Jurnalis Inggris, Tom Parfitt yang menjadi koresponden Moskow untuk The Guardian dan menerima penghargaan Royal Geographical Society di tahun 2008 untuk perjalanannya ke Kaukasus, menemukan desa paling berbahaya dan melaporkan rahasia perang bahwa Kremlin, menurutnya telah gagal.
Saat bepergian ke seluruh wilayah Imarah Kaukasus, ia sampai pada kesimpulan bahwa garis depan perang melawan Islam terjadi di desa Gubden di Dagestan.
Dia mengingatkan bahwa di daerah ini Amir Magomedali Vagabov pernah aktif dan hari ini dikomandoi oleh Ibragimkhalil Daudov.
Jurnalis ini juga mengingatkan bahwa dua pemboman pernah mengguncang desa Gubden pada 14 Februari tahun ini dan dilakukan oleh Mujahid Rusia, Vitaliy Razdobudko dan istrinya Maria Khorosheva. Hasil serangan ini meninggalkan puluhan penjajah dan boneka mereka tewas dan terluka.
Parfitt menulis dalam laporannya untuk majalah Amerika, Foreign Policy bahwa di pintu masuk menuju Gubden bahwa kedua sisi jalan telah hancur sebagai jejak pemboman Februari lalu. Dalam beberapa bulan terakhir Rusia telah menyaksikan serangan berdarah dan penulis menyatakan keyakinannya bahwa garis depan dalam perang melawan Islam di sini.
Gubden, tempat yang paling religius di Kaukasus memiliki lebih dari 30 masjid dan delapan ribu penduduk.
“Diperkirakan 70 persen dari populasi mempraktekkan salafisme, label Islam konservatif yang selalu dikaitkan dengan pemberontak. Dan aliran ortodoks ini meyakini harus bergabung dengan perjuangan untuk menegakkan kekhilafahan Islam walaupun berdarah-pertumpahan darah membalas pasukan keamanan yang mencoba menghalangi mereka dan mengusir mereka keluar,” ujar artikel itu.
Menurut wartawan Inggris ini, boyeviki (pejuang pemberontak) memiliki banyak kesamaan dengan pemberontak Chechnya di tahun 1990. Hari ini mereka dalah jihadi dari seluruh Kaukasus Utara dan sekitarnya. Mereka menurut wartawan itu, diduga mengidolakan “teroris” internasional seperti Syeikh Usamah bin Ladin.
Juga, menurutnya, bahwa Mujahid Kaukasia sangat haus untuk menjadi martir.
“Sepanjang perjalanan saya, saya telah menyaksikan jurang pemahaman antara negara dengan pengikut Salafi yang konservatif. Konfrontasi sangat akut di Dagestan.”
Menurut pengamatan yang dilakukan oleh penulis, tampaknya ada suatu intoleransi bersama antara Salafi dan Sufi di Dagestan. Pada website pejuang Islam, Sufi dikutuk karena mempraktekkan paganisme. Menurut jurnalis ini, permusuhan tersebut berasal dari kenyataan bahwa “pemimpin Sufi telah tercemar oleh hubungan mereka dengan pejabat negara dan tindakan mereka yang memarjinalkan Salafi di masa lalu hingga terkadang sampai tuntutan terbuka pada anggapan bahwa setiap Salafi merupakan teroris”.
Dua orang Salafi berbicara kepada Parfitt dan bahwa mereka dan Mukminin lainnya secara intensif dibawa untuk diinterogasi oleh polisi boneka semata-mata karena kepercayaan mereka.
Parfitt sendiri mengatakan dia ditangkap satu jam setelah tiba di Gubden dan diinterogasi selama hampir dua jam.
“Petugas senior di kantor kepolisian, dengan tidak didasarkan pada bukti, menyarankan agar aku mulai menjalin hubungan dengan militan di desa,” tulisnya. “Aku mendapat tuduhan seperti itu selama perjalanan. Pejabat senior di Rusia selalu mengatakan-tanpa bukti-bahwa CIA dan agen mata-mata asing lainnya mendanai Islamis di Kaukasus.”
Menarik kesimpulan dari perjalanannya, jurnalis tersebut menulis bahwa penyebab perang di wilayah Rusia selatan adalah karena “kebrutalan pasukan keamanan negara, korupsi, kesenjangan sosial dan penelantaran sengketa etnis”.
“Perang ini adalah bukan hanya senjata peluru dan bom, namun sebuah perang ideologi, dan dalam perang itu, tampaknya Kremlin telah kalah.”
“Jelas, bahwa orang di sini telah kehilangan kepercayaan di Rusia.”
Dalam pandangan Parfitt, dokumen strategi untuk pembangunan ekonomi di Kaukasus Utara tidak memecahkan isu-isu utama. “Pemilu masih curang, birokrat masih mencuri dan pekerjaan langka. Kebiadaban yang dilakukan FSB dan tentara keamanan lain berlangsung di sini, dan sedikit terkejut bahwa pemuda di sini tergoda dengan Islamis yang menjanjikan kemurnian dunia dan persaudaraan.”
“Di dataran tinggi Dagestan, Kremlin telah kalah dalam perang ideologi, kekerasan kemungkinan besar akan terus berlanjut,” tulis Parfitt. (haninmazaya/arrahmah.com)