NAYPYIDAW (Arrahmah.id) – Rezim militer Myanmar akan mengizinkan warga sipil yang dianggap “setia kepada negara” untuk mengajukan izin membawa senjata, menurut laporan media.
Media lokal mengatakan bahwa para jenderal, yang mengambil alih kekuasaan dari pemerintah terpilih dua tahun lalu, berencana untuk mengizinkan warga negara yang berusia di atas 18 tahun untuk mendapatkan izin membawa beberapa jenis senjata dan amunisi, lansir Al Jazeera (14/2/2203).
Pegawai negeri dan pensiunan personel militer juga termasuk di antara mereka yang diizinkan untuk menyimpan persenjataan.
Kudeta pada Februari 2021 menjerumuskan Myanmar ke dalam krisis yang oleh beberapa pakar Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) digolongkan sebagai perang saudara. Kelompok-kelompok perlawanan bersenjata telah muncul di banyak bagian negara itu, terkadang berlatih dan bertempur dengan organisasi-organisasi etnis bersenjata yang telah memerangi militer selama beberapa dekade, sementara milisi-milisi bayangan pro-militer juga muncul.
Dokumen setebal 15 halaman yang bocor mengenai perizinan senjata api itu dikaitkan dengan kementerian dalam negeri pemerintahan militer dan menjabarkan kondisi-kondisi yang memungkinkan warga sipil untuk memiliki senjata api.
Penerima izin kepemilikan senjata api harus “setia kepada negara, berkarakter moral yang baik” dan tidak terlibat dalam “mengganggu keamanan negara”. Pemegang izin juga harus mematuhi ketika diperintahkan oleh pihak berwenang setempat untuk mengambil bagian dalam “keamanan, penegakan hukum, dan stabilitas” serta “langkah-langkah pencegahan kejahatan,” menurut dokumen tersebut.
Militer telah melabeli lawan-lawannya sebagai “teroris”.
Anggota badan-badan kontra-pemberontakan, milisi yang dibentuk secara resmi, dan mereka yang sudah pensiun dari militer diizinkan untuk membawa pistol, senapan, dan senapan ringan selama mereka memiliki izin, tambah dokumen tersebut.
Seorang pejabat yang ditunjuk oleh militer mengatakan bahwa kebijakan tersebut menghidupkan kembali undang-undang kepemilikan senjata yang dicabut setelah pemberontakan tahun 1988 melawan rezim militer sebelumnya.
“Setelah dilakukan penilaian, kebijakan [1977] tentang membawa senjata api telah dimodifikasi dan ditambah sesuai dengan kebutuhan agar sejalan dengan situasi yang berubah,” kata kementerian tersebut, menurut outlet berita Myanmar Now.
Juru bicara militer Mayor Jenderal Zaw Min Tun mengonfirmasi rencana tersebut dalam sebuah wawancara dengan BBC Burma pada Ahad (13/2).
Konflik yang telah berlangsung selama dua tahun ini telah menewaskan sekitar 31.022 orang secara keseluruhan -baik warga sipil maupun kombatan- menurut Armed Conflict Location and Event Data Project (ACLED), dan pihak militer semakin sering melakukan serangan udara untuk membasmi oposisi terhadap pemerintahannya.
Sekitar 1,2 juta orang telah mengungsi akibat pertikaian ini, dan lebih dari 70.000 orang telah meninggalkan negara itu, menurut PBB, yang menuduh militer melakukan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan. (haninmazaya/arrahmah.id)