BANDARLAMPUNG (Arrahmah.com) – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menilai tata kelola konten dan iklan di media internet atau media siber mutlak diperlukan, mengingat media berbasis internet adalah akses informasi utama masyarakat di masa depan.
Menurut Sekretaris Jenderal AJI Indonesia, Suwarjono, di Bandarlampung, Jumat (21/2/2014) petang, perwujudan sikap tersebut adalah dengan mendorong pemerintah bersama DPR mencabut Undang Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), serta menggantinya dengan Undang Undang Tata Kelola Internet.
Hal itu diungkapkannya dalam Seminar Tata Kelola Internet dan Kebebasan Media Berbasis Internet yang diadakan AJI Bandarlampung di Hotel Grand Anugerah Bandarlampung.
AJI juga mendorong pemerintah membentuk komisi independen yang memiliki kewenangan dalam memutuskan sengketa di internet.
Menurut dia, UU ITE tidak lagi memadai dijadikan sandaran bagi tata kelola internet yang adil dan demokratis, untuk mengatur kebutuhan masyarakat sipil, industri, dan pemerintah.
“Dalam sejumlah kasus, undang-undang itu malah jadi bumerang bagi kebebasan pendapat di ruang publik,” kata dia.
Dia melanjutkan, AJI juga mendorong pemerintah melalui Kementerian Perdagangan dan Ekonomi Kreatif, Kementerian Keuangan, Kementerian Hukum dan HAM, dan Kementerian Luar Negeri untuk ikut mengatur bisnis internet yang sehat dan berkeadilan.
Hanya dalam kurun waktu tak lebih dari 6 tahun sejak diundangkan pada 2008, Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) telah digunakan untuk menjerat dan/atau membungkam lebih dari 30 orang yang melakukan aktifitas kebebasan berekspresi dan/atau berbeda pendapat di ranah internet.
Pasal 27 ayat 3 UU ITE, dengan ancaman hukuman penjara maksimal 6 tahun adalah pasal ‘melankolis’. “Pasal tersebut adalah fasilitas yang disediakan negara bagi mereka yang melankolis dan ingin memanjakan egonya,” ujar Donny B.U., Direktur Eksekutif ICT Watch.
Yang terjadi di lapangan, justru pasal tersebut berulang kali digunakan oleh mereka yang memiliki kekuasaan untuk menekan pihak lain yang tak sepaham.
“Hal ini dapat menyebabkan chilling effect, yaitu kekhawatiran untuk berekspresi dan/atau berbeda pendapat di internet karena adanya ancaman sanksi legal dari negara,” tambah Donny, dalam keterangannya di Jakarta, Rabu (5/2/2014).
Padahal menurutnya, kebebasan berekspresi dan berpendapat, telah diatur dan dilindungi antara lain oleh pasal 28F UUD 1945 (amandemen ke-2), pasal 19 dari Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (PBB) dan pasal 19 dari Kesepakatan Internasional tentang Hak-hak Sipil (PBB)2.
“Dapat dikatakan bahwa pasal 27 ayat 3 UU ITE sejatinya berseberangan dengan semangat yang diusung oleh konstitusi negara Republik Indonesia, dan tak sejalan dengan deklarasi universal serta kesepakatan internasional,” tegas Donny.
Pengenaan pasal tentang pencemaran nama baik di ranah internet kepada Benhan dan 30-an orang lainnya di Indonesia pun dianggap sebagai contoh jelas tentang bagaimana menghambat akses dan/atau distribusi informasi secara signifikan lantaran chilling effect. (azm/antara/detik/arrahmah.com)