MANILA (Arrahmah.com) – Polisi sedang menyelidiki pembantaian sekelompok jurnalis dan politisi di Filipina selatan dan telah menemukan 11 mayat lainnya, sehingga total korban tewas akibat penyerangan setidaknya 57 jiwa.
Mayat-mayat itu digali dari lubang-lubang dangkal pada hari Rabu (25/11), dengan jarak yang tidak jauh dari tempat kejadian di provinsi Maguindanao selatan di mana sebelumnya 46 korban pembantaian politik terburuk di Filipina lainnya ditemukan.
Penemuan terbaru muncul setelah polisi secara resmi menemukan nama Andal Ampatuan Jr sebagai tersangka utama dalam pembunuhan.
Dia adalah kepala kotamadya Datuk Unsay, dan anak dari gubernur provinsi, sekutu politik lokal terkuat Gloria Arroyo, presiden Filipina.
Pada hari Selasa (24/11), Arroyo bersumpah akan bertanggung jawab atas pembunuhan tersebut dengan penuh keadilan dan mengatakan bahwa tidak seorangpun yang akan lepas dari hukum.
Arroyo telah menyatakan keadaan darurat di Maguindanao dan sekitarnya serta memerintahkan ratusan pasukan tambahan untuk dikirim ke daerah tersebut.
Tersangka Utama
Pejabat militer sebelumnya menyebutkan pengawal yang disewa oleh klan Ampatuan sebagai tersangka dalam pembantaian bersenjata.
Tetapi pada hari Rabu, juru bicara polisi Filipina, Ampatuan Jr, dinyatakan sebagai tersangka utama.
“Menurut laporan awal, orang-orang yang diculik dan dibunuh … pada awalnya dihentikan oleh sekelompok yang dipimpin oleh walikota Datuk Unsay,” kata inspektur Leonardo Espina.
Meskipun demikian, Espina tidak menunjukkan bahwa penangkapan akan segera dilakukan.
Berbicara pada radio DZMM, ia berkata penyidik masih perlu berbicara dengan saksi sebelum mereka dapat melaksanakan perintah pengadilan untuk menangkap tersangka, meskipun ia menegaskan bahwa pemerintah akan tetap bersikap netral.
“Kami tidak akan memperlakukan siapa pun lebih tinggi hukum,” ujar Espina.
Tapi jaminan tersebut kemungkinan akan sedikit menenangkan banyak penduduk setempat yang mengatakan bahwa mereka takut akan ada serangan pembalasan.
Banyak orang yang marah karena polisi tidak menangkap atau paling tidak membawa satupun tersangka utama untuk diintrogasi.
“Tidak ada kepercayaan penduduk setempat terhadap pemerintah,” kata wartawan Al Jazeera, Marga Ortigas, yang meliput kejadian, karena tersangka yang berada di balik itu semua merupakan kawan dekat presiden Arroyo, dan mereka takut bahwa tindakan kepolisian dan pemerintah bukanlah dilakukan untuk menangani, namun hanya akan melindungi atau menghapus begitu saja kekejian tersebut.
Menyerang Konvoi
Polisi memperkirakan akan menemukan lebih banyak korban saat mereka terus melakukan penggalian di area pembantaian.
Para pejabat mengatakan banyak mayat yang sulit diidentifikasi karena mereka telah ditembak dalam jarak dekat dengan senapan M16, sehingga menghancurkan wajah mereka.
Para korban itu diculik pada hari Senin oleh pria bersenjata ketika mereka sedang dalam sebuah konvoi untuk mencalonkan Esmael Mangudadatu sebagai calon oposisi dalam pemilihan gubernur yang dijadwalkan akan digelar tahun depan.
Sejumlah 18 orang tewas termasuk daerah wartawan media cetak dan media elektronik Filipina yang menyertai Mangudadatu beserta kerabat dan pendukungnya untuk mengajukan surat pencalonannya.
Beberapa korban telah dimakamkan di kuburan massal, sementara yang lainnya telantar di samping jalan.
Mangudadatu, kandidat gubernur, tidak sendiri dalam konvoinya karena ia telah menerima ancaman pembunuhan.
Pada hari Selasa ia menekan sekretaris pertahanan, kepala polisi nasional, dan komandan militer Filipina untuk segera menangkap dan mengadili mereka yang ada di belakang pembunuhan itu.
Mangudadatu mengatakan empat saksi dalam perlindungan itu mengatakan kepadanya bahwa konvoi dihentikan oleh orang bersenjata yang merupakan anak buah Ampatuan Jr, untuk mencegah keluarganya mengajukan surat-surat pemilihan.
“Semua itu benar-benar telah direncanakan karena mereka telah menggali lubang besar [untuk mengubur mayat],” kata Mangudadatu.
Dia mengatakan ada laporan dari daerah bahwa orang-orang bersenjata Ampatuan Jr. telah memblokir jalan selama beberapa hari.
‘Banjir Air Mata’
Kekerasan yang belum pernah terjadi sebelumnya telah mengejutkan warga Filipina dan seluruh dunia.
Pada Selasa malam sekelompok wartawan berbaris di ibukota Manila menyerukan pemerintah untuk melakukan penyelidikan segera atas pembunuhan.
“Kita tidak bisa mengabaikan pembunuhan wartawan lagi,” kata Malou Mangahas dari Pusat Jurnalisme Investigatif Filipina.
“Saya yakin kita semua kemarin benar-benar terkejut, menangis, terutama mereka yang mengetahui betul peristiwa tersebut.”
Pengawas media Reporters Without Borders yang berbasis di Paris mengatakan kematian 18 wartawan itu merupakan pembantaian tunggal terbesar wartawan yang pernah terjadi.
Di New York, Ban Ki-moon, sekretaris jenderal PBB, mengutuk pembantaian yang disebutnya sebagai kejahatan keji yang dilakukan dalam konteks kampanye pemilihan lokal.
Dalam sebuah pernyataan yang disampaikan oleh juru bicaranya, Ban mengatakan ia berharap bahwa “upaya untuk membawa keadilan dan menahan pelaku yang seharusnya bertanggung jawab. (althaf/alj/arrahmah.com)