JAKARTA (Arrahmah.com) – Pemerintah perlu segera melaksanakan moratorium penerimaan calon pegawai negeri sipil (CPNS), hal tersebut dikarenakan semakin membengkaknya jumlah PNS, demikian yang diungkapkan anggota DPR RI dari Fraksi PKS, Kemal Azis Stamboel
“Pembengkakan jumlah PNS tanpa kejelasan `job description` dan `scope of work` masing-masing, akan semakin memperberat proses reformasi birokrasi. Sebagai langkah awal, pembengkakan jumlah PNS, harus diatasi dengan moratorium CPNS dan pensiun dini PNS,” ujarnya di Gedung DPR Jakarta, Selasa (5/7/2011).
Terkait pensiun dini, Kemal menjelaskan tentunya ada yang sukarela, ada yang “mandatory” dan ada yang “non-negotiable” sehingga pegawai yang bagus tidak boleh keluar. Dengan demikian diharapkan ke depan tidak ada pengangguran terselubung.
Sementara itu proses rekrutmen dan efektifitas kerja PNS harus ditata ulang dalam masa moratorium. Penataan tersebut sudah sangat mendesak mengingat jumlah PNS di seluruh Indonesia sudah mencapai 4,7 juta.
Lebih lanjut Kemal menjelaskan bahwa membengkaknya jumlah PNS menyebabkan alokasi belanja pegawai yang terus membengkak, belum ditambah dengan beban keuangan lanjutan seperti pensiun, tunjangan hari tua, dan lain sebagainya. Anggaran bagi PNS jika digabungkan antara pengeluaran pusat dan daerah diperkirakan mencapai 60 persen dari APBN.
Bahkan dibeberapa daerah, belanja pegawai bisa menghabiskan lebih dari 80 persen APBD. “Jadi saya kira memang harus ada `capping` belanja pegawai yang mengacu pada perbandingan jumlah PNS daerah dengan jumlah penduduk di masing-masing daerah,” katanya.
Tidak hanya itu, pemerintah harusnya menetapkan batas minimal belanja modal dengan mempertimbangkan total anggaran belanja daerah, sehingga alokasi belanja untuk infrastruktur dan pembangunan bagi masyarakat bisa memadai dan tidak habis untuk belanja pegawai.
“Bisa jadi, perlu mutasi untuk daerah-daerah yang memang benar-benar kekurangan dari pusat atau dari daerah yang berlebihan PNS-nya. Dan ini bisa ditata dalam masa moratorium 6 bulan atau satu tahun,” paparnya.
Sebelumnya masyarakat menilai, anggaran untuk belanja pegawai pemerintah saat ini sudah sangat besar dan boros jika dibandingkan dengan produktivitas PNS saat ini yang dipandang rendah.
Rendahnya produktivitas kerja terlihat dari aktivitas pegawai yang begitu santai di hampir semua instansi pemerintah sehingga membuat sistem rantai birokrasi menjadi terlalu panjang dan memicu ekonomi biaya tinggi.
“Pemerintah harus serius untuk meningkatkan efektifitas dan produktifitas PNS. Kualitas birokrasi kita akan sangat ditentukan dari penataan ini. Dan ini dampaknya kemana-mana, termasuk kepada ekonomi, bisnis dan daya saing nasional kita,” tegasnya.
Hal senada diungkapkan juga oleh Sekretaris Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Muhammad Hanif Dhakiri di Gedung DPR RI, Jakarta, Senin (4/7).
Ia menilai moratorium rekrutmen CPNS hanya salah satu kebijakan yang semestinya diambil pemerintah dalam rangka perbaikan reformasi birokrasi. Itupun harus dengan pengecualian, tidak termasuk rekrutmen guru dan tenaga kesehatan yang memang masih dibutuhkan.
Reformasi birokrasi bertujuan untuk menata ulang birokrasi pemerintah agar lebih efektif dan efisien dalam memberikan pelayanan pada masyarakat. Dengan demikian diperlukan birokrasi yang gesit dan tangkas dalam melayani kebutuhan masyarakat.
Hanif menjelaskan, jika pemerintah serius hendak melakukan reformasi birokrasi, setidaknya ada empat langkah yang bisa diambil pemerintah.
Pertama, pemberlakuan pensiun dini. Ini diperlukan untuk mendorong berlangsungnya regenerasi dalam jajaran birokrasi. Jangan sampai regenerasi birokrasi terhambat karena banyak perpanjangan masa tugas terlalu sering diberikan kepada birokrat senior.
Kedua, moratorium rekrutmen CPNS dan tenaga honorer, kecuali untuk guru dan tenaga kesehatan sangat penting untuk menjaga agar birokrasi tak terlampau gendut dan tak efektif. Rekrutmen guru dan tenaga kesehatan perlu dikecualikan karena banyak daerah seperti daerah-daerah tertinggal masih sangat membutuhkan.
Rekrutmen tenaga honorer, juga perlu dimoratorium. Ini karena ada kecenderungan tenaga honorer dipakai sebagai instrumen kerja para birokrat dan pada gilirannya nanti akan juga menuntut untuk menjadi PNS karena memang tak jarang mereka lebih bagus kinerjanya dari birokratnya sendiri.
Ketiga, penerapan mekanisme reward and punishment. Hal ini sangat penting untuk menguatkan orientasi kinerja para birokrat. Selama ini tidak cukup jelas perbedaan antara birokrat yang kinerjanya baik dengan yang tidak. Tak heran jika kemudian PNS menjadi pekerjaan sekali seumur hidup, tak peduli bagaimanapun kinerjanya. Hal inilah yang membuat hampir semua orang ingin menjadi PNS.
Penerapan mekanisme reward and punishment, selain akan mendorong peningkatan kinerja birokrat, juga akan membuat iklim kompetisi kinerja di lingkungan birokrasi pemerintah makin hidup. Pada gilirannya juga akan mendorong perampingan birokrasi karena hanya yang kinerjanya baik saja yang akan bertahan.
Setelah ketiga kebijakan itu diambil, maka diperlukan satu kebijakan penting lagi, yaitu yang keempatan adalah peningkatan kesejahteraan secara drastis. Jika birokrat yang ada sudah ramping dan berorientasi kinerja semua, tinggal naikkan saja gaji mereka.
Hanif mengungkapkan empat langkah di atas dapat memajukan proses reformasi birokrasi yang selama ini terkesan mandeg. Untuk itu juga diperlukan political will dari pemerintah dan DPR untuk merevisi undang-undang mengenai pokok-pokok kepegawaian negara. (ans/arrahmah.com)