yang sebenarnya: pemerasan, penyanderaan, pemerkosaan, penyitaan properti, hingga pembakaran gereja yang memaksa sekitar 90 persen penduduknya mengungsi.
Namun dalam dua tahun terakhir, HTS mengklaim telah meluncurkan kebijakan untuk mengembalikan properti yang disita kepada orang Kristen. Dengan pengecualian bukan untuk yang bekerja sama dengan rezim Suriah. Sejauh ini, beberapa rumah telah dikembalikan ke pemiliknya yang sah.
Menurut HTS, di Desa Qunaya, ada sekitar 56 rumah kosong, 42 rumah dikembalikan ke kerabat dekat, (dan) 41 rumah dalam proses dikembalikan. Di Desa Yacubiyeh, angkanya sekitar 90 rumah kosong, 120 rumah dikembalikan ke kerabat dekat, (dan) 109 dalam proses dikembalikan. Negosiasi masih berlangsung untuk pengembalian lahan pertanian – sumber pendapatan utama penduduk desa. Namun, setelah gempa dahsyat di bulan Februari, rencana ini ditunda hingga 1 Agustus 2023.
Properti juga telah dikembalikan kepada orang-orang Kristen yang tinggal di kota Idlib, tetapi komunitas Kristen di sana menolak untuk mengambil kembali gereja mereka karena kurangnya sumber daya untuk memelihara dan menjaganya.
Di zona yang dikuasai para pemberontak, umat Kristiani dapat mempraktikkan agamanya, tetapi bukan tanpa batasan. Orang Kristen diizinkan untuk mengadakan misa harian dan memulihkan beberapa gereja mereka, tetapi mereka dilarang membunyikan lonceng gereja atau memasang salib di gedung.
“Situasinya memang sulit bagi kami umat Kristiani, tetapi sudah membaik selama dua tahun terakhir,” seorang penduduk kepada Nasr.
Fakta bahwa situasi telah membaik telah mendorong beberapa orang untuk mencoba membawa kembali anggota keluarganya ke wilayah tersebut. Sementara beberapa dari mereka yang melarikan diri mencari perlindungan di bagian lain negara itu, yang lainnya kini tinggal di luar negeri.
Kamp Pengungsi di dekat perbatasan Turki
Sebelum Nasr berangkat ke Turki, HTS setuju untuk diajak mengunjungi kamp pengungsi Atmeh yang terletak di tepi zona penyangga antara wilayah yang dikuasai HTS dan pro-Turki.
Salah satu tantangan terbesar “pemerintah penyelamat” adalah menjaga sensus dan mengelola pengungsi yang tinggal di sana.
“Beberapa akomodasi yang seharusnya menampung orang-orang terlantar dari kamp ilegal telah diberikan kepada korban gempa,” kata Menteri Mohamed Bashir, yang bertanggung jawab atas pembangunan pemerintah dan layanan bantuan kemanusiaan.
Bagi penduduk Idlib, penting agar hubungan antara Turki dan HTS tetap berfungsi. Menurut Nasr, Ankara harus mengakui otoritas HTS dan HTS harus mengakui pengaruh Turki di wilayah tersebut karena itu adalah satu-satunya penjagaan ke wilayah tersebut.
Perwakilan Islamis dan Suriah yang Nasr temui di lapangan mengatakan akan sulit bagi Ankara, Moskow dan Damaskus untuk memaksakan kesepakatan yang telah dinegosiasikan tanpa mengikutsertakan HTS.
HTS memegang beberapa kartu strategis yang dapat digunakan jika perlu, dan masih menganggap dirinya dalam posisi yang kuat dalam posisi komandonya.
Salah satu kartu paling berharga yang dipegangnya adalah ancaman berlanjutnya permusuhan, yang akan mengirim banjir pengungsi ke Turki – di mana mereka semakin tidak diterima – dan dalam jangka panjang, berpotensi juga ke Eropa. Gelombang pengungsi seperti itu tidak hanya terdiri dari warga sipil tetapi juga para jihadis lokal dan asing.
Menurut Nasr, HTS saat ini tidak memberlakukan pemahaman keagamaannya secara kaku. Mereka tidak memaksa warga untuk mengikuti aturan agama tapi HTS telah mengambil sikap yang jelas terhadap jihadisme global. Mereka menjauhi itu. (hanoum/arrahmah.id)